Konten Media Partner

5 Fakta Menarik Tentang Sosok Mbah Kiai Hamid

18 November 2018 0:03 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:05 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
5 Fakta Menarik Tentang Sosok Mbah Kiai Hamid
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Pasuruan, Kabarpas.com – Kiai Hamid Pasuruan adalah sosok ulama kharismatik. Karisma beliau bukan hanya karena kedalaman ilmu, tapi juga karena keluhuran budi dan kemakrifatannya. Tak heran, jika setiap tahunnya masyarakat dari berbagai penjuru berdatangan ke acara haul ulama besar ini. Bahkan, beberapa hari sebelum pelaksanaan haul KH Hamid Pasuruan. Sejumlah jamaah haul sudah mulai berdatangan ke Kota Pasuruan.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, tak banyak yang tahu, meskipun dikenalnya pada nama beliau ada embel-embel nisbat “Pasuruan”, tapi beliau bukan kelahiran Kota Pasuruan. Beliau justru lahir di Lasem, Rembang, Jawa Tengah.
Berikut ini 5 fakta menarik tentang Sosok Kiai Hamid Pasuruan yang disarikan dari kata pengantar Gus Mus berjudul “Kiai Hamid Bukan Wali Tiban” untuk buku biografi wali dari Pasuruan tersebut, sebagaimana yang dilansir dari situs datdut.com (Kabarpas Grup) :
1. Kesan Gus Mus Saat Bertemu Kiai Hamid
Gus Mus ‘mengenal’ secara pribadi sosok Kiai Abdul Hamid, ketika Gus Mus masih tergolong remaja, sekitar tahun 60-an. Ketika itu Gus Mus dibawa ayah Gus Mus, K.H. Bisri Mustofa, ke suatu acara di Lasem. Memang sudah menjadi kebiasaan ayahnya, bila bertemu atau akan bertemu kiai-kiai, sedapat mungkin mengajak anak-anaknya untuk diperkenalkan dan dimintakan doa-restu. Menurut Gus Mus, ini memang merupakan kebiasaan setiap kiai tempo doeloe.
ADVERTISEMENT
Dengan Kiai Hamid baru ketika itulah Gus Mus melihatnya. Wajahnya sangat rupawan. Seperti banyak kiai, ada rona ke-Arab-an dalam wajah rupawan itu. Matanya yang teduh bagai telaga dan mulutnya yang seperti senantiasa tersenyum, menebarkan pengaruh kedamaian kepada siapa pun yang memandangnya.
2. Suwuk Kiai Hamid sebagai Doa
Ayah Gus Mus berkata kepada Kiai Hamid, “Ini anak saya, Mustofa, Sampeyan suwuk!” Dan tanpa terduga-duga, tiba-tiba, kiai karismatik itu mencengkeram dada Gus Mus sambil mengulang-ulang dengan suara lembut: “Waladush-shalih, shalih! Waladush-shalih, shalih!”
Telinga Gus Mus menangkap ucapan itu bukan sebagai suwuk, tapi cambuk yang terus terngiang; persis seperti tulisan ayah Gus Mus sendiri di notes Gus Mus: “Liyakun waladul asadi syiblan la hirratan.” (“Anak singa seharusnya singa, bukan kucing!”). Apalagi dalam beberapa kali petemuan selanjutnya, cengkeraman pada dada dan ucapan lembut itu selalu beliau ulang-ulang. Tapi dalam hati, diam-diam Gus Mus selalu berharap cambuk itu benar-benar mengandung suwuk, doa restu.
ADVERTISEMENT
3. Kiai Hamid, Wali yang Memanusiakan Manusia
Ketika Gus Mus sering berjumpa dalam berbagai kesempatan, apalagi setelah Gus Mus mulai mengenal putra-putra wali Pasuruan ini–Gus Nu’man, Gus Nasih, dan Gus Idris—Kiai Hamid pun menjadi salah satu tokoh idola Gus Mus yang istimewa.
Pengertian idola ini, boleh jadi tidak sama persis dengan apa yang dipahami kebanyakan orang yang mengidolakan beliau. Biasanya orang hanya membicarakan dan mengagumi karomah beliau lalu dari sana, mereka mengharap berkah. Seolah-olah kehadiran Kiai Hamid hanyalah sebagai ‘pemberi berkah’ kepada mereka yang menghajatkan berkah. Lalu beliau pun dijadikan inspirasi banyak santri muda yang–melihat dan mendengar karomah beliau–ingin menjadi wali dengan jalan pintas. Padahal berkah beliau lebih dari itu.
