Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Non-Intervention vs Collective Measures
11 Desember 2020 5:25 WIB
Tulisan dari Kadarudin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Terkait Deklarasi Pemerintahan Sementara Papua Barat oleh Benny Wenda
(Sebuah Refleksi di Hari HAM Sedunia)
ADVERTISEMENT
Kita semua tentu dikagetkan dengan peristiwa yang terjadi pada awal Desember 2020 yang lalu, ketika tersiar kabar di media bahwa Benny Wenda selaku pimpinan The United Liberation Movement for West Papua/ULMWP (Gerakan Persatuan Pembebasan untuk Papua Barat) melakukan deklarasi yang berisi “Today, we announce the formation of our Provisional Government of #WestPapua. From today, December 1, 2020, we begin implementing our own constitution and reclaiming our sovereign land", yang kurang lebih jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia berarti “Hari ini, kami mengumumkan pembentukan Pemerintahan Sementara #WestPapua. Mulai hari ini, 1 Desember 2020, kami mulai menerapkan konstitusi kami sendiri dan merebut kembali tanah kedaulatan kami".
Sebagai orang Indonesia, tentu kita marah dengan apa yang dilakukan oleh Benny Wenda, karena tindakannya tersebut akan mengusik kedaulatan Indonesia dan merusak integritas wilayah Indonesia yang selama ini telah dipertahankan mati-matian oleh para pendahulu kita, walaupun tidak dapat dipungkiri, bahwa pada kenyataannya memang ada beberapa pihak yang pro terhadap tindakan Benny Wenda tersebut.
ADVERTISEMENT
Deklarasi mengenai Pemerintahan Sementara Papua Barat yang diduga dilakukan di Inggris oleh Benny Wenda tersebut tak pelak menjadi sorotan banyak pihak, bukan hanya pada lingkup nasional, tetapi juga gaungnya menjadi internasional, utamanya bagi negara-negara yang selama ini menyoroti pemenuhan hak asasi manusia di Papua Barat dan berambisi besar agar Papua Barat bisa merdeka dan lepas dari kedaulatan Indonesia, negara-negara dimaksud di antaranya Vanuatu dan Kepulauan Solomon di Melanesian Spearhead Group/MSG (sebuah organisasi yang beranggotakan negara-negara yang berlatar belakang budaya Melanesia).
Deklarasi ini bukan terjadi begitu saja, namun ini adalah serangkaian upaya panjang yang dilakukan oleh Benny Wenda dalam memperjuangkan agar Papua Barat dapat merdeka dan lepas dari kedaulatan Indonesia.
ADVERTISEMENT
Kita tentu masih ingat pada akhir September 2019 yang lalu upaya yang dilakukan Benny Wenda bersama rombongan yang juga sengaja hadir di Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Ke-74 yang ikut bersama delegasi Vanuatu namun berujung penolakan dan tidak diizinkannya masuk oleh petugas PBB dengan alasan bukan warga negara Vanuatu.
Keberlakuan Prinsip Non-Intervensi terhadap Kedaulatan dan Integritas Wilayah Indonesia
Vanuatu, Nauru, Tonga, Tuvalu, Republik Palau, Kepulauan Solomon, dan Kepulauan Marshall. Ketujuh negara ini juga secara bergantian selalu bersuara dan meminta penyelidikan pelanggaran HAM di Papua Barat pada Sidang-Sidang di Majelis Umum PBB. Hal ini tentu tidak sejalan dengan apa yang diikrarkan di dalam Charter of the United Nations (Piagam PBB). Pada Article 2 paragraph 1, 4, dan 7 dalam Charter secara berturut-turut diatur bahwa “Nothing contained in the present Charter shall authorize the United Nations to intervene in matters which are essentially within the domestic jurisdiction of any state or shall require the Members to submit such matters to settlement under the present Charter” (Tidak ada yang terkandung dalam Piagam ini yang memberi wewenang kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk campur tangan dalam masalah-masalah yang pada dasarnya berada dalam yurisdiksi domestik negara bagian mana pun atau akan mengharuskan Anggota untuk menyerahkan masalah-masalah tersebut ke penyelesaian berdasarkan Piagam ini), “The Organization is based on the principle of the sovereign equality of all its Members” (Organisasi ini [PBB] didasarkan pada prinsip persamaan kedaulatan dari semua Anggotanya), “All Members shall refrain in their international relations from the threat or use of force against the territorial integrity or political independence of any state, or in any other manner inconsistent with the Purposes of the United Nations” (Semua Anggota harus menahan diri dalam hubungan internasional mereka dari ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap integritas teritorial atau kemerdekaan politik negara manapun, atau dengan cara lain yang tidak sesuai dengan Tujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa).
