Kesimpulan Isi Pidato Bung Tomo yang Mengobarkan Semangat Rakyat Surabaya

Kabar Harian
Menyajikan beragam informasi terbaru, terkini dan mengedukasi.
Konten dari Pengguna
25 Agustus 2021 9:00 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kabar Harian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Bung Tomo. Foto: Dok. Perpustakaan Negara
zoom-in-whitePerbesar
Bung Tomo. Foto: Dok. Perpustakaan Negara
ADVERTISEMENT
Surabaya, 10 November 1945 menjadi salah satu momen paling bersejarah bagi bangsa Indonesia dalam melepaskan bayang-bayang penjajah.
ADVERTISEMENT
Momen yang dikenal sebagai Pertempuran Surabaya itu merupakan perang pertama pasukan Indonesia dengan pasukan asing setelah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan.
Pertempuran Surabaya terjadi antara pertempuran tentara dan milisi pro-kemerdekaan Indonesia dengan tentara Britania Raya dan India Britania.
Salah satu pertempuran terbesar dan terberat dalam sejarah Revolusi Indonesia ini menjadi simbol nasional atas perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme.
Hal itu tak lepas dari peran Bung Tomo yang mampu membakar semangat anak-anak bangsa di wilayah itu untuk bersatu melawan penjajah. Lantas, bagaimana kesimpulan isi pidato Bung Tomo tersebut? Selengkapnya, simak ulasan berikut.

Kesimpulan Isi Pidato Bung Tomo

Ilustrasi Bung Tomo berpidato. Foto: Freepik
Meski Bung Tomo tidak terlahir dari keluarga yang memiliki bakat berorasi, sosoknya terkenal andal menyampaikan pidato hingga mampu memengaruhi massa pendengarnya.
ADVERTISEMENT
Ia tidak hanya pandai berorasi di lapangan terbuka, tetapi juga di forum-forum resmi, bahkan di studio radio yang disiarkan secara langsung.
Mengutip buku Bung Tomo oleh Abdul Waid, sosok bernama lengkap Sutomo itu memang selalu tampil luar biasa ketika berorasi. Suaranya lantang terdengar. Kata-katanya jelas dan disampaikan dengan nada yang berapi-api.
Pula dengan gesturnya. Tangannya yang selalu menunjuk ke atas menjadi isyarat bahwa Bung Tomo meneguhkan isi pidatonya. Tatapannya pun selalu ke depan, seolah mengajak berbicara seluruh hadirin yang menyaksikannya.
Kemahirannya itu terbukti ketika Bung Tomo berorasi pada 10 November 1945 di lapangan Benteng, Surabaya. Ribuan pemuda memadati lapangan untuk mendengarkan pidato Sang Orator tersebut
"Hai tentara Inggris! Walaupun kau menyuruh kita menyerah dengan mengembalikan senjata dan angkat tangan kosong, namun selama banteng-banteng Indonesia masih memiliki darah merah untuk membuat secarik kain putih menjadi berwarna merah putih, maka selama itu kita tidak akan mau menyerah."
ADVERTISEMENT
Begitu lah beberapa petikan kalimat Bung Tomo dalam orasinya pada Pertempuran Surabaya. Bung Tomo mengajak para pemuda untuk tidak takut, pantang menyerah, serta menjunjung tinggi rasa persatuan dan kesatuan bersama-sama dalam melawan tentara Inggris.
Dalam pidato yang berdurasi sekitar satu jam itu, Bung Tomo juga mengapresiasi semangat juang mereka. Ia terus menggaungkan bahwa kemerdekaan itu mahal harganya dan penting untuk dipertahankan.
Kalimat "Merdeka atau mati" yang dilontarkan Bung Tomo menjadi pernyataan sekaligus bentuk perlawanan bahwa bangsa Indonesia tidak akan tunduk kepada penjajah untuk yang kesekian kalinya.
"Lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka. Semboyan kita tetap: merdeka atau mati!"
(ADS)