Konten dari Pengguna

Ringkasan Novel Pulang Leila S. Chudori yang Menarik untuk Dipahami

Kabar Harian
Menyajikan beragam informasi terbaru, terkini dan mengedukasi.
27 April 2025 12:49 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kabar Harian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Ringkasan Novel Pulang Leila S. Chudori, Foto:Pexels/Caio
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Ringkasan Novel Pulang Leila S. Chudori, Foto:Pexels/Caio
ADVERTISEMENT
Ringkasan novel Pulang karya Leila S. Chudori membawa pembaca menyelami kisah penuh emosi tentang kehilangan, pengasingan, dan pencarian identitas di tengah gejolak sejarah Indonesia.
ADVERTISEMENT
Novel ini menggambarkan kehidupan para eksil politik Indonesia pasca peristiwa G30S 1965, yang terpaksa hidup di luar negeri dan terputus dari tanah airnya.

Ringkasan Novel Pulang Leila S. Chudori, Bacaan Akhir Pekan

Ilustrasi Ringkasan Novel Pulang Leila S. Chudori,Foto:Pexels/Ravi Kant
Ringkasan novel Pulang Leila S. Chudori merupakan kisah fiksi yang berakar kuat pada sejarah Indonesia, khususnya tragedi politik pasca peristiwa G30S 1965.
Melalui tokoh-tokoh yang hidup dalam pengasingan, novel ini menyajikan potret batin para eksil politik Indonesia yang terputus dari tanah air selama puluhan tahun.
Kisah dalam Pulang bukan sekadar tentang kehilangan rumah secara fisik, melainkan juga kehilangan jati diri, sejarah, dan ikatan darah.
Cerita berpusat pada empat tokoh utama Dimas Suryo, Nugroho Dewantoro, Risjaf, dan Tjahjadi Sukarna (Tjai Sin Soe).
ADVERTISEMENT
Sekelompok pemuda Indonesia yang sedang berada di luar negeri ketika gejolak politik besar melanda tanah air pasca peristiwa 30 September 1965.
Ketiganya, Dimas, Nugroho, dan Risjaf adalah wartawan dari Kantor Berita Nusantara, sementara Tjai memiliki latar belakang berbeda dan baru bergabung beberapa waktu kemudian.
Dimas dan Nugroho sedang mengikuti konferensi International Organization of Journalist di Santiago, Chile, sedangkan Risjaf berada di Havana, Kuba, dalam rangka menghadiri kegiatan jurnalistik lainnya.
Setelah mendengar kabar tentang kekacauan politik dan pembantaian besar-besaran di Indonesia, keempatnya menyadari bahwa pulang ke tanah air adalah langkah yang sangat berisiko.
Terutama karena afiliasi mereka dengan Kantor Berita Nusantara yang saat itu dicurigai sebagai simpatisan PKI.
Masalah utama yang dihadapi adalah pencabutan paspor oleh pemerintah Indonesia, yang secara langsung menghapus status kewarganegaraan dan menjadikan sebagai warga tanpa negara.