ADVERTISEMENT
Non-Intervention sebagaimana yang diatur dalam Charter of the United Nations ini kemudian ditindaklanjuti melalui General Assembly No. A/RES/2625 (XXV) tertanggal 24 Oktober 1970 yang kemudian diadopsi menjadi Declaration on Principles of International Law concerning Friendly Relations and Co-operation among States in accordance with the Charter of the United Nations (Deklarasi tentang Prinsip-Prinsip Hukum Internasional tentang Hubungan Persahabatan dan Kerjasama antar Negara sesuai dengan Piagam PBB). Dalam deklarasi tersebut, diatur bahwa “All States enjoy sovereign equality. They have equal rights and duties and are equal members of the international community, notwithstanding differences of an economic, social, political or other nature. In particular, sovereign equality includes the following elements: (a) States are juridically equal; (b) Each State enjoys the rights inherent in full sovereignty; (c) Each State has the duty to respect the personality of other States; (d) The territorial integrity and political independence of the State are inviolable; (e) Each State has the right freely to choose and develop its political, social, economic and cultural systems; (f) Each State has the duty to comply fully and in good faith with its international obligations and to llve in peace with other States” (Semua Negara menikmati persamaan kedaulatan.
ADVERTISEMENT
Mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama dan merupakan anggota yang setara dalam komunitas internasional, terlepas dari perbedaan sifat ekonomi, sosial, politik atau lainnya. Secara khusus, kesetaraan kedaulatan mencakup elemen-elemen berikut: (a) Negara-negara secara yuridis setara; (b) Setiap Negara menikmati hak yang melekat dalam kedaulatan penuh; (c) Setiap Negara memiliki kewajiban untuk menghormati kepribadian Negara lain; (d) Integritas teritorial dan kemerdekaan politik Negara tidak bisa diganggu gugat; (e) Setiap Negara memiliki hak bebas untuk memilih dan mengembangkan sistem politik, sosial, ekonomi dan budayanya; (f) Setiap Negara memiliki kewajiban untuk mematuhi sepenuhnya dan dengan itikad baik kewajiban internasionalnya dan untuk hidup damai dengan Negara lain).
Berdasarkan dua instrumen internasional yakni Charter of the United Nations dan General Assembly No. A/RES/2625 (XXV) yang dijadikan rujukan utama dalam praktik larangan intervensi suatu negara terhadap kedaulatan dan integritas wilayah negara lain, maka Vanuatu dan enam negara lainnya tidak bisa mencampuri urusan dalam negeri Indonesia termasuk di wilayah Papua Barat yang merupakan bagian integritas wilayah Indonesia baik urusan politik, hukum, sosial, budaya, ekonomi, dan urusan lainnya, termasuk Inggris tempat yang diduga dijadikan lokasi Deklarasi Pemerintahan Sementara Papua Barat oleh Benny Wenda.
ADVERTISEMENT
Setidak-tidaknya, karena Inggris telah gagal melakukan pencegahan terhadap aksi yang dilakukan oleh Benny Wenda, maka sudah seyogyanya Inggris sebagai salah satu negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB, dapat memberikan contoh praktik hubungan persahabatan dan kerja sama antar negara sesuai dengan prinsip-prinsip yang tertuang dalam Piagam PBB, dan dengan didasari good feit (itikad baik) melakukan proses hukum yang proporsional terhadap Benny Wenda agar tidak dilabeli sebagai state-sponsored separatism (negara yang mensponsori kegiatan separatis).
