Konten dari Pengguna

Toxic Hustle Culture: Fenomena Gen Z Bangga Kerja Sampai Sakit

Juwita Ayunda Prameswari
Belajar Sosiologi di Universitas Brawijaya sejak tahun 2023, dan tertarik dengan isu-isu sosial seperti kesetaraan gender, sosiologi kesehatan, kesenjangan sosial, termasuk pula isu-isu politik dan ekonomi.
29 November 2024 14:58 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Juwita Ayunda Prameswari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
‘Nggak masalah kerja sampai stress, yang penting gaji gede bisa bayar psikolog’, kata tersebut tentunya tidak asing lagi di telinga kita karena banyak beredar di media sosial sebagai jargon kebanggaan Gen Z. Sebagai generasi yang tumbuh bersama dengan teknologi dan media sosial, Gen Z mendapatkan tekanan yang cukup tinggi tentang kesuksesan dibanding dengan generasi-generasi sebelumnya. Pun paparan media sosial yang menunjukan gaya hidup mewah dan standar kehidupan yang tinggi semakin memicu Gen Z untuk mencapai kesuksesan sesegera mungkin. Akibat dari pemikiran tersebutlah muncul budaya hustle atau dapat juga disebut workaholic sehingga kebanyakan dari mereka tidak sadar jika sedang dipaksa untuk bekerja (Oates, 1971).
ADVERTISEMENT
Budaya hustle perlahan mulai menyebar di banyak negara dan masing-masing memiliki pola yang unik. Di China, budaya hustle dikenal dengan 9-9-6, yaitu bekerja dari pukul 9 pagi hingga pukul 9 malam selama 6 hari dalam seminggu, tentunya sistem kerja selama 12 jam yang telah menjadi tren di China bertentangan dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan. Namun, kebanyakan perusahaan mengadopsi cara tersebut karena sangat menguntungkan bagi perusahaan. Jepang juga memiliki budaya hustle yang kemudian melahirkan istilah karoshi atau meninggal karena bekerja terlalu keras (Hoshuyama, 2003). Hustle culture di Jepang menyebabkan para pekerja tidak berani mengambil cuti karena takut dianggap tidak profesional atau tidak solider terhadap teman sekantor.
Selama ini, muncul banyak anggapan bahwa semakin banyak jam kerja, maka semakin tinggi pula produktivitasnya. Memang, rasa-rasanya pemikiran tersebut telah tertanam kuat pada para pelaku budaya hustle, tetapi apakah memang benar demikian? Dilansir dari studi Stanford University yang berjudul The Relationship Between Hours Worked and Productivity, ditemukan bahwasannya bekerja secara berlebihan malah menyebabkan penurunan produktivitas. Demikian tersebut dikarenakan bekerja melebihi jam normal 50 jam per minggu menyebabkan hilangnya fokus sehingga sering terjadi kesalahan saat bekerja dan membutuhkan waktu lebih banyak untuk mengoreksi kesalahan tersebut. Didasarkan pada studi tersebut, maka budaya hustle sebenarnya tidak meningkatkan produktivitas melainkan berkemungkinan besar malah membuat jam kerja tidak efektif.
Sumber: dokumentasi pribadi (Budaya hustle membuat individu tetap bekerja dimanapun dan kapanpun meski sedan berada dalam perjalanan sekalipun).
Meskipun telah ada studi yang menunjukkan bahwa jam kerja tinggi tak selalu sejalan dengan produktivitas yang tinggi, tetapi budaya hustle masih saja menjadi tren. Hustle culture banyak dibangga-banggakan oleh Gen Z karena kebanyakan dari mereka menganggap bahwa kerja sampai sakit adalah hal yang lumayan keren. Paparan media sosial yang kuat juga menjadi salah satu alasan utama mengapa budaya hustle banyak digandrungi oleh generasi muda. Gen Z menganggap bahwa satu-satunya jalan untuk menjangkau kesuksesan adalah melakukan budaya hustle, pun harga rumah dan properti yang semakin melambung tinggi dan lagi kebijakan pajak juga semakin mengalami kenaikan. Tentu mereka berpikir jika tak bekerja dengan sangat keras, maka mustahil untuk mencapai kebebasan finansial atau minimal mempunyai hunian yang layak untuk ditinggali.
ADVERTISEMENT
Dilansir dari Detik (2024) beberapa waktu belakangan, ramai berita mengenai WNI yang dipekerjakan dan diisolasi sebagai scammer online di negara tetangga seperti Myanmar dan Kamboja. Tentunya, fenomena tersebut bukan tanpa alasan, maraknya kasus penyekapan WNI disebabkan karena banyak warga Indonesia khususnya generasi muda yang tertarik memperoleh uang dengan jumlah banyak melalui cara yang mudah. Pun adanya tren hustle culture semakin membulatkan tekad mereka untuk pergi mencari pekerjaan ke luar negeri menggunakan jalur ilegal yang murah. Tren hustle culture juga dapat terlihat dari banyaknya Gen Z yang bekerja di banyak tempat dan mengambil pekerjaan paruh waktu disamping mereka memiliki pekerjaan utama.
Hustle culture adalah paradoks nayata bagaimana jam kerja panjang malah menurunkan produktivitas pekerja, dan lagi budaya tersebut malah digunakan oleh perusahaan sebagai kesempatan untuk mengeksploitasi para pekerjanya. Jadi tentunya trend tersebut lumayan merugikan bagi para pekerja. Urusan kesehatan dan mental para pekerja juga menjadi korban akibat jam kerja yang panjang tersebut. Dilansir dari Talkspace disebutkan pula dampak lain dari hustle culture yaitu kesehatan mental yang terganggu meliputi kecemasan dan depresi; pola hidup yang tidak sehat mencakup pola makan yang buruk, jam tidur yang berantakan, dan tidak berolahraga, hingga memicu penyakit kronis yang lebih parah jika hustle culture dilakukan dalam jangka waktu yang panjang.
ADVERTISEMENT
Hoshuyama, T. (2003). [Overwork and its health effects–current status and future approach regarding Karoshi]. Sangyo Eiseigaku Zasshi: Journal of Occupational Health, 45(5), 187–193. https://doi.org/10.1539/sangyoeisei.45.187
Oates, W. E. (1971). Confessions of a Workaholic: The Facts about Work Addiction. New York: World Publishing Company.
Talkspace. (n.d.). What is hustle culture & how can you overcome it? Retrieved November 19, 2024, from https://www.talkspace.com/blog/hustle-culture/
detikNews. (2024, November 19). Kemlu bebaskan 12 WNI yang disekap, disiksa perusahaan scam di Myanmar. Retrieved from https://news.detik.com/berita/d-7589880/kemlu-bebaskan-12-wni-yang-disekap-disiksa-perusahaan-scam-di-myanmar