Perang dagang AS-China, RI berisiko kebanjiran kedelai impor

Konten Media Partner
12 April 2019 15:59 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
JAKARTA, kabarbisnis.com: Pemerintah Indonesia terus mewaspadai dampak dari perang dagang Amerika Serikat (AS) –Cina terhadap pertanian Indonesia. Tidak hanya berdampak buruk terhadap komoditas ekspor pertanian nasional seperti karet. Pertikaian dua negara adidaya ini juga akan menyebabkan Indonesia akan kebanjiran produk kedelai impor asal AS.
ADVERTISEMENT
Kepala Biro Perencanaan Setjen Pertanian Kementerian Pertanian Abdul Basit mengatakan pertikaian dagang AS-China akan berpengaruh terhadap pertanian di Tanah Air. Dampak langsung terhadap pertanian Indonesia ke depan itu seperti risiko membanjirnya kedelai AS ke pasar Indonesia.
Negara Paman Sam tersebut, kata Basit harus mencari pasar alternatif setelah menghentikan ekspor kedelai ke China yang mengenakan tarif bea masuk yang tinggi. Retalisasi pengenaan tarif bea masuk itu dilakukan menyusul AS menaikkan bea masuk atas ekspor dari China. Sebagai gantinya, China mengimpor kedelai dari Brasil.
Merujuk catatannya, komoditas pertanian asal AS yang memiliki potensi besar beralih ke pasar Indonesia yakni jagung, gandum, sapi daan unggas serta produk susu. “Tapi resiko terbesar membanjirnya impor produk pertanian asal Amerika adalah kedelai. Karena Cina merupakan pasar utama kedelai dari Amerika,” ujar Basit dalam Prospek Bisnis Agribisnis Indonesia 2019 di Jakarta, Kamis (11/4/2019).
ADVERTISEMENT
Dalam tiga tahun terakhir, volume impor kedelai tahun 2016 sebesar 2,3 juta ton senilai US$ 959 juta. Kemudian di tahun berikutnya, volume dan nilai naik masing masing 2,7 juta ton dan US$ 1,2 miliar. Namun di tahun 2018 arus impor kedelai menurun cukup signifikan yakni senilai US$ 507,7 juga dengan volume tinggal 1,2 juta ton.
Namun menurut Basit efek perang dagang AS-China juga berimbas tidak langsung terhadap pertanian Indonesia tidak selamanya negatif. Ekspor minyak sawit ke China berpeluang meningkat sebagai pengganti konsumsi minyak nabati komoditas kedelai . Catatan GAPKI, ekspor minyak sawit Indonesia ke China tahun 2018 tumbuh 18% atau 4,41 juta ton.
Indonesia juga berpeluang mendorong ekspor buah eksotis seperti manggis ,nanas, pisang dan jeruk ke China.Berkaitan hal tersebut, Kementan sambung Basit telah menyiapkan strategi jangka pendek dan jangka panjang. Untuk jangka pendek misalnya dengan cara meningkatkan market akses ke negara lain (ekspansi ke pasar non tradisional).
ADVERTISEMENT
Sedangkan untuk jangka panjang telah disusun kebijakan/strategi di antaranya, relaksasi perizinan ekspor dan investasi budidaya (on-farm) dan industri olahan, menciptakan iklim yang kondusif untuk berkembangnya substitusi impor bahan baku, pemberian insentif bagi perusahaan yang berorientasi ekspor, menyediakan SDM negosiator internasional dalam bidang pertanian.Kementan juga membuka pasar ekspor ke sejumlah negara baru seperti ekspor jagung ke Filipina, ekspor DOC ke Myanmar dan Timor Leste dan ekspor produk ayam ke Jepang.
Menghadapi resiko membanjirnya impor kedelai asal AS ini,ekonom Institue for Development of Economics and Finance Bhima Yudhistira berharap pemerintah segara melakukan proteksi terhadap pasar domestik .Cara yang dapat ditempuh, tanpa harus digugat dalam forum WTO, pemerintah Indonesia dapat menerapkan hambatan non tarif terhadap impor.
ADVERTISEMENT
Dia cukup menyesalkan hambatan non tarif baru diberlakukan atas 272 jenis saja. Padahal China 4.000, sementara AS lebih besar yaitu 6.000 jenis hambatan non tarif. “Mereka itu licik. Mereka bilang cinta free trade. Hari ini justru mengkhianati. Indonesia seharusnya tidak lagi memiliki diktum free trade memberi dampak positif terhadap pertanian nasional Kita harus memiliki pasar domestik,” pungkasnya.