ADVERTISEMENT
Mereka pun menyandang status sebagai eksil politik yaitu orang buangan yang tidak bisa kembali ke rumah, tidak memiliki kewarganegaraan, dan hidup dalam ketidakpastian.
Setelah beberapa waktu hidup di negara-negara berbeda, keempat eksil itu bertemu dan memutuskan untuk menetap di Paris, Prancis.
Di kota inilah berjuang membangun hidup baru. Awalnya menjalani pekerjaan serabutan demi bertahan hidup, hingga akhirnya mendirikan sebuah restoran kecil yang diberi nama “Restoran Tanah Air”.
Restoran ini bukan hanya tempat mencari nafkah, melainkan juga menjadi simbol nostalgia dan perjuangan untuk menjaga identitas Indonesia di tanah asing.
Restoran ini menjadi semacam rumah kedua bagi para eksil Indonesia di Eropa, tempat berkumpul, berbagi cerita, dan menghidupkan kembali memori tentang tanah air yang telah lama mereka tinggalkan.
ADVERTISEMENT
Dimas Suryo, salah satu tokoh utama dalam novel ini, menjadi penghubung emosional antara masa lalu dan masa kini, antara pengasingan dan kerinduan akan “pulang” yang sejati.
Dalam proses adaptasi di Paris, Dimas menikah dengan seorang perempuan Perancis bernama Vivienne Deveraux, dan dikaruniai seorang anak perempuan bernama Lintang Utara.
Meski lahir dan besar di Prancis, Lintang tumbuh dengan kisah-kisah tentang Indonesia dari ayahnya, namun tetap merasa ada kekosongan yang belum terisi dalam pemahaman jati dirinya.
Cerita semakin dalam ketika Vivienne berkesempatan pergi ke Indonesia pada Mei 1998 untuk menyelesaikan tugas akhir kuliahnya.
Ingin merekam kisah para korban tragedi 1965, yang selama ini hanya didengar melalui narasi dari pihak penguasa. Keberangkatan Vivienne membuka jalan bagi Lintang untuk mengenal Indonesia secara lebih langsung.
ADVERTISEMENT
Dalam proses ini, terjadi pergulatan batin yang kuat antara mengenali kebenaran sejarah, menerima masa lalu ayahnya, dan memahami realitas politik serta sosial Indonesia yang rumit.
Ironisnya, Dimas Suryo baru bisa benar-benar “pulang” ke tanah air sebulan setelah Vivienne pergi ke Indonesia bukan sebagai orang hidup, melainkan dalam bentuk abu jenazah yang dibawa oleh keluarganya.
Pulang bagi Dimas bukan lagi tentang kembali secara fisik, tetapi tentang menyatu dengan tanah tempat asalnya.
Dalam konteks ini, Leila S. Chudori memberikan makna yang dalam dan simbolis terhadap kata “pulang” suatu kerinduan, luka, sekaligus bentuk penutupan dari perjalanan panjang yang penuh duka dan kehilangan.

