Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
3 Contoh Karangan Pengalaman di Bulan Ramadan Penuh Makna
13 Maret 2024 14:54 WIB
·
waktu baca 9 menitDiperbarui 23 April 2024 16:04 WIB
Tulisan dari Kabar Harian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Ada beragam contoh karangan pengalaman di bulan Ramadan yang memiliki berbagai pesan moral. Karangan pengalaman adalah cerita yang pernah dialami seseorang. Karangan bisa dibuat dari peristiwa pribadi penulis, peristiwa orang lain atau berupa imajinasi.
ADVERTISEMENT
Membuat cerita pengalaman dapat disusun berdasarkan waktu yang menghubungkan berbagai kejadian. Meski berupa imajinasi, setiap urutan pengalaman yang ditulis harus tetap masuk akal.
Mengutip buku Bahasa Indonesia: -Jilid 1 yang disusun oleh Agus Trianto, isi karangan pengalaman bisa ditambah dengan komentar dan tanggapan terhadap kejadian atau peristiwa yang diceritakan. Tujuannya, agar cerita tersebut tak seperti kronologi kejadian.
Contoh Karangan Pengalaman di bulan Ramadan
Ramadan adalah bulan suci yang dapat diisi dengan berbagai kegiatan dan amalan baik. Pada bulan tersebut, tentu banyak sekali kejadian atau peristiwa yang mengandung pesan moral yang dapat dipelajari.
Berikut contoh karangan pengalaman di bulan Ramadan yang dikutip dari buku Cerita Ceria Ramadan terbitan Paspack Prakarsa Portal dan beberapa sumber lain yang bisa jadi referensi.
ADVERTISEMENT
1. Mukena untuk Mutia
Imam sudah bersiap memulai sholat tarawih, tapi batang hidung Mutia belum muncul juga. Sudah 10 hari Ramadan Mutia dan Tania selalu sholat berjamaah di masjid. Mereka ingin meraih keutamaan sholat Tarawih yang hanya datang setahun sekali.
“Barangsiapa melakukan Qiyam Ramadhan (sholat tarawih) karena iman dan mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari dan Muslim)
“Kenapa Mutia tidak datang ya, padahal kami sudah berjanji sholat Tarawih penuh selama Ramadhan ini? Apakah dia sakit?” Tania bertanya dalam hati. Setiap selesai salam, Tania celingak celinguk ke belakang.
Dia berharap melihat Mutia, sahabatnya yang selalu ceria dan bersemangat. Namun, sampai sholat Tarawih selesai, Mutia tak kunjung datang.
Tania pulang dengan penuh tanya. Sebenarnya, dia ingin sekali segera pergi ke rumah Mutia untuk mencari tahu kabar sahabatnya. Namun, dia ingat tugas mengemas baju-baju pesanan Bu Lurah ke dalam plastik bening belum selesai dikerjakannya.
ADVERTISEMENT
Keesokan harinya, setelah matahari terbit dan mulai menampakkan cahaya langit yang berwarna merah dan oranye keemasan, Tania meminta izin kepada ibunya yang sedang menjahit. “Ibu, setelah mengantar baju Bu Lurah, aku ke rumah Mutia, ya”.
“Iya, tapi jangan lama-lama ya, biar bisa bantu ibu membersihkan rumah.”
“Siap!” Tania bergegas mengambil sepeda merah kesayangannya, kemudian mengayuh pedal dengan cepat menuju rumah Bu Lurah. Setelah itu, dia melanjutkan perjalanan ke rumah Mutia. Sesampainya di rumah sahabatnya itu, dia pun mengucapkan salam.
“Assalamualaikum, Mutia.”
“Waalaikumsalam, Tania. Pagi-pagi sekali kamu ke sini. Ada apa?”
“Aku penasaran kenapa kamu tidak tarawih di masjid tadi malam? Apakah kamu sakit?”
“Oh… a.. ku … enggak apa-apa, lagi malas aja.”