Collective Measures dan Analogi Peristiwa
Collective Measures dalam hukum internasional diartikan sebagai tindakan kolektif yang efektif yang dilakukan oleh negara-negara untuk pencegahan dan penghapusan ancaman terhadap perdamaian, hal ini sesuai dengan apa yang tercantum dalam Article 1 paragraph 1 dari Charter of the United Nations “To maintain international peace and security, and to that end: to take effective collective measures for the prevention and removal of threats to the peace, and for the suppression of acts of aggression or other breaches of the peace, and to bring about by peaceful means, and in conformity with the principles of justice and international law, adjustment or settlement of international disputes or situations which might lead to a breach of the peace” (Untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional, dan untuk itu: untuk mengambil tindakan kolektif yang efektif untuk pencegahan dan penghapusan ancaman terhadap perdamaian, dan untuk menekan tindakan agresi atau pelanggaran perdamaian lainnya, dan untuk mewujudkannya dengan cara damai, dan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan hukum internasional, penyesuaian atau penyelesaian sengketa atau situasi internasional yang mungkin mengarah pada pelanggaran perdamaian. Dalam praktiknya Collective Measures kemudian diwujudkan dalam bentuk Collective Security (keamanan kolektif) yang diartikan sebagai upaya negara-negara secara bersama-sama dalam menyelesaikan permasalahan satu pihak dalam sebuah sistem keamanan kolektif.
ADVERTISEMENT
Hal inilah kemudian yang mendasari lahirnya North Atlantic Treaty Organization/NATO (Organisasi Perjanjian Atlantik Utara), United Nations Peacekeeping (Pemeliharan Perdamaian PBB), ASEAN Institute for Peace and Reconciliation/AIPR (Lembaga ASEAN untuk Perdamaian dan Rekonsiliasi), dan masih banyak organisasi internasional lainnya baik yang bersifat global maupun regional/Kawasan yang diartikan sebagai perwujudan Collective Security dalam konsep Collective Measures sebagaimana dimaksudkan dalam Article 1 paragraph 1 dari Charter of the United Nations.
Dalam pandangan penulis, Vanuatu, Front de Liberation Nationale Kanak et Socialiste/FLNKS, dan Kepulauan Solomon (full members di MSG) mungkin berpikir bahwa Melanesian Spearhead Group/MSG dapat diinterpretasikan sebagai bentuk Collective Security dalam membantu permasalahan di Papua Barat (Indonesia), oleh karenanya berkali-kali ketiga negara tersebut berlaku impresif dan terkesan memaksakan agar Papua Barat dapat merdeka dan lepas dari kedaulatan Indonesia, hal ini dibuktikan dengan upaya United Liberation Movement for West Papua pimpinan Benny Wenda untuk menjadi salah satu full members (saat ini masih berstatus observer member) dari MSG, selain itu upaya Vanuatu memberikan akses bagi Benny Wenda untuk berbicara di forum resmi PBB bahkan memberikan peluang bagi Benny Wenda untuk menyerahkan Petisi Referendum Kemerdekaan Papua Barat kepada Ketua Dewan Hak Asasi Manusia PBB.
ADVERTISEMENT
Namun menurut penulis Melanesian Spearhead Group bergerak tidak sesuai dengan koridor, hal ini dapat dilihat dari empat hal:
Pertama, Melanesian Spearhead Group dibentuk dengan ditandatanganinya Agreed Principles of Co-operation among Independent States of Melanesia di Port Vila, Vanuatu Tahun 1988. Frasa Independent States of Melanesia tentu tidak cocok dengan salah satu full members mereka saat ini yakni Front de Liberation Nationale Kanak et Socialiste/FLNKS yaitu koalisi partai politik di Kaledonia Baru selaku overseas territory negara Prancis, dengan demikian maka FLNKS secara hukum tidak memiliki status Independent States of Melanesia karena tidak memenuhi Konvensi Montevideo 1933 sebagai syarat sebuah Independent States.
