Konten dari Pengguna

Mengapa Pinisi Ditetapkan Sebagai Warisan Budaya Tak Benda Dunia oleh UNESCO?

Tim Kabar Wajo
Portal berita online seputar Wajo dan Sulawesi Selatan.
9 Desember 2017 12:52 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:13 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Tim Kabar Wajo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Mengapa Pinisi Ditetapkan Sebagai Warisan Budaya Tak Benda Dunia oleh UNESCO?
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Secara kasat mata, perahu Pinisi adalah sebuah benda. Pinisi merupakan sebuah hasil karya (budaya) manusia yang terdiri dari sejumlah susunan kayu dan dipakai berlayar di lautan samudra dengan menggunakan 7 helai layar.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), yakni Badan PBB yang mengurusi pendidikan, keilmuan, dan kebudayaan, malah menetapkan Pinisi sebagai Warisan Budaya Tak Benda (Intangeble Culture Heritage/ICH) pada Sidang Tahunan UNESCO di Kota Jeju, Korea Selatan pada 4-6 Desember 2017.
Ternyata setelah dilakukan kajian, yang luar biasa pada perahu Pinisi adalah proses pembuatannya. Di sinilah terkandung sebuah ilmu pengetahuan dan teknologi tradisional yang dimiliki oleh para Panre Lopi, yang bisa bersaing dan bertahan dengan sistem pembuatan perahu modern.
Pengetahuan dan teknologi itu telah dimiliki sejak dahulu oleh nenek-moyang orang Bugis-Makassar, khususnya yang berada di Bulukumba. Selain itu, dalam pembuatannya mereka masih berpatokan sistem kepercayaan tradisional yang ada yang dibarengi dengan ritual-ritual tertentu.
ADVERTISEMENT
Kemudian ketika perahu Pinisi sudah lahir/maujud, perahu ini pun dilayarkan oleh pelaut ulung dengan sistem navigasi tradisional dan sangat sederhana tetapi mampu mengarungi samudra luas hingga merapat ke dermaga yang paling jauh.
Semua aspek yang tidak terjamah (intangeble) itulah yang menjadi lebih penting untuk diwariskan ketimbang sebuah pisik sebuah perahu Pinisi yang terlalu mudah untuk lapuk oleh waktu. Ilmu pengetahuan dan teknologi, ilmu navigasi, astrologi, sistem kepercayaan, tradisi, dan lain-lainnya itu yang telah teruji oleh zaman dan bisa bertahan hingga saat ini melalui pewarisan secara turun temurun.
Nama “Pinisi” sesungguhnya adalah “general name” untuk sistem pembuatan badan (lambung) perahu. Pinisi hanya mewakili sistem budaya-takbenda dalam pembuatan lambung perahu tradisional di Sulawesi Selatan.
ADVERTISEMENT
Ia juga mewakili sistem bembuatan perahu palari, lambo, baqgoq, pattorani, padewakkang, pajala, dan lain-lain, yang masing-masing bentuk lambungnya berbeda. Hanya saja, perahu tradisional yang paling popular dari Sulawesi Selatan adalah ‘Pinisi”.
Mengapa Pinisi Ditetapkan Sebagai Warisan Budaya Tak Benda Dunia oleh UNESCO? (1)
zoom-in-whitePerbesar
Jalan Panjang Pinisi Menjadi Warisan Budaya Tak Benda Dunia
Untuk sampai ke persidangan di Jeju, Pinisi telah melakukan perjalanan panjang untuk mendapatkan predikat Warisan Dunia ini.
Perjalanan itu dimulai pada tahun 2010 ketika Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata melalui Balai Penelitian Sejarah dan Nilai Tradisional Makassar yang waktu itu dipimpin oleh Suriadi Mappangara melakukan pencatatan dan inventarisasi Budaya Tak-benda yang ada di daerah-daerah di Sulawesi Selatan.
Saat itu penulis terlibat sebagai pencatat dan pengisi formulir awal tersebut.
Tiga tahun kemudian (2013), Pinisi diusulkan oleh Balai Penelitian Sejarah dan Nilai Tradisi Makassar bersama Kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sulawesi Selatan untuk menjadi Warisan Budaya Tak Benda Nasional. Tentu saja bersama dengan karya budaya lainnya.
ADVERTISEMENT
Oleh sebuah tim penilai dan verifikasi dari Direktorat Kebudayaan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata RI yang beranggotakan sejumlah pakar budaya dan diketuai oleh Dr. Muklis PaEni, menetapkan Pinisi sebagai Warisan Nasional 2013. Tentu dengan dengan berbagai pertimbangan dan penilaian yang disesuaikan dengan penilaian UNESCO.
Perjalanan Pinisi tidak berhenti di sana, tim Kementerian RI kemudian mengusulkannya ke UNESCO untuk dijadikan Warisan Budaya Takbenda Dunia (Intangeble Culture Heritage/ICH).
Maka pada tahun 2014 dimulailah pengisian formulir UNESCO. Pengisian dan pengusulan formulir ke UNESCO bukanlah hal yang mudah, karena berbagai aspek yang harus diperhatikan dalam penilaian UNESCO. Terutama pada nilai dan materi budaya yang akan diwariskan.
Untuk itulah tim kemudian melibatkan sejumlah ahli dan masyarakat pendukung kebudayaan Pinisi untuk membuat rumusan-rumusan dalam formulir isian.
ADVERTISEMENT
Di tahun itulah berkumpul sejumlah pakar budaya terutama yang konsentrasi pada dunia maritim dan perkalapan, dan juga sejumlah tokoh masyarakat dan budayawan dari Bulukumba di Makassar untuk menyatukan visi dan rumusan dalam pengisian formulir tersebut. Maka lahirlah sebuah judul “ Pinisi; The Art of Boatbuilding in South Sulawesi'.
Persidangan UNESCO semestinya berlangsung setiap tahun dan menetapkan warisan-warisan dunia. Akan tetapi pada tahun 2015 terjadi kebijakan baru di UNESCO dan persidangan dilakukan secara regional. Tahun 2016 semestinya Pinisi sudah masuk persidangan akan tetapi persidangan untuk Regional Asia-Pasifik baru bisa terlaksana di tahun 2017 ini.
Maka barulah Pinisi ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Dunia menyusul warisan budaya yang sudah lolos terlebih dahulu, yakni: Keris (2008), Wayang (2008), Batik (2009), Best Practice Batik (2009), Angklung (2010), Tari Saman (2011), Noken Papua (2012), Tiga Genre Tarian Tradisional Bali (2015), dan tahun ini Perahu Pinisi (2017).
ADVERTISEMENT
(Shaifuddin Bahrum)