Konten dari Pengguna

Penataan Dapil Pasca-Putusan MK 80/2022

Kaharuddin
Anggota KPU Kabupaten Nunukan
27 Desember 2022 14:20 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kaharuddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
illustrasi sidang Mahkamah Konstitusi (kumparan.com)
zoom-in-whitePerbesar
illustrasi sidang Mahkamah Konstitusi (kumparan.com)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kewenangan penataan Daerah Pemilihan (Dapil) Pemilu Anggota DPR RI dan DPRD Provinsi akhirnya dikembalikan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU). Penetapan Dapil DPR menjadi kewenangan KPU, setelah tiga periode pelaksanaan pemilu sebelumnya, 2009, 2014 dan 2019, ditetapkan oleh DPR sendiri dalam lampiran UU Pemilu.
ADVERTISEMENT
Dalam amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 80/PUU-XX/2022, ketentuan norma Pasal 187 ayat 5 dan Pasal 189 ayat 5 UU 7/2017 dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “Daerah pemilihan dan jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPR/DPRD Provinsi diatur dalam Peraturan KPU”. MK juga menyatakan Lampiran III (Dapil DPR) dan Lampiran IV (Dapil DPRD Provinsi) UU 7/2017 inkonstitusional.
Pertimbangan hukum MK diantaranya, bahwa penetapan dapil adalah bagian dari tahapan pemilu yang semestinya menjadi tugas KPU sebagai penyelenggara pemilu, perkembangan jumlah penduduk dan wilayah administrasi daerah yang dinamis, memastikan penyusunan dapil tidak ada konflik kepentingan, memastikan kesetaraan nilai suara setiap dapil yang proporsional dan beberapa pertimbangan lainnya.
ADVERTISEMENT
MK juga meminta agar penyusunan dapil yang dilakukan KPU dilaksanakan untuk pemilu 2024 dan seterusnya, sehingga KPU harus memanfaatkan sisa waktu hingga 9 Februari 2023 untuk menyusun ulang dapil DPR dan DPRD Provinsi, agar tahapan lanjutannya seperti pencalonan anggota DPR dan DPRD tidak terganggu.
Dari catatan Perludem dalam argumentasi materi gugatannya, dapil DPR yang digunakan pada Pemilu 2019, menyisakan persoalan diantaranya perbedaan nilai suara/penduduk kursi yang jomplang dibeberapa daerah sehingga mengakibatkan dapil over represented dan under represented, persoalan dapil superman atau dapil loncat dan dugaan gerrymandering dalam penyusunannya.
Putusan MK 80/2022, meminta agar penataan dapil mempedomani 7 prinsip diantaranya kesetaraan nilai suara (penduduk), ketaatan pada sistem pemilu proporsional, proporsional, integralitas wilayah, berada pada cakupan wilayah yang sama dan prinsip kesinambungan.
ADVERTISEMENT
Kesetaraan Nilai Suara/Penduduk
Dengan memperhatikan prinsip kesetaraan nilai suara, maka persoalan over dan under represented akan dapat diminimalisir, karena pengalokasian kursi setiap dapil akan berbanding lurus dengan jumlah penduduk. Kecuali, 'bonus' kursi untuk provinsi yang jumlah penduduknya tidak mencapai syarat keterpenuhan minimal 3 kursi, seperti Kaltara tetap mendapatkan 3 kursi sehingga harga kursinya akan jauh lebih murah dibandingkan dapil lainnya yang jumlah kursinya berimbang dengan jumlah penduduk.
Murahnya harga kursi di Kaltara, tidak dapat dihindari karena ketentuan Pasal 187 ayat 2 UU 7/2017 menyebutkan bahwa jumlah kursi setiap dapil anggota DPR paling sedikit 3 kursi dan paling banyak 10 kursi. Meskipun jumlah penduduk di Kaltara belum memenuhi syarat kesetaraan nilai suara/penduduk untuk membentuk minimal 3 kursi, tapi tetap dibentuk dapil sendiri karena dapil anggota DPR adalah provinsi, atau kabupaten/kota atau gabungan kabupaten/kota. Tidak boleh menggabungkan provinsi dengan provinsi lainnya.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan penataan dapil DPRD provinsi yang membolehkan menggabung wilayah administrasi dibawahnya, kabupaten/kota jika tidak mencukupi syarat minimal penduduk untuk alokasi 3 kursi. Sama halnya dapil DPRD kabupaten/kota yang membolehkan menggabung kecamatan dalam satu dapil jika jumlah penduduk di kecamatan tersebut tidak mencukupi syarat keberimbangan 3 kursi.
Artinya, penyusunan dapil DPR tidak akan memenuhi 100 persen prinsip kesetaraan nilai suara karena ketentuan itu, kecuali jika ketentuan pasal 187 ayat 1 diubah, bahwa penyusunan dapil anggota DPR dapat menggabungkan provinsi yang jumlah penduduknya minim. Apalagi sebenarnya, dapil DPR bukan representasi provinsi, tapi representasi rakyat yang diwakili.
Sementara untuk penyusunan dapil DPRD provinsi dan kabupaten/kota seyogyanya dapat disusun memenuhi prinsip keberimbangan jumlah penduduk dengan alokasi kursi, hanya tinggal standar deviasi yang perlu ditetapkan. Standar deviasi yang tinggi diperlukan, seperti 15 persen, mengingat kondisi geografis Indonesia yang beragam dan kepulauan.
ADVERTISEMENT
Penataan ulang dapil DPR dan DPRD Provinsi oleh KPU sebaiknya meminimalisir terjadi perubahan komposisi wilayah, tapi perubahan dapat dilakukan hanya untuk penambahan atau pengurangan alokasi kursi setiap dapil agar kesