Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.95.1
ADVERTISEMENT
(Kabarpas.com) – WAK TAKRIP ini sudah tua, tapi ndak bisa diajeni. Sudah tua kok gaya koboynya ndak juga hilang. Kalau wali sih, mau macam-macam ataujungkir walik maklum sedang jadab atau gila Tuhan. Lha kalau Wak Takrip? Sholat saja sering qodlo’, puasa sering mokel kok mau macam-macamngatur anak-anak remaja masjid yang sedang memasang plembungan alias balon dalam rangka memeriahkan maulidan Kanjeng Nabi.
ADVERTISEMENT
“Ndak usah, pokoknya ndak usah pakai balon atau rumbai-rumbai apapun di masjid!” katanya.
“Ya ndak meriah, Wak Takrip!” protes Fauzi, ketua remaja masjid yang sudah seharian memompa plembungan.
“Ini niat hormat Kanjeng Nabi kok pakai ukuran meriah atau tidak meriah seperti orkes dangdut saja,” Wak Takrip tak kalah sengit.
“Nyebut, Wak Takrip!” bentak Yono, anggota remaja masjid.
“Ya kalian itu yang nyebut!”
ADVERTISEMENT
“Pokoknya kami akan memasang plembungan, sandal, sarung, kaos, BH bahkan segitiga pengaman biar masjid meriah,” ujar Yono yang memang temperamental.
“Kalau sampai ada gantungan di dalam masjid, saya turunkan, korat-karit, pokoknya,” Wak Takrip tak mundur sedikit pun. Yono maju mau mengintimidasi Wak Takrip, sayangnya Yono belum tahu jika Wak Takrip adalah salah seorang legenda pencak silat. Jangankan seorang Yono, lima Yono sekalipun, akan bablas dengan jurus Cimande andalan Wak Takrip.
Untungnya sudah ada yang melapor sama Gus Hasyim. Saat suasan sudah panas, Gus Hasyim tiba-tiba uluk salam.
ADVERTISEMENT
“Ada apa ini kok petentengan?” tanya Gus Hasyim.
“Lha ini gus, Wak Takrip melarang kami memasang plembungan dan rumbai-rumbai buat memeriahkan maulid Kanjeng Nabi,” ujar Yono meminta pembelaan Gus Hasyim.
“Sik mas, ayo duduk –duduk di teras masjid sana. Ndak baik rundingan di dalam masjid, apalagi sambil berdiri begini,” ujar Gus Hasyim seraya menggandeng pundak Yono.
Di dudukkan Yono di teras masjid setelah diberinya sebatang Dji Sam Soe refill. Wak Takrip sendiri juga dipersilahkan duduk di samping Gus Hasyim setelah juga disuguhi Dji Sam Soe.
ADVERTISEMENT
“Nah, sekarang enak rundingannya. Silahkan siapa dulu yang mau usul,” ujar Gus Hasyim memoderatori bengkerengan antara dua generasi pecinta Kanjeng Nabi ini.
“Sampeyan tanya sendiri sama Wak Takrip, kenapa melarang kami memasang plembungan di masjid,” ujar Yono mulai terkendali.
“Saya keberatan gus, masa pas Kanjeng Nabi rawuh kita suguhi dengan pemandangan seperti itu. Wong bupati datang saja kita ndak berani menaruh sandal, plembungan apalagi BH di ruang pertemuan. Ini Kanjeng Nabi, junjungan semesta alam, kok malah disambut dengan dekorasi norak seperti ini, kan aneh?”
ADVERTISEMENT
“Lho, ini pesta rakyat untuk mensyukuri kelahiran Kanjeng Nabi, kok? Dulu di Madinah Kanjeng Nabi datang disambut dengan rebana bahkan gadis-gadis sampai menari lupa diri. Para sahabat juga joget-joget kalau Nabi menerima wahyu yang berisi kabar gembira,” ujar Yono mempertahankanijtihad-nya.
“Lho lain, mas. Dulu rebana ditabuh karena memang masyarakat sedang mabuk kegembiraan. Dan itu pun, Kanjeng Nabi melengos, kurang suka. Kanjeng Nabi sebenarnya kurang setuju dengan pengagungan seperti itu.” Sampai sejauh ini Gus Hasyim hanya diam menyimak.
“Lha apa bedanya dengan cara kita menaruh plembungan di masjid biar pas mahallul qiyam suasana kian semarak?” ujar Yono kembali ngotot.
ADVERTISEMENT
“Lha, justru di situ letak penghinaan kita kepada Kanjeng Nabi!”
“Nyebut, Wak Takriiiiiiip!!!” Yono geregetan.
“Itu penghinaan! Coba bayangkan, Kanjeng Nabi hadir, bahkan sejak bismillah pertama kita membaca Diba’ Kanjeng Nabi sudah hadir. Lha pas inti acara Kanjeng Nabi kita acuhkan, berlompatan berebut plembungan, sandal, kaos, BH bahkan cawet. Apa bukan penghinaan? Apa bukan pelecehan?Sampeyan berani pencolotan pas bupati atau camat datang? Sampeyan berani rebutan plembungan di hadapan Pak Camat?” Yono tiba-tiba bungkam seribu bahasa.
ADVERTISEMENT
“Sudahlah, mulai saat ini kita hentikan tradisi ndak genah entah ajaran siapa itu. Sudah cukup bertahun-tahun kita menghina Kanjeng Nabi. Ini tidak ada hubungannya sama Bid’ah atau apa. Ini cuma upaya menghentikan tradisi ndak pokro yang terlanjur kita anggap baik.” Wak Takrip nyerocos tak karuan.
“Sudah, sudah cukup kita menghina Kanjeng Nabi dengan jandoman, main-main HP atau bergurau saat sejarah hidup beliau dibacakan. Sudah waktunya kita memperbaiki ritual peringatan maulid dengan meniadakan tradisi ndak pokro seperti pencolotan rebutan plembungan, main HP atau bergurau saat Diba’an.”
“Awas, kalau besok masih ada yang main HP saat serakalan, tak banting! Kalau ndak terima tak ganti, tak jualkan sapi!”
ADVERTISEMENT
“Betul, Mas Yono, saya setuju dengan usul Wak Takrip,” ujar Gus Hasyim serius.
“Mas Fauzi, tolong ya, ndak usah pasang plembungan di masjid.”
“Kami sudah terlanjur beli gus, malah sudah berminggu-minggu minta iuran sama warga.”
“Sampeyan tiup, bagikan sama anak-anak selesai serakalan.” (***).
Penulis : Abdur Rozaq