Jangan Bunuh Momentum Musik Dengan Cara Yang Keliru…

K4fka
Kesederhanaan Memberikan Lebih Banyak Kebaikan dan Keberanian
Konten dari Pengguna
17 Mei 2018 10:04 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari K4fka tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam beberapa kesempatan, terjadi dua fenomena yang menarik terkait dengan dunia musik di tanah air. Fenomena pertama adalah minimnya proses kreasi para musisi untuk menerbitkan album fisik dikarenakan pembajakan yang menggurita dan peralihan para pendengar musik kepada piranti digital. Sedangkan fenoma kedua adalah dalam scene music indie, meningkatnya permintaan rilisan fisik karya music indie baik dalam bentuk CD, kaset bahkan vinyl. Hal paradox yang tengah terjadi ini, sedikit banyak mempunyai akar masalah yang sama dan masih sangat bisa dicarikan solusinya satu persatu. Narasi kali ini tentunya diharapkan mampu membantu mencarikan solusi dengan tujuan terpenting yakni mendistrubusikan karya seni para artis di lingkungan masyarakat dengan lintas generasi.
Mari kita lihat apa yang terjadi dalam penjualan rilisan fisik sebuah band asal bandung, mengunjungi salah satu toko rilisan fisik di kawasan Jakarta Selatan dan menanyakan harga rilisan fisik band tersebut ( vinyl ) dan didapatkan jawaban info harga dari seller yakni sebesar 1 juta. Dengan iseng saya tanyakan kenapa mahal yah, dan dijawab karena rilisannya masih disegel. Tidak puas dengan harga vinyl band tersebut, saya kemudian menanyakan harga vinyl dengan band Indonesia lainnya dan dijawab harga vinyl tersebut seharga 800 rb. Meskipun saya yakin harga tersebut masih bisa ditawar, namun pastinya penurunan harga tidak lebih dari 10 persen. Kemudian dalam beberapa kesempatan lainnya, saya mengunjungi toko lainnya dan mmeperhatikan harga rilisan fisik dalam bentuk cd untuk band yang lainnya, harga yang dibanderol, sudah mencapai 5-6 kali lipat dari harga awal cd band tersebut dirilis. Sungguh peningkatan harga yang luarbiasa, atas nama kondisi dan kelangkaan barang ( karena tidak mudah didapatkan lagi ), maka harga sebuah rilisan fisik seni dapat dikenakan sesuai suasana mood penjual. Ini adalah parameter harga yang absurd dan merugikan.
ADVERTISEMENT
Keabsurdan ini kemudian dipeparah dengan perbedaan harga yang sangat besar dengan rilisan yang sama namun dijajakan via online store. Bayangkan, harga vinyl di toko off line seharga 1 jt, ditawarkan di toko on line seharga 450 rb dengan kondisi sama2 masih disegel. Saya kemudian tertarik mengecek lagi harga rilisan2 fisik band yang lainnya, dan benar seperti dugaan saya, disparitas harga bisa mencapai lebih dai 40% antara harga di off line dan on line. Dan saya mempunyai keyakinan, para seller tersebut sudah mengetahui perbedaan tersebut, namun sangat meyakini strategi pricing mereka sangat tepat.
Dengan melihat perbedaan harga yang tinggi, tidak adanya acuan standar diajukan dalam harga rilisan fisik dan semangat perkulakan kelas wahid oleh para seller, maka hal ini akan merusak perkembangan musik itu sendiri. Para young listener akan kesulitan mendapatkan referensi music yang baik. Meskipun saat ini, music mudah didapatkan dalam format digital, namun para listener music yang baik, pasti sadar dan memahami sekali bahwa rilisan fisik adalah sebuah keharusan yang harus dimiliki. Rilisan fisik bukan hanya berperan dalam bentuk merchandise, namun merupakan salah satu appresiasi tertnggi kita kepada kerja keras para artis akan karya seni.
ADVERTISEMENT
Kembali dengan pola bisnis perkulakan rilisan fisik para seller ini, saya tidak tertarik dengan alasan mereka bahwa harga yang ditawarkan sangat tinggi dikarenakan harga modal untuk mendapatkan rilisan fisik tersebut sudah tinggi. Menurut saya, alasan tersebut adalah alasan retorik dan tidak dapat dibenarkan, karena sangat merugikan para pembeli dan bisnis seller ini dalam jangka pendek. Analogi yang harusnya dijawab oleh mereka adalah bagaimana dapat mempertahankan dan meningkatkan trend pembelian rilisan fisik. Jika hanya mengedepankan keuntungan jangka pendek dan impulsif, maka bisnis mereka pastinya akan terganggu.
Disisi lain, mungkin juga sebuah kehormatan bagi artis jika harga rilisan fisik seninya melambung tinggi. Satu hal yang tidak disadari oleh para artis tersebut adalah karya seni mereka akan jauh lebih baik jika dapat diappresiasi lintas generasi. Rasa bangga mereka akan tingginya harga rilisan fisik mereka pastinya bukan jawaban yang tepat untuk memposisikan kelanggengan karya seni mereka. Karya seni yang langgeng dan lintas generasi, pastinya memberikan pemasukan revenue bagi artis antara lain melalui tawaran tampilan offline. Karya mereka harus mampu menjadi bagian referensi pengembangan musik setelahnya, dikaji dan dibunyikan kembali untuk dapat memberikan dampak enlightment. Jadi jelas, kebanggaan akan harga rilisan fisik oleh artis karena sudah masuk collector item, tidak mampu memberikan dampak yang baik bagi keberlangsungan karya music tersebut dalam appresiasi music listener lintas generasi.
Lantas apa yang harus dilakukan untuk hal ini. Jawaban sederhana adalah melakukan remastering dan merilis kembali rilisan fisik tersebut. Para artispun diharuskan menampilkan live performance satu album tersebut. Dari hasil remastinng dan rilisan ulang serta live performance, maka secara jujur artis dapat melihat durabilitas karya seni tersebut, kemampuan daya jangkau lintas generasi album tersebut.
ADVERTISEMENT
Cobalah luangkan waktu untuk dapat menjawab dengan jujur, mana yang lebih baik harga rilisan fisik yang selangit namun tidak ada tawaran live perform ; mana yang lebih baik, dapat menjual rilisan fisik dengan harga selangit namun 6 bulan kemudian toko bangkrut.
Musik adalah seni dan seni adalah rasa, jangan rusak seni dengan kepentingan semangat perkulakan. Apa yang terjadi saat ini dimana industri music rekaman hancur dan belum menemukan format perbaikan adalah dikarenakan keserakahan para tengkulak dan sikap tegas para music listener akan keserakahan tersebut.