Review dari Novel Pulang Karya Leila S. Chudori

Ilustrasi Ringkasan Novel Pulang Leila S. Chudori,Foto:Pixabay
Salah satu kelebihan utama dari novel Pulang karya Leila S. Chudori adalah bagaimana penulis berhasil mengemas narasi sejarah Indonesia yang kompleks dan penuh luka menjadi sebuah cerita fiksi yang tidak hanya menarik tetapi juga menyentuh secara emosional.
ADVERTISEMENT
Salah satu kekuatan utama dari novel Pulang adalah keberaniannya mengangkat tema sejarah yang seringkali dilupakan atau disembunyikan dalam narasi resmi. Eksil politik 1965 adalah bagian dari sejarah Indonesia yang jarang dibahas secara terbuka.
Leila tidak hanya menyorot penderitaan, tetapi juga menunjukkan bagaimana membentuk komunitas, mempertahankan budaya, dan mencari jalan pulang dalam arti yang paling manusiawi.
Melalui Pulang, Leila memberikan suara yang selama ini dibungkam. Tidak menghakimi, tetapi membuka ruang dialog dan empati. Pembaca diajak untuk melihat sejarah tidak hanya sebagai data, tetapi sebagai pengalaman manusia—penuh luka, harapan, dan cinta.
Dipenuhi dengan kedalaman riset yang tidak hanya memperkaya cerita, tetapi juga memberikan wawasan sejarah yang jarang dibicarakan secara terbuka.
Seperti novelnya yang lain, Laut Bercerita, Pulang juga menawarkan kekayaan sudut pandang yang membuat pembaca dapat memahami konflik dari berbagai sisi, karena para tokohnya diceritakan dari sudut pandang orang pertama yang sangat manusiawi.
ADVERTISEMENT
Yang paling mencolok tentu saja adalah kisah dari Dimas Suryo, Lintang Utara, dan Segara Alam, yang saling berkaitan dalam benang merah sejarah, politik, dan hubungan keluarga.
Perspektif Narayana Lefebvre, mantan kekasih Lintang yang berdarah campuran Indonesia-Prancis, juga menambah lapisan cerita yang menarik.
Karena melalui dirinya,dapat melihat lebih jauh realitas eksil politik di luar negeri serta bagaimana hubungan para eksil dengan pihak KBRI Prancis.
Hal ini menjadi semakin bermakna saat novel mengangkat kebijakan nyata bernama "Bersih Diri" dan "Bersih Lingkungan".
Yang pada masanya diberlakukan kepada orang-orang yang dianggap memiliki keterkaitan langsung maupun tidak langsung dengan Partai Komunis Indonesia.
Bersih Diri dikenakan kepada individu yang dianggap terlibat langsung, sementara Bersih Lingkungan diterapkan pada keluarganya—sebuah sistem diskriminatif yang bahkan meninggalkan cap ET (Eks Tapol) di kartu identitas.
ADVERTISEMENT
Novel ini juga mengisahkan bagaimana sistem tersebut berlanjut hingga ranah personal, seperti ketika sepupu Lintang gagal menikah karena keluarganya dicurigai memiliki hubungan dengan PKI.
Semua kisah ini menampilkan betapa mencekamnya kehidupan setelah peristiwa 1965, di mana stigma dan rasa takut diwariskan lintas generasi.
Karena itulah, sangat merekomendasikan Pulang sebagai bacaan penting untuk mengenal sejarah Indonesia dari sisi yang selama ini kerap disembunyikan atau dianggap tidak penting.
Sebuah novel yang tidak hanya menggairahkan untuk dibaca, tetapi juga menggugah kesadaran sejarah pembacanya.
Namun demikian, di balik kekuatannya yang luar biasa dalam menghadirkan sejarah melalui cerita fiksi, novel ini juga memiliki beberapa kekurangan yang cukup mencolok.
Salah satunya adalah banyaknya sudut pandang dan tokoh yang muncul silih berganti, sehingga bisa membuat pembaca merasa kebingungan dan kehilangan fokus pada alur utama cerita.
ADVERTISEMENT
Meskipun alur campuran antara masa kini dan masa lalu tidak terlalu mengganggu, ada beberapa bagian yang bisa dihilangkan atau dipadatkan, karena cenderung keluar dari esensi cerita utama.
Meski demikian, kekurangan-kekurangan tersebut tidak cukup kuat untuk mengurangi keasyikan membaca novel ini.
Meski berlatar sejarah, Pulang sangat relevan untuk generasi muda Indonesia saat ini. Di tengah derasnya arus globalisasi dan media sosial, pertanyaan tentang identitas, sejarah keluarga, dan akar budaya menjadi semakin penting.
Novel ini mendorong pembaca muda untuk tidak melupakan masa lalu, untuk mencari kebenaran, dan untuk memahami bahwa sejarah bukan hanya milik buku, tetapi hidup dalam diri setiap orang.
Melalui karakter Lintang, generasi muda bisa bercermin. Adalah representasi dari pencarian jati diri, keingintahuan terhadap sejarah, dan keberanian untuk menantang narasi yang sudah mapan. Kisahnya menjadi ajakan untuk mengenal siapa kita sebenarnya dan dari mana kita berasal.
ADVERTISEMENT
Itulah ringkasan novel Pulang Leila S. Chudori membawa pembaca menelusuri jejak sejarah yang penuh luka melalui kisah para eksil Indonesia yang kehilangan tanah airnya, namun tetap menjaga cinta dan identitasnya.
Dengan narasi yang kuat dan penuh empati, Leila berhasil menggambarkan betapa dalamnya dampak tragedi politik terhadap kehidupan pribadi dan generasi berikutnya. (shr)