ADVERTISEMENT
Tania merasakan ketidakjujuran dari cara Mutia berbicara. Hati kecil Tania juga tidak percaya alasan sahabatnya. Selama ini, Mutia paling rajin dan selalu jadi teladan yang baik bagi teman-teman sebayanya. “Kamu jangan bohong!”
Tiba-tiba Mutia memucat. Dia menunduk, napasnya terdengar berat. Tak lama, bulir-bulir air mata membasahi pipinya. “Kamu kenapa?” Tania terkejut dan bingung ketika Mutia menangis tersedu.
“Selama ini banyak yang menertawakanku karena aku memakai mukena yang usang. Tadi malam ketika akan berangkat sholat Tarawih, mukenaku tersangkut di pagar dan sobek,” ujar Mutia.
Mutia lalu melanjutkan, “Aku enggak tahan melihat orang lain memandangku rendah, Tania. Rasanya enggak pengin keluar dan sholat Tarawih di masjid lagi. Mending aku sholat di rumah saja.”
ADVERTISEMENT
Hati Tania ikut sedih. Hanya karena Mutia memiliki mukena yang tak bagus, mereka tak bisa pergi bersama ke masjid. Padahal, mereka berjanji untuk berlomba-lomba mencari Ridha Allah, melalui sholat tarawih yang hanya ada di bulan Ramadan.
“Bagaimana ya caranya aku bisa memberi mukena baru buat Mutia,” gumamnya dalam hati.
Tania ingat punya tabungan, hasil dari menyisihkan uang jajan yang diberikan ibunya. Tapi, karena pemberlakuan pembelajaran tatap muka terbatas, uang jajannya pun ikut terbatas dan tidak akan cukup untuk membeli mukena baru.
“Bu, maukah Ibu memberi mukena baru untuk Mutia? Mukenanya robek dan ada noda yang tak bisa hilang.” Tania mencoba meminta pada ibunya dengan enuh harap dan cemas. Dia tahu kondisi keuangan orang tuanya saat pandemi ini juga mengalami krisis.
ADVERTISEMENT
“Kamu baik sekali ingin berbagi pada sahabat yang membutuhkan, hanya saja pengeluaran ibu meningkat di bulan Ramadan ini karena harga-harga bahan pokok naik dan pesanan jahitan sedang sepi. “
Tania hanya bisa terdiam, rasa sedih masih menyelimuti hatinya. Dia tidak berani memaksa. “Tania, kamu ingin burung bughat?” tanya Ibu.
Tania kembali teringat kisah burung bughat yang pernah ibunya ceritakan. Burung bughat adalah anak burung kecil malang yang baru menetas dari telur. Dia tidak memiliki kemampuan bertahan hidup, tapi sudah ditinggal induknya.
Allah Yang Maha Pemberi Rezeki menanggung rezekinya dengan mengeluarkan aroma tertentu dari tubuh bughat, sehingga mengundang datangnya serangga ke sarangnya untuk jadi makanan.
Keadaan terus seperti itu sampai warna si bughat berubah menjadi hitam, tanda bulunya sudah tumbuh. Ketika itu, barulah gagak mengetahui bahwa bughat adalah anaknya dan diapun memberinya makan sampai tumbuh dewasa untuk bisa terbang mencari makan.
ADVERTISEMENT
Dari kisah burung bughat ini, Tania belajar bahwa ketika ingin sesuatu, maka kita hanya dapat meminta kepada Allah Ar Razza, Sang Maha Pemberi Rezeki.
“Dan berapa banyak Binatang yang tidak dapat membawa (mengurus) rezeki sendiri. Allah-lah yang memberi rezeki kepadanya dan kepadamu dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS Al Ankabut: 60)
“Terima kasih, Bu. Alhamdulillah jazakillahu khairo sudah mengingatkan untuk meminta pada Allah. Semoga Mutia bisa punya mukena baru.”
Tania segera mengambil air wudhu untuk mendirikan sholat Duha dua rakaat. Di berdoa dan tak lupa menyelipkan sebuah permohonan mukena baru untuk Mutia.
