Filsafat Terorisme

Juwanda Yusuf Gunawan
Pegawai di Direktorat Jenderal Pajak
Konten dari Pengguna
23 April 2024 12:31 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Juwanda Yusuf Gunawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi teror. Foto: Unplash
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi teror. Foto: Unplash
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Fenomena terorisme sering kali dilihat sebagai wujud ekstrem dari kebencian dan dendam. Namun, pandangan ini hanya menangkap satu sisi dari cerita yang lebih kompleks. Di sisi lain, kebencian dan dendam tersebut lahir dari kegagalan dalam merasakan cinta secara khusus, cinta yang gagal untuk dipahami dan dijaga dengan kesadaran yang cukup.
ADVERTISEMENT

Awal Mula Kegagalan Cinta

Terorisme modern sering kali dimulai dengan cinta yang mendalam terhadap nilai-nilai luhur yang diajarkan oleh Tuhan. Banyak orang menghayati nilai-nilai ini dalam kehidupan sehari-hari mereka dengan penghayatan yang tulus dan mendalam. Namun, ketika cinta ini mulai merasa terkekang dan tidak mendapatkan pemenuhan yang diharapkan baik dari diri sendiri maupun dari pemimpin yang diidolakan, ia dapat berubah menjadi kelelahan dan kemudian menjadi kegagalan.

Transisi ke Kebencian

Cinta yang gagal sering kali berubah menjadi kebencian yang mendalam. Hal ini terjadi ketika orang-orang yang sebelumnya hidup dengan nilai dan kepercayaan yang kuat merasa terisolasi dan kecewa dengan realitas di sekitar mereka. Mereka melihat ketidakadilan, kepura-puraan, dan kemunafikan, yang semakin memperburuk rasa kecewa dan kesepian mereka. Akhirnya, rasa cinta yang dulu begitu murni bertransformasi menjadi kebencian yang intens dan tidak terkendali.
ADVERTISEMENT

Pentingnya Kesadaran dan Keraguan

Untuk menghindari jatuhnya cinta menjadi kebencian, diperlukan kesadaran tinggi. Aristoteles pernah berkata, keutamaan berada di tengah, menunjukkan bahwa ekstremisme dalam bentuk apapun termasuk dalam cinta dapat berakhir pada kejahatan. Oleh karena itu, cinta harus selalu disertai dengan kesadaran dan keseimbangan. Keraguan juga memainkan peran penting, sebagai alat untuk menjaga kita dari sikap ekstrem. Keraguan bukan berarti tidak memiliki kepercayaan atau nilai, tetapi lebih pada pemahaman bahwa kehidupan sering kali penuh dengan ironi dan paradoks yang harus diterima.

Ironi dan Paradoks dalam Cinta

Mengakui dan menerima ironi dan paradoks dalam hidup bisa mengajarkan kita tentang fleksibilitas dan penerimaan. Hal ini dapat mengurangi risiko jatuh ke dalam perangkap ekstremisme yang dapat mengarah pada tindakan terorisme. Dengan memahami bahwa tidak semua hal dapat sesuai dengan harapan kita dan bahwa terkadang kehidupan berjalan di luar kendali kita, kita dapat lebih menghargai keberagaman dan perbedaan.
ADVERTISEMENT
Terorisme, pada dasarnya, adalah simbol dari cinta yang gagal. Ini adalah hasil dari ekspresi cinta yang kehilangan arah dan tidak dilengkapi dengan kesadaran dan keraguan yang cukup. Mencintai dengan bijak berarti memahami batas-batas dan kompleksitas cinta itu sendiri, serta menghindari jebakan kelelahan emosional yang dapat mengarah pada kebencian. Di dalam konteks ini, filosofi terorisme mengajarkan kita bahwa untuk benar-benar mengatasi terorisme, kita perlu lebih dari sekadar penindakan hukum; kita membutuhkan pendekatan yang lebih mendalam terhadap cara kita memahami dan menjalani cinta dalam kehidupan kita sehari-hari.