ADVERTISEMENT
Pernah suatu hari Gus Mus sowan ke kediaman beliau di Pasuruan. Berkat ‘kolusi’ dengan Gus Nu’man, Gus Mus bisa menghadap langsung empat mata di bagian dalam ndalem. Gus Mus melihat manusia yang sangat manusia yang menghargai manusia sebagai manusia.
Bayangkan saja, waktu itu ibaratnya beliau sudah merupakan punjer-nya tanah Jawa, dan beliau mentasyjie’ Gus Mus agar tidak sungkan duduk sebangku dengan beliau. Ketawaduan, keramahan, dan kebapakan beliau, membuat kesungkanan Gus Mus sedikit demi sedikit mencair.
Beliau bertanya tentang Rembang dan kabar orang-orang Rembang yang beliau kenal. Tak ada fatwa-fatwa atau nasihat-nasihat secara langsung, tapi Gus Mus mendapatkan banyak fatwa dan nasihat dalam pertemuan hampir satu jam itu, melalui sikap dan cerita-cerita beliau.
ADVERTISEMENT
Misalnya, beliau menghajar nafsu tamak Gus Mus dengan terus menerus merogoh saku-saku beliau dan mengeluarkan uang seolah-olah siap memberikannya kepada Gus Mus (Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa salah satu ‘hobi’ Kiai Hamid adalah membagi-bagikan uang). Atau ketika beliau bercerita tentang kawan Rembang-nya yang dapat Gus Mus tangkap intinya: setiap manusia mempunyai kelebihan di samping kekurangannya.
4. Kiai Hamid Bukan Wali Tiban dan Bukan Kiai Kagetan
Proses yang berlangsung, yang membentuk seorang santri Abdul Mu’thi menjadi Kiai Abdul Hamid. Dalam hal ini terkait ketekunan beliau mengasah pikir dengan menimba ilmu; tentang perjuangan beliau mencemerlangkan batin dengan penerapan ilmu dalam amal dan mujahadah; dan kesabaran beliau dalam mencapai kearifan dengan terus belajar dari pergaulan yang luas dan pengalaman yang terhayati. Sehingga menjadi kiai yang mutabahhir, yang karenanya penuh kearifan, pengertian, dan tidak kagetan.
ADVERTISEMENT
Kiai Hamid bukanlah ‘Wali Tiban’. ‘Wali Tiban’, kalau memang ada, tentu berpotensi kontroversial dalam masyarakat. Kiai Hamid tidak demikian. Beliau dianggap wali secara muttafaq ‘alaih. Bahkan ayah Gus Mus, Kiai Bisri Mustofa dan guru Gus Mus Kiai Ali Maksum–keduanya adalah kawan-karib Kiai Hamid–yang paling sulit mempercayai adanya wali di zaman ini, harus mengakui, meskipun sebelumnya sering meledek kewalian kawan-karib mereka ini.
5. Kiai Hamid; Ulama Paripurna yang Mengamalkan Ilmunya
Banyak orang alim yang tidak mengajarkan secara tekun ilmunya dan tidak sedikit yang bahkan tidak mengamalkan ilmunya. Lebih banyak lagi orang yang tidak secara maksimal mengajarkan dan atau mengamalkan ilmunya. Sebagai contoh, banyak kiai yang menguasai ilmu bahasa dan sastra (Nahwu, sharaf, Balaghah, Arudl, dsb.), namun jarang di antara mereka yang mengamalkannya bagi memproduksi karya sastra.
ADVERTISEMENT
Kebanyakan mereka yang memiliki ilmu bahasa dan sastra itu menggunakannya ‘hanya’ untuk membaca kitab dan mengapresiasi, menghayati keindahan, kitab suci Al-Quran. Tentu tak banyak yang mengetahui bahwa salah satu peninggalan Kiai Hamid adalah naskah lengkap berupa antologi puisi.
Banyak kiai yang karena keamanahannya mendidik santri, sering melupakan anak-anak mereka sendiri. Kiai Hamid, bukan saja mendidik santri dan masyarakat, tapi juga sekaligus keluarganya sendiri.
Dari sosok yang sudah jadi Kiai Hamid, kita bisa menduga bahwa penghayatan dan pengamalan ilmu itu sudah beliau latih sejak masih nyantri. Demikian pula pergaulan luas yang membangun pribadi beliau, sudah beliau jalani sejak muda, sehingga beliau menjadi manusia utuh yang menghargai manusia sebagai manusia; bukan karena atribut tempelannya. Dan kesemuanya itu melahirkan kearifan yang dewasa ini sangat sulit dijumpai di kalangan tokoh-tokoh yang alim. (ddt/sym).
ADVERTISEMENT