Konten dari Pengguna

Meraba Desain Pemilu 2024 Pasca-Putusan MK 16/2021

Kaharuddin
Anggota KPU Kabupaten Nunukan
27 November 2021 9:29 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kaharuddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pemilu. Foto: SONNY TUMBELAKA/AFP
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pemilu. Foto: SONNY TUMBELAKA/AFP
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Mahkamah Konstitusi (MK) memang menolak permohonan yang meminta MK memisahkan pemilu DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, dari keserentakan pemilu DPR, DPD dan Presiden/Wakil Presiden, karena bukan kewenangannya. Tapi ada catatan penting dalam Putusan Nomor 16/PUU-XIX/2021 itu, MK meminta pembentuk undang-undang dan penyelenggara pemilu segera menindaklanjuti Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019.
ADVERTISEMENT
Dalam Putusan 55/2019, MK memberikan enam model pilihan keserentakan pemilu yang konstitusional, namun untuk memilihnya, adalah kewenangan pembentuk undang-undang (Pemerintah dan DPR). Enam model itu yaitu; Satu, pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan anggota DPRD. Dua, pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, Gubernur, dan Bupati/Wali kota. Tiga, pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, anggota DPRD, Gubernur, dan Bupati/Wali kota.
Empat, pemilu serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilu serentak lokal untuk memilih anggota DPRD Provinsi, anggota DPRD Kabupaten/Kota, pemilihan Gubernur, dan Bupati/Wali kota.
Lima, pemilu serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden; dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilu serentak provinsi untuk memilih anggota DPRD Provinsi dan memilih gubernur; dan kemudian beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilu serentak kabupaten/kota untuk memilih anggota DPRD Kabupaten/Kota dan memilih Bupati dan Wali kota. Enam, pilihan-pilihan lainnya sepanjang tetap menjaga sifat keserentakan pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, dan Presiden/Wakil Presiden.
ADVERTISEMENT
MK juga memberikan catatan lima poin yang harus diperhatikan oleh pembentuk undang-undang dalam memilih model keserentakan pemilu. Satu, pemilihan model yang berimplikasi terhadap perubahan undang-undang dilakukan dengan partisipasi semua kalangan yang memiliki perhatian atas penyelenggaraan pemilu;
Dua, kemungkinan perubahan undang-undang terhadap pilihan model-model tersebut dilakukan lebih awal sehingga tersedia waktu untuk dilakukan simulasi sebelum perubahan tersebut benar-benar efektif dilaksanakan; Tiga, pembentuk undang-undang memperhitungkan dengan cermat semua implikasi teknis atas pilihan model yang tersedia sehingga pelaksanaannya tetap berada dalam batas penalaran yang wajar terutama untuk mewujudkan pemilu yang berkualitas;
Empat, pilihan model selalu memperhitungkan kemudahan dan kesederhanaan bagi pemilih dalam melaksanakan hak untuk memilih sebagai wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat; dan Lima, tidak acap-kali mengubah model pemilihan langsung yang diselenggarakan secara serentak sehingga terbangun kepastian dan kemapanan pelaksanaan pemilu;
ADVERTISEMENT
Menarik ditunggu tindak lanjut putusan MK 55/2019 itu, karena dapat berdampak dalam desain penyelenggaraan pemilu 2024, yang akan menjadi pembeda dari pemilu lima kotak 2019. Masih cukup waktu untuk mengevaluasi kerumitan pemilu 2019, sebelum memilih model keserentakan pemilu yang akan digunakan, sehingga permasalahan-permasalahan teknis, seperti beban kerja penyelenggara ad hoc dapat diminimalisasi dan diantisipasi.

Jeda Pemilu DPRD

Dalam putusan MK 16/2021 yang dibacakan tanggal 24 November 2021, MK memberikan contoh untuk mengatasi permasalahan teknis yang berkaitan dengan petugas penyelenggara ad hoc. Misalnya, pembentuk undang-undang dan penyelenggara pemilu dapat saja menyepakati adanya jeda waktu antara pemilu DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten dengan pemilu DPR, DPD dan Presiden/Wakil Presiden.
Pemberian jeda waktu ini, sama dengan keinginan para pemohon yang meminta pemisahan pemilu lokal (DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota) dengan pemilu nasional (DPR, DPD dan Presiden/Wakil Presiden). Namun untuk desain waktu pemisahan yang ditawarkan, misalnya pemilu nasional digelar 2024, kemudian pemilu lokal digelar 2026, akan memerlukan perubahan besar kerangka hukum undang-undang existing, UU 7/2017 tentang Pemilu dan UU 10/2016 tentang Pilkada.
ADVERTISEMENT
Jeda waktu dengan revisi undang-undang yang minimalis bisa dengan desain, pemilu DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota ditarik lebih awal, misalnya digelar Februari 2024. Kemudian pemilu DPR, DPD dan Presiden/Wakil Presiden digelar antara Maret-April-Mei 2024, kemudian Pilkada digelar sesuai UU pilkada, November 2024. Desain waktu ini lebih ‘aman’ dan kompatibel dengan tahapan pencalonan Pilkada yang membutuhkan hasil final pemilu DPRD.

Desain Manajemen Teknis

Cara lain yang dicontohkan MK adalah dengan mendesain manajemen teknis yang dapat mengurangi beban petugas penyelenggara ad hoc. Karena menurut MK, beban kerja penyelenggara ad hoc terkait manajemen teknis yang merupakan implementasi norma, sehingga bisa diantisipasi dengan manajemen atau tata kelola teknis pula.
KPU RI, sejatinya telah menindaklanjuti putusan MK 55/2019. Dengan evaluasi manajemen teknis, lalu mendesain perubahannya. Seperti menyederhanakan surat suara yang sudah beberapa kali disimulasikan. Dengan penyederhanaan, menggabungkan surat suara menjadi satu atau dua atau tiga untuk memilih lima posisi jabatan sekaligus, akan signifikan mengurangi beban kerja penyelenggara ad hoc
ilustrasi. Gedung Mahkamah Konstitusi (kumparan.com).
Namun penggabungan surat suara ini, berimplikasi teknis terhadap manajemen pelayanan pemilih pindah yang rumit, jika ketentuan hak suara pemilih pindah dalam UU 7/2017 tidak diubah. Hal ini terkait hak pilih yang bisa saja berbeda, tidak lagi utuh mendapatkan hak pilih 5 posisi sekaligus, jika pemilih pindah melintasi daerah pemilihan (dapil) DPR, DPD, DPRD Provinsi dan Kabupaten/kota dari tempatnya terdaftar sebagai pemilih tetap (DPT).
ADVERTISEMENT
Membedakan hak suara setiap pemilihan dalam surat suara yang digabung, menciptakan kerumitan baru, meskipun masih dimungkinkan dapat dilaksanakan. Menyamakan hak pilih semua jenis pemilih termasuk pemilih pindah, bisa menjadi solusi, karena hal itu juga pernah diterapkan dalam pemilu 2014. Persoalan potensi migrasi pemilih pindah secara masif ke daerah pemilihan tertentu, bisa dilakukan upaya pencegahan dengan penguatan syarat pindah memilih, tidak boleh dengan alasan diluar ketentuan.
Selain penyederhanaan surat suara, manajemen teknis yang dapat mengurai kerumitan pemilu adalah dengan penggunaan teknologi. KPU saat ini tengah mengembangkan aplikasi Sirekap, yang direncanakan menggantikan administrasi salinan manual di TPS dan mempercepat proses rekapitulasi. Namun tentu, penggunaan aplikasi ini dengan mendigitalisasi dokumen harus didukung dengan perangkat regulasi yang kuat dalam UU.
ADVERTISEMENT
Masih banyak desain manajemen teknis yang dapat mengurai beban kerja penyelenggara ad hoc. Seperti penghitungan suara di TPS yang dilakukan secara paralel atau panel, sehingga akan memangkas waktu penghitungan suara, dan manajemen teknis lainnya yang masih bisa diformulasikan. Mari kita tunggu tindak lanjutnya.