news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Survei RISED: 75% Konsumen tolak kenaikan tarif ojol

Konten Media Partner
7 Mei 2019 12:54 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
JAKARTA, kabarbisnis.com: Keputusan Menteri Perhubungan (Kepmenhub) Nomor 348 tahun 2019 sehubungan kenaikan tarif ojek on line (ojol) ditolak 75% konsumen secara nasional. Hal itu berkaitan dengan ketersediaan masyarakat untuk membayar biaya tambahan akibat kenaikan tarif .
ADVERTISEMENT
Data itu berasal dari survei bertajuk "Persepsi Konsumen terhadap Kenaikan Tarif Ojek Online di Indonesia" milik lembaga Research Institute of Socio-Economic Development (RISED).Ketua Tim Peneliti RISED Rumayya Batubara menuturkan tarif baru yang diatur pemerintah per 1 Mei 2019 tidak mencerminkan tarif yang akan dibayarkan oleh konsumen.
"Tarif atau biaya jasa yang tertera pada Kepmenhub nomor 348/2019 itu tarif bersih yang akan diterima pengemudi. Artinya, tarif yang harus dibayar konsumen akan lebih mahal lagi, mengingat harus ditambah biaya sewa aplikasi," ujar Rumayya kepada wartawan di Jakarta, Senin (5/5/2019).
Adapun besaran maksimal biaya sewa aplikasi tersebut adalah 20% dari harga sesuai Kepmenhub. Contohnya, tarif dasar di Jakarta (zona II) menurut regulasi berada di kisaran Rp 2.000-Rp 2.500. Karena biaya sewa sistem aplikasi, maka angka yang harus dibayarkan konsumen meningkat menjadi Rp 2.500-Rp 3.125. "Begitu juga dengan tarif minimumnya, Rp8.000-Rp10.000 yang tertera di aturan, tapi yang di konsumen Rp10.000-Rp 12.500 untuk zona II"ujar Rumayya.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, kenaikan tarif juga mempengaruhi pengeluaran konsumen setiap harinya. Berdasarkan data RISED, masing-masing konsumen ojol menempuh jarak sebagai berikut: 7-10 km/hari di zona I (Jawa non-Jabodetabek, Bali, dan Sumatera); 8-11 km/hari di zona ll (Jabodetabek), dan 6-9 km/hari di zona III (wilayah sisanya).
Dengan skema tarif baru berdasarkan Kepmenhub 348/2019 serta jarak tempuh seperti itu, maka pengeluaran konsumen akan bertambah sekitar Rp4.000-Rp 11.000/hari di zona I. Rp 6.000-15.000/hari di zona II dan Rp 5.000-Rp 12.000/hari di zona III."Bertambahnya pengeluaran sebesar itu sudah memperhitungkan kenaikan tarif minimum untuk jarak tempuh 4 km ke bawah. Jangan lupa tarif minimum juga mengalami peningkatan," jelas Rumayya yang juga merupakan ekonom Universitas Airlangga ini.
ADVERTISEMENT
Peningkatan pengeluaran di kisaran angka tersebut ditolak 47,6% kelompok konsumen yang hanya bersedia mengalokasikan pengeluaran tambahan untuk ojol maksimal Rp4.000-Rp 5.000/hari. Ditambah lagi, ada sekitar 27,4% kelompok konsumen yang tidak mau menambah pengeluaran sama sekali.
"Total persentase kedua kelompok tersebut mencapai 75% secara nasional. Jika diklasifikasikan berdasarkan zona, maka besarannya adalah 67% di zona I, 82% di zona II, dan 66% di zona III," imbuh Rumayya.
Sebagai tambahan rata-rata kesediaan konsumen non-Jabodetabek untuk mengalokasikan pengeluaran tambahan adalah Rp 4.900/hari. Jumlah itu lebih kecil 6% dibandingkan rata-rata kesediaan konsumen di Jabodetabek yang mencapai Rp 5.200/hari."Karena itu, pemerintah perlu berhati-hati dalam mengklasifikasikan tarif berdasarkan zona. Daya beli konsumen di wilayah non-Jabodetabek yang lebih rendah tentu harus dimasukkan ke dalam perhitungan pemerintah," kata dia.
ADVERTISEMENT
Terbatasnya kesediaan membayar konsumen didorong oleh 75,2% konsumen yang berasal dari kelompok ekonomi menengah ke bawah. Yang mana menurut ekonom itu, naiknya tarif menjadi hal sensitif bagi para konsumen tersebut.
”Sebagai bukti, sebanyak 52,4% konsumen memilih faktor keterjangkauan tarif sebagai alasan utama. Jauh mengungguli alasan lainnya seperti fleksibilitas waktu, metode pembayaran, layanan door-to-door, dan keamanan. Oleh karena itu, perubahan tarif bisa sangat sensitif terhadap keputusan konsumen." pungkasnya.