Kedua, Melanesian Spearhead Group memiliki Political & Security Affairs sebagai salahsatu dari lima main work programmes, jika dilihat penjelasan dari Political & Security Affairs, yakni “Monitor political and security developments and advice on those issues to ensure a stable and peaceful Melanesia” (memantau perkembangan politik dan keamanan serta saran tentang masalah tersebut untuk memastikan Melanesia yang stabil dan damai).
ADVERTISEMENT
Namun tindakan impresif yang selama ini ditunjukkan oleh Vanuatu dan Kepulauan Solomon tidak mencerminkan hal tersebut, bahkan penulis berpendapat lebih mengarah kepada pelanggaran terhadap prinsip non-intervensi sebagaimana yang diatur dalam Charter of the United Nations.
Ketiga, perbedaan karakter antara Front de Liberation Nationale Kanak et Socialiste dengan United Liberation Movement for West Papua/ULMWP. ULMMWP adalah gabungan dari tiga organisasi Papua yang pro-kemerdekaan, yakni West Papua National Coalition for Liberation/WPNCL, Negara Federasi Republik Papua Barat/NFRPB, dan West Papua National Parliament/WPNP, sehingga memaksakan ULMWP menjadi salah satu full members dari Melanesian Spearhead Group adalah sesuatu yang mustahil dalam hukum internasional, kecuali tidak menggunakan Agreed Principles of Co-operation among Independent States of Melanesia.
ADVERTISEMENT
Keempat, saat ini status keanggotaan Indonesia di Melanesian Spearhead Group adalah Associate Member (setingkat lebih tinggi dari ULMMWP yang berstatus Observer Member) dan selangkah lagi menjadi Full Members. Tentu Indonesia secara hukum internasional lebih memungkinkan untuk menjadi Full Members karena Indonesia adalah Independent States sesuai dengan Konvensi Montevideo 1933 dan juga Indonesia adalah rumah bagi orang-orang Melanesia yang tinggal di lima provinsi (Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, dan Nusa Tenggara Timur).
Dilain pihak, terdapat riak-riak yang membenarkan tindakan Vanuatu dan mengatakan apa yang dilakukan oleh Vanuatu terhadap Papua Barat adalah sama dengan apa yang diperjuangkan oleh Indonesia terhadap Palestina.
Menurut penulis, peristiwa tersebut tidak dapat dianalogikan sebagai sebuah peristiwa yang sama. Hal ini dapat dilihat dari dua hal.
ADVERTISEMENT
Pertama, Palestina dan Israel saat ini masih menjadi sebuah entitas yang dipertanyakan oleh masyarakat internasional, utamanya mengenai kedaulatan masing-masing pihak, berbeda dengan Indonesia dan Papua Barat yang merupakan satu kesatuan integritas wilayah.
Masuknya Papua ke dalam NKRI dilalui dengan prosedur yang benar menurut hukum (sehingga masyarakat internasional, utamanya PBB mengakui hal tersebut). Oktober Tahun 1962 Pemerintah Belanda di Irian Barat menyerahkan wilayah tersebut kepada PBB melalui United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) hingga Tahun 1963, kemudian dilakukan referendum pada Tahun 1969.
Sehingga, secara hukum, Papua adalah bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Act of Free Will atau dalam istilah lain disebut dengan Act of Free Choice (Referendum Tahun 1969 yang pelaksanaannya dilakukan berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB XXIV 19 November 1969).
ADVERTISEMENT
Kedua, Indonesia jelas memperjuangkan Collective Security dalam konsep Collective Measures sebagaimana dimaksudkan dalam Article 1 paragraph 1 dari Charter of the United Nations melalui Organisasi Kerjasama Islam/OKI dan PBB, dan kedua organisasi tersebut tidak bermasalah dari segi kelembagaan maupun personalitas hukum, hal ini berbeda dengan Melanesian Spearhead Group yang masing menimbulkan tanda tanya!
Isu Referendum dan Tindakan Indonesia
Sebelumnya, saya telah menulis opini di Malut Post Edisi 5 September 2019, halaman 17 bahwa ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights. Adopted and opened for signature, ratification and accession by General Assembly resolution 2200A (XXI) of 16 December 1966), khususnya dalam Pasal 1 ayat (1) memang diatur bahwa “All peoples have the right of self-determination. By virtue of that right they freely determine their political status and freely pursue their economic, social and cultural development”.