Selepas sholat, Tania teringat belum membantu ibunya membersihkan rumah. Dia pun mengambil sapu yang tergantung di balik pintu masuk rumahnya.
ADVERTISEMENT
“Tania, sini duduk dulu di samping ibu!” Ibu menepuk sofa kosong di sebelahnya, lalu mengambil HP dari atas mejanya. Tania menghampiri ibu dengan setengah termenung. Dia masih memikirkan cara mendapatkan mukena baru untuk Mutia.
“Ada apa, Bu?” tanya Tania pada ibunya yang sedang memainkan jari jempol di layar HP-nya.
“Ini ada pesan bu Lurah,c coba kamu baca dulu.” Ibu menyodorkan ponselnya.
Rupanya Bu Lurah sedang membutuhkan bantuan untuk membagi-bagikan kotak nasi berbuka ke para tetangga di kompleks tempat tinggal mereka. Wah, kebetulan! Bu Lurah terkenal sangat royal dan baik hati, sering memberi imbalan yang layak bagi ornag-orang yang membantunya.
“Bolekah aku membantu?” Tania meminta izin dan melihat senyum merekah dari bibir ibunya, tanda dia mendapatkan persetujuan.
ADVERTISEMENT
“Terima kasih, Bu. Alhamdulillah jazakillahu khairo.”
Tania segera menyapu dan kemudian beristirahat. “Aku tidur siang sekarang agar nanti sore punya tenaga untuk membantu Bu Lurah,” gumamnya dalam hati.
Jam di dinding menunjukkan pukul enam belas tepat. Tania segera mengayuh sepedenya menuju rumah Bu Lurah. Sampai di sana di melihat gerbang rumah Bu Lurah tertutup rapat dan tidak ada mobil terparkir di garasi.
“Kenapa tidak ada orang di rumah Bu Lurah? Mungkin sedang mengambil pesanan nasi kotak di rumah makan,” pikir Tania dan dia memutuskan untuk menunggu.
Waktu berlalu, matahari tak lama lagi akan terbenam, tanda waktu berbuka puasa akan tiba. Namun, Bu Lurah belum juga pulang. “Apakah aku salah membaca pesan dari Bu Lurah? Jangan-jangan tanggalnya salah, bukan hari ini?” Tania bertanya pada dirinya.
ADVERTISEMENT
Bosan menunggu, akhirnya Tania memutuskan pulang. Dia juga tak ingin terlambat berbuka puasa. Dia pun pulang dengan kecewa. Harapannya untuk mendapat uang tambahan membeli mukena baru untuk Mutia sirna seketika.
Tania masuk ke rumah dan melihat ibunya sedang menjahit masker. Sejak pandemi, ibunya mencoba mendapatkan penghasilan tambahan dengan memanfaatkan kain perca yang menumpuk di sudut ruang hatinya. Saat itu juga, tiba-tiba Tania mendapatkan ide. Dia bisa memanfaatkan kain perc aitu!
Tania yang baru saja mengucapakn salam, berpamitan lagi pada ibunya. Dia pergi ke rumah Mutia untuk mengambil mukena Mutia. Tania ingin merubah tampilan mukena tersebut dengan kreasi kain perca.
Setelah berbuka puasa, Tania mengambil potongan sisa kain jahitan ibunya. Kain itu digunting kecil-kecil dengan berbagai bentuk bangun datar, kemudian dijahit jelujur dengan rapi pada bagian mukena yang sobek dan ternoda. Tidak butuh waktu lama, pekerjaannya pun selesai.
ADVERTISEMENT
Dengan semangat, Tania pergi menjemput Mutia untuk sholat Tarawih. “Masya Allah, mukenaku jadi cantik sekali, Tania! Alhamdulillah jazakillah khoiro!” seru Mutia, lalu memeluk Mutia.
“Amin. Sekarang kamu sholat Tarawih di masjid lagi, ya”. Pinta Tania. Dia senang karena akhirnya bisa memberi mukena dengan tampilan baru untuk Mutia.
Mutia mengangguk sambil tersenyum. Sejak saat itu, mereka pun sholat Tarawih berjamaah setiap hari hingga Ramadan berakhir.
2. Terlambat Buka Puasa
Ramadan di kampung halaman memang syahdu. Biasanya, setiap shubuh, anak-anak kecil di kampungku selalu berjamaah di masjid. Lalu, selepas ashar, kami akan menghabiskan waktu dengan berjalan-jalan ke sawah.
Seperti sore itu, aku pun tak ingin ketinggalan dengan teman-teman yang lain. Aku, kakak, dan dua orang sepupu, berjalan-jalan ke sawah untuk menikmati pemandangan sekaligus bermain dengan teman-teman. Ngabuburit, ceritanya, sambil menunggu waktu berbuka puasa tiba.
ADVERTISEMENT
Tiba-tiba, Kakak punya ide. "Daripada di sini doang, kita jalan sampai Makam Pahlawan, yuk."
Tanpa diduga, sepupu kami menyambut ide Kakak dengan semangat. "Ayo. Kita masih punya cukup waktu sampai buka puasa nanti. Toh, Makam Pahlawan nggak terlalu jauh.".
Kami pun mulai berjalan menuju tempat yang dituju.
Namun sayang, di tengah jalan, hujan tiba-tiba datang. Kami pun memutuskan untuk berteduh. Hingga detik demi detik berlalu, dan adzan Maghrib sudah menjelang.
Kakak, sebagai pemilik ide, merasa menyesal. Sebab, karena idenya, kami jadi terlambat berbuka puasa di rumah. Ia pun meminta maaf pada kami.
Alih-alih mengeluh, kami lalu berunding dan memutuskan untuk menembus hujan bersama-sama, dengan risiko dimarahi oleh ibu.
Kami pulang dengan baju basah dan kotor setelah berlari-larian menembus hujan melewati pematang sawah. Namun, alhamdulillah, ibu tidak marah. Ibu hanya menyuruh kami mandi.
ADVERTISEMENT
Setelah mandi dan berganti baju, kami pun berbuka puasa dengan teh hangat dan pisang goreng buatan ibu.
Sungguh, hari itu memberikan kenangan yang tak akan terlupakan. Sedikit konyol, tetapi juga mengharukan dan membahagiakan.
3. Puasa di Tengah Corona
Kisah ini datang dari Amir yang masih berusia 10 tahun. Saat pandemi corona melanda Indonesia beberapa tahun lalu, ia mengalami bulan puasa yang tidak biasa. Masjid-masjid d tutup dan kegiatan buka atau sahur bersama di luar juga ditiadakan.
Amir merasa sedih karena tidak bisa merasakan kegembiraan bulan Ramadan seperti biasanya. Namun ia tetap semangat berpuasa bersama teman-temannya dan berbuka puasa bersama keluarganya.
Selain itu ada sebuah peristiwa yang membuatnya semakin termotivasi untuk beramal di bulan Ramadan, yakni adanya sebuah program bantuan makanan yang diadakan oleh masjid di tempatnya khusus bagi keluarga yang membutuhkan.
ADVERTISEMENT
Amir bersemangat membantu mengumpulkan donasi berupa makanan untuk diberikan kepada keluarga yang membutuhkan. Ia bersama ibunya mengumpulkan sumbangan dari tetangga-tetangga dan teman-temannya.
Setelah mengemas makanan dalam paket-paket, lalu ia mengirimkannya kepada orang-orang yang membutuhkan.
Meskipun Ramadan tahun itu tidak semeriah biasanya karena ada pandemi, Amir tetap bersyukur dan berusaha berpuasa dengan benar dan berusaha membantu sesama yang membutuhkan.
Ramadan di tengah corona merupakan waktu yang semakin istimewa karena dengan cara tersebut orang-orang dapat lebih memperkuat keimanan dan rasa kepedulian terhadap sesama.
(IPT)