Cerpen Malin Kundang, Kisah Anak Durhaka yang Dikutuk oleh Ibunya

Kabar Harian
Menyajikan beragam informasi terbaru, terkini dan mengedukasi.
Konten dari Pengguna
26 Oktober 2021 18:05 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kabar Harian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi buku kumpulan cerpen. Foto: Pexels
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi buku kumpulan cerpen. Foto: Pexels
ADVERTISEMENT
Cerpen atau cerita pendek adalah karangan pendek berbentuk prosa, yang mengisahkan sepenggal kehidupan tokoh (pelakunya). Cerpen dikisahkan penuh pertikaian, perasaan senang sekaligus haru, serta mengandung kesan yang tidak mudah dilupakan pembacanya.
ADVERTISEMENT
Meksipun termasuk cerita fiksi atau khayalan, jalan cerita cerpen dapat berupa peristiwa yang benar-benar terjadi, atau hal-hal yang benar-benar nyata. Dengan kata lain, peristiwa yang benar-benar terjadi dalam masyarakat, dapat diolah menjadi cerpen.
Salah satu kisah turun-temurun yang diangkat menjadi sebuah cerpen terkenal, yaitu Malin Kundang. Cerpen ini berasal dari legenda di daerah Sumatera Barat, yang bercerita tentang anak durhaka dan dikutuk menjadi batu oleh ibunya.
Selain menghibur, cerpen Malin Kundang juga dapat mengajarkan banyak hal kepada para pembacanya. Pesan moral yang terkandung di dalamnya dapat digunakan orang tua untuk meningatkan anak-anaknya agar menjadi anak yang patuh.
Berikut cerpen Malin Kundang yang dapat digunakan sebagai bahan bacaan untuk mengisi waktu luang, sekaligus mengajarkan hal-hal positif kepada anak-anak. Cerpen ini dikutip dalam buku Malin Kundang: Cerita Rakyat Sumatera Barat karya Kak Yudi (2015: 02).
Ilustrasi sebuah batu kutukan. Foto: Wikimedia Commons

Cerpen Malin Kundang

Alkisah, di pesisir pantai daerah Sumatera Barat, hiduplah seorang ibu bersama anak kesayangannya yang bernama Malin. Sejak suaminya meninggal, Ibu Malin harus berjuang mati-matian untuk menghidupi Malin.
ADVERTISEMENT
Meskipun begitu, ibunya tetap merasa bahagia, karena Malin merupakan anak yang penyayang dan sangat manja. Malin juga gemar membantu sang ibu bekerja menjual ikan, sebagai sumber utama penghasilan keluarga kecilnya.
Semakin hari, Malin semakin beranjak dewasa. Ia merasa sudah saatnya untuk menggantikan ibunya bekerja. Namun, Malin memiliki keinginan lain, ketika melihat banyak teman sebayanya bisa kaya raya dalam waktu cepat setelah berjualan di kota.
“Mak, Malin ingin merantau ke kota seberang. Malin akan menghasilkan banyak uang untuk Emak dari sana.” Ibu Malin sangat terkejut mendengar keinginan putra kesayangannya itu.
“Jangan, Malin. Tetaplah di sini bersama Emak. Emak tidak ingin ada hal buruk yang menimpamu jika merantau ke kota.”
Malin berupaya meyakinkan ibunya bahwa ia akan baik-baik saja di kota. Dengan hati yang gelisah, Ibu Malin melepaskan putranya yang hendak merantau.
ADVERTISEMENT
“Hati-hati di sana ya, Nak. Jangan lupa untuk cepat pulang.” Ibu Malin memeluk Malin dengan sangat erat. Dia melambaikan tangan di tepi Pantai Air Manis untuk mengantarkan kepergian Malin.
Beberapa lama kemudian, Malin tidak kunjung pulang ke rumah. Bertahun-tahun, ibunya hanya hidup sendirian. Hingga pada suatu hari, Ibu Malin mendapatkan kabar dari salah satu anak temannya yang juga merantau di kota seberang.
“Malin sudah menikah dengan putri seorang bangsawan, Bu. Dia tidak mungkin akan kembali ke sini,” jelas anak teman Ibu Malin yang baru saja kembali dari kota seberang.
“Tidak, Malin pasti akan kembali.” ujar ibunya yang tetap kekeuh Malin akan kembali.
Dua bulan kemudian, istri Malin yang sedang hamil menginginkan berlibur ke Pantai Air Manis. Sebab sangat menyayangi istrinya, Malin mengabulkan permintaan istrinya itu.
ADVERTISEMENT
Di dalam perjalanan, Malin teringat dengan ibunya. Malin merasa malu jika ia harus mengenalkan ibunya kepada istrinya.
Saat kapal mereka sudah menepi di pinggir pantai, Ibu Malin yang sedang berjualan ikan melihat anaknya dari kejauhan. Ia sangat yakin itu adalah Malin. Sang ibu bergegas berlari dan memeluk tubuh Malin.
“Lepaskan! Siapa kau?” Ibu Malin terkejut ketika tubuhnya didorong oleh Malin.
“Malin, ini aku, ibumu.”
“Ibu? Apa perempuan lusuh ini ibumu? Kenapa kau berbohong, Malin? Kau bilang kau anak bangsawan sepertiku!” Istri Malin sangat marah menemukan kebohongan Malin yang terungkap.
“Tidak, dia bukan ibuku!”
Malin bersikeras tidak mengakui ibunya. Ia bahkan menarik tubuh istrinya untuk meninggalkan pantai. Ibu Malin merasa sangat sedih sekaligus marah. Ia pun berdoa kepada Tuhan dan menyumpahi Malin, agar dikutuk menjadi batu.
ADVERTISEMENT
Langit bergemuruh setelah doa itu terdengar. Malin menyesali perbuatan yang ia lakukan kepada ibunya.
“Ibu maafkan anakmu yang durhaka ini!”
Teriakan Malin sia-sia, karena tidak lama setelahnya, kapal Malin terombang-ambing oleh ombak hingga karam dan terpecah.
Keesokan paginya, semua orang di Pantai Air Manis terkejut menemukan banyak kepingan kapal yang berserakan. Namun, mereka lebih terkejut saat menemukan batu berbentuk manusia tengah bersujud.
Kutukan Ibu Malin menjadi nyata. Ia menemukan anaknya yang ia kutuk menjadi batu. Ibu Malin menangis dan menyesali ucapannya.
(VIO)