Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Konten dari Pengguna
Semakin Dilarang, Semakin Bergaung
20 Februari 2025 16:10 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Juwanda Yusuf Gunawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Ada satu hal yang sering disalahpahami oleh mereka yang merasa terusik oleh sebuah karya: bahwa melarangnya akan membuatnya lenyap. Padahal, sejarah telah berkali-kali membuktikan sebaliknya. Karya yang dilarang justru semakin dikenang, semakin dibicarakan, dan semakin dicari. Larangan hanya menjadi api yang menyulut bara keingintahuan.
ADVERTISEMENT
Pernahkah kita belajar dari masa lalu? Bahwa setiap kali suara dibungkam, gema justru semakin lantang. Chairil Anwar, yang puisinya pernah dianggap melawan zaman, tetap menggema hingga kini. “Aku mau hidup seribu tahun lagi,” katanya. Seorang penyair yang memahami hakikat kata tahu bahwa kata-kata tidak bisa dikekang. Mereka yang mencoba melarangnya hanya memperpanjang umur pesan itu, memberinya daya tahan yang lebih besar, dan membuatnya lebih sulit dilupakan.
Senada dengan itu, Pramoedya Ananta Toer pernah berkata, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.” Kalimat ini tidak hanya berlaku bagi mereka yang menulis, tetapi juga bagi mereka yang berkarya dalam bentuk lain. Sebuah lagu, sebuah puisi, sebuah lukisan—semuanya adalah rekaman zaman yang mencerminkan perasaan manusia terhadap realitas di sekitarnya. Melarangnya berarti mencoba menghapus bagian dari sejarah, tetapi apakah sejarah pernah bisa benar-benar dihapus?
ADVERTISEMENT
Di zaman digital, melarang sebuah karya bagaikan menahan angin dengan jaring. Semakin ditekan, semakin ia mencari celah untuk keluar. Semakin dikekang, semakin ia mencari ruang untuk bertumbuh. Mereka yang memahami cara kerja zaman ini tahu bahwa larangan bukanlah solusi, melainkan hanya pemantik untuk perlawanan yang lebih sunyi tapi abadi.
Lalu, untuk mereka yang berkarya dengan hati, yang menuliskan suara-suara yang perlu didengar, doa terbaik adalah agar mereka tetap teguh. Untuk Sukatani, semoga langkah mereka tetap ringan meski angin mencoba menghadang. Semoga lirik-lirik mereka tetap menjadi cermin bagi siapa saja yang berani bercermin. Dan semoga mereka terus bernyanyi, sebab dunia selalu membutuhkan suara yang jujur.
Mungkin, sudah saatnya kita berhenti takut pada kata-kata dan mulai mendengarkan maksud di baliknya. Sebab, larangan hanya menciptakan bisu sesaat, tapi pemahaman menciptakan dialog yang tak lekang oleh waktu.
ADVERTISEMENT
Dalam sejarah, berbagai bentuk ekspresi selalu menemukan jalannya. Dulu, buku yang dianggap berbahaya dibakar, tapi ide-ide yang dikandungnya terus hidup dalam benak para pembaca yang sempat menyerapnya. Kini, zaman telah berubah. Dunia maya menjadi ladang subur bagi kebebasan berekspresi. Satu pintu ditutup, sepuluh jendela terbuka. Mereka yang mencoba membungkam sebuah karya justru sedang menulis bagian baru dalam sejarah perlawanan budaya.
Maka, mari kita renungkan kembali: apa yang sebenarnya ditakuti dari sebuah lagu, sebuah tulisan, sebuah lukisan? Jika kebenaran ada di pihak yang melarang, mengapa harus takut pada sebuah suara? Ataukah justru larangan itu sendiri yang menjadi bukti bahwa ada sesuatu yang perlu didengar lebih dalam?
Untuk para seniman yang terus berkarya meski diterpa angin larangan, teruslah berjalan. Suara kalian adalah bagian dari perjalanan peradaban, dan setiap nada, setiap kata, setiap garis yang kalian buat adalah bagian dari sejarah yang tak akan pernah bisa dihapus sepenuhnya.
ADVERTISEMENT