ADVERTISEMENT
Namun untuk Pasal 1 ayat (1) tersebut, Indonesia melakukan deklarasi (tanggal 23 Februari 2006) pada saat ratifikasi (hal tersebut merupakan hal yang lumrah dalam Hukum Perjanjian Internasional) yang pengaturannya juga berkesesuaian dengan Konvensi Wina Wina Tahun 1969 (Vienna Convention on the Law of Treaties, at Vienna on 23 May 1969), Indonesia dalam deklarasinya menyatakan bahwa “the words ‘the right of self-determination’ appearing in this article do not apply to a section of people within a sovereign independent state and cannot be construed as authorizing or encouraging any action which would dismember or impair, totally or in part, the territorial integrity or political unity on sovereign and independent states”.
Dengan demikian, maka hak menentukan nasib sendiri oleh ‘masyarakat’ Papua tidak boleh bertentangan dengan kedaulatan teritorial, politik, dan keutuhan NKRI.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya Indonesia, 54 negara lainnya-pun melakukan hal yang serupa (deklarasi) terkait Pasal 1 ayat (1) ICCPR. Selain itu juga, Pasal 1 ayat (1) ICCPR tersebut tidak bisa dianggap berdiri sendiri, namun juga bergantung pada ayat (2) dan (3) sebagai satu-kesatuan pasal (yakni Pasal 1). Pada ayat (2) dan (3) diatur bahwa “All peoples may, for their own ends, freely dispose of their natural wealth and resources without prejudice to any obligations arising out of international economic co-operation, based upon the principle of mutual benefit, and international law. In no case may a people be deprived of its own means of subsistence. The States Parties to the present Covenant, including those having responsibility for the administration of Non-Self-Governing and Trust Territories, shall promote the realization of the right of self-determination, and shall respect that right, in conformity with the provisions of the Charter of the United Nations”.
ADVERTISEMENT
Dan hal tersebut, telah Indonesia penuhi melalui pemberlakuan Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua dan Propinsi Papua Barat berdasarkan UU RI No. 21 Tahun 2001 jo UU RI No. 35 Tahun 2008, hal tersebut memberikan ruang bagi pemerintah untuk mengarahkan kebijakan pengelolaan SDA sebagai pendorong pembangunan inklusif di Papua.
Oleh karenanya, penulis mendukung langkah pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri RI untuk memanggil Duta Besar Inggris dan mempertanyakan posisinya dalam peristiwa ini, karena jika Indonesia tidak mengambil langkah tegas, maka dikhawatirkan pandangan negara-negara lain akan berubah terhadap Indonesia, dan ini menguntungkan sejumlah negara yang akan semakin berani dalam men-support langkah Benny Wenda dan Vanuatu untuk memisahkan Papua Barat dengan Indonesia, langkah tegas dimaksud dapat berupa pengiriman diplomatic note baik terhadap Inggris sebagai negara yang diduga dijadikan tempat deklarasi oleh Benny Wenda, maupun kepada Vanuatu sebagai bentuk protes terhadap negara yang pernah bernama Hebrides Baru (Vanuatu) tersebut.
ADVERTISEMENT
Perlu dicatat bahwa pada Tahun 2014 Vanuatu-lah yang menjadi tuan rumah bagi terbentuknya United Liberation Movement for West Papua/ULMWP pimpinan Benny Wenda, sehingga sebenarnya Vanuatu merupakan actor utama state-sponsored separatism di wilayah Pasifik.
Pada akhirnya, sudah seyogyanyalah Indonesia me-review hubungan diplomatik dengan Vanuatu. Hal ini akan menjadi shock therapy bagi negara yang hanya berpenduduk 270 ribu jiwa tersebut, dan Indonesia akan kembali disegani sebagai negara yang tidak akan pernah berkompromi ketika kedaulatannya di usik oleh negara lain dan melawan segala bentuk praktik state-sponsored separatism sebagai perwujudan dari apa yang diamanatkan oleh Piagam PBB.