Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.91.0
Konten dari Pengguna
Cerpen Anak Sekolah: Pengertian dan Contohnya
27 Oktober 2021 10:02 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Kabar Harian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, cerpen dapat diartikan sebagai suatu karya sastra kisahan pendek atau kurang dari 10 ribu kata yang memberikan kesan tunggal yang dominan dan memusatkan diri pada satu tokoh dalam satu situasi atau pada suatu ketika.
Untuk dapat memahami apa sebenarnya yang dimaksud dengan cerpen, simak contoh cerpen anak sekolah di bawah ini.
Cerpen Anak Sekolah
Dikutip dari buku Modul Pembelajaran Bahasa Indonesia terbitan Kemdikbud, menurut Sutardi, cerpen adalah rangkaian peristiwa yang terjalin menjadi satu yang di dalamnya terjadi konflik antartokoh atau dalam diri tokoh itu sendiri dalam latar dan alur.
Peristiwa dalam cerita berwujud hubungan antartokoh, tempat, dan waktu yang membentuk satu kesatuan. Adapun beberapa ciri-ciri cerpen, yakni:
ADVERTISEMENT
Dikutip dari Kumpulan Cerita Pendek Anak - Jilid 2 karya Arce Day Ngana, dkk, berikut contoh cerpen anak sekolah:
Sagoe Buku karya Noviati Maulida Rahmah
ADVERTISEMENT
Namaku Aiza. Aiza Zulifatillah. Yah, Aiza. Pengurus Pojok Baca SDN 1 Bireuen bersama seorang adik kelas berkulit putih, bertubuh mini, dan suka jutek sendiri, Zauza.
“Zauza, bisa enggak sih, bukunya itu disusun sesuai jenis bukunya? Jangan dicampur-campur. Ini bukan gado-gado.” Pipi Zauza memerah bulat macam badut di pasar malam. Tubuh kecilnya membantingkan diri ke dinding. Hidungnya seperti pinokio, runcing ke depan.
“Untuk apa sih sibuk-sibuk? Kita, kan enggak mungkin menang. Sekolah di kota-kota itu lebih bagus. Kita enggak punya apa-apa. Atap sekolah kita aja sudah mau roboh. Siapa yang peduli? Apalagi untuk dinilai. Sudahlah, kita sudah cukup baca aja. Tak usah repot-repot ikut lomba Pojok Baca, siterasi, eh …, miterasi eh ....” Lidah Zauza keseleo.
ADVERTISEMENT
“Literasi, Zauza. Enggak penting menang. Yang penting itu usaha. Usaha!” jelasku kepada Zauza.
Wajahnya tampak berubah, berdiri. Merapikan buku kembali tanpa bersuara. Ia tampak sudah menyerah.
Bangunan sekolahku tidak terlalu gagah. Dindingnya abu-abu seperti rok kakak-kakak SMA, terbuat dari papan bekas sumbangan warga kaki Gunung Goh, diselimuti bercak-bercak putih bekas kikisan cat yang lapuk.
Lemari bukunya tergantung miring kayak jemuran mamaku. Paku di sudutnya copot satu kayak gigi kakekku. Bukunya hanya beberapa saja tergeletak di situ. Selebihnya, dimasukkan ke dalam kotak bekas kardus mi instan.
Aku lupa, dindingnya seperempat ke bawah juga sudah tak sama lagi dengan warna di atasnya. Kalau banjir tiba, ruang kelasku seperti kolam bebek Pak Ferry. Setiap sore Pak Ferry membawa bebek-bebeknya mandi di kolam dekat sawah. Kolam yang sengaja dibuat untuk memanjakan bebek-bebeknya.
ADVERTISEMENT
Kelasku juga begitu. Akan jadi tempat bermain kodok kalau air merendam lantai. Kalau air sudah surut, tinggallah lumpur. Kami akan ramai-ramai membersihkannya.
Namu, baunya tetap menyengat. Banjir semusim jelas saja menjadikan lomba ini mengocok-ngocok perutku, Nona Aiza yang super, sok kuat. Aku harus memutar otak, menyulap pojok baca ini menjadi colorful. Tentu saja yang terbaik untuk sekolahku.
Pelan-pelan awan hitam menggulung. Semangatku dan Zauza belum padam. Kuperbaiki rak buku. Disusun berdasar jenisnya. Bukunya sudah lapuk. Keseringan dibaca. Ada beberapa yang sobek. Hanya bisa dilem dengan perekat biasa.
Kami bersama mengucap syukur. Nanti sore tim penilai datang dan mengumumkan yang terbaik. “Sagoe? Kok, Sagoe? Namanya enggak keren. Enggak beken. Terlalu kampungan.” Zauza mengeluh.
ADVERTISEMENT
“Tidak, Zauza. Sagoe itu bahasa kita. Bahasa Aceh. Artinya pojok atau sudut. Kita lestarikan bahasa kita. Okelah kita tambah jadi SAGOE BUKU. Gimana, ayo?” jelasku.
Zauza sedikit menyunggingkan bibirnya. Ketukan batu di sebuah plakat besi menandakan waktu pulang, tetapi aku dan Zauza tetap di sekolah.
Untung tadi pagi aku sempat membantu Abi menarik lembu dan memberinya lalapan dengan menu rumput susu. Di pagar depan sekolah terdengar teriakan. Aku dan Zauza keluar. Berlari ke pagar.
Sikapnya nyaris merenggut semangatku. Zauza mulai berkaca-kaca di ujung matanya. Aku hanya menarik napas. Menanti sore penuh teka-teki tiba.
Seluruh peserta lomba dari berbagai sekolah berkumpul di halaman sempit sekolahku. Entah kenapa sekolah kecil ini dipilih jadi tuan rumah acara puncak literasi ini. Yah, entahlah.
ADVERTISEMENT
“Hei, anak kampong. Enggak usah capek-capek kalian hias pojok baca. Malu dong. Sadar diri. Mana mungkin kalian menang lawan kami. Nyerah aja. Nanti kutraktir kalian, makan pangsit jumbo Apilin. Kalian tahu kan Apilin? Pangsit yang satu piring lima belas ribu itu. Hahaha ….” Mulut Agil bulat. Suaranya meninggi.
“Assalamu ‘alaikum, Anak-Anak. Ini sekolah hebat. Pojok Baca ’Sagoe Buku‘-nya luar biasa,” kata-kata ibu penilai terpotong. Ia menatapku.
“Tuh kan, apa kubilang? Kita nyerah aja!” Zauza bertingkah. Menarik-narik bajuku.
Aku mengangguk. Ia melambaikan tangannya kepadaku. Mengajakku ke arah depan kelas. Aku bangkit gontai. Ia menanyakanku beberapa pertanyaan.
“Hahaha, Sagoe? Jelek sekali. Kalian tidak akan menang. Jurinya sudah pasti memenangkan sekolah kami. Ayahku itu kenal sama jurinya. Kemarin ayahku memberikan hadiah sama jurinya. Hahaha!” Agil menginjak gas sepeda motornya. Meninggalkan noda lumpur di baju kami.
ADVERTISEMENT
“Kamu Aiza Zulifatillah, ketua pengurus Pojok Baca?” lanjutnya.
Aku berusaha tetap tenang. Agil memang orang yang sombong. Maklum dia anak bapak PNS di dinas pendidikan. Dia bersekolah di kota. Jauh dari sini. Usianya sama denganku. Masih kelas enam SD. Tapi dia sudah dapat motor kayak anak-anak kuliahan. Ternyata, dia mengintip pekerjaanku dan Zauza.
“Ibu penilai, Aiza mau tanya. Lomba ini enggak curang, kan? Kemarin ada seseorang yang mengatakan bahwa Ibu menerima hadiah agar salah satu sekolah menang. Benar enggak ya, Bu?” Pertanyaanku mendadak membuat kelas hening. Ibu penilai tersenyum. Senyumnya ramah. Sedikit menenangkan hati.
“Aiza, ini pasti soal salah seorang peserta yang ayahnya memberikan sesuatu kepada saya. Namun jangan khawatir, saya tolak hadiah itu. Bagi saya, lomba tetaplah lomba. Teman tetaplah teman. Yang paling dinilai adalah minat baca kalian. Bukan mewah atau tidaknya. Tenang saja, ya. Tim penilai pasti sudah tahu mana yang layak. Yang terpenting semua sudah memulai.” Aku tersenyum tenang. Mulai bisa menyeimbangkan diri kembali.
ADVERTISEMENT
Penting bagiku, menjadi juara secara terhormat dan apabila kalah bisa berlapang dada. Aku melempar senyum optimis kepada Zauza.
Pengumuman pun tiba. Wajah-wajah mengernyit. Sebagian memaksa senyum. Zauza sibuk menggosok-gosok tangannya. Agil menjulurkan lidahnya beberapa kali kepada Zauza. Aku membalas dengan diam dan menarik Zauza untuk menjauh.
Mikrofon dinyalakan. Suaranya hilang-hilang timbul. Suara salam ibu penilai dijawab lantang. Deretan pemenang dibacakan. Jantung mulai berlomba dengan detik jam.
Tarrrraaa! Akhirnya, nama sekolahku muncul sebagai pemenang. Agil menatap sangar. Zauza berteriak kencang. Dan bola mata Agil semakin menajam.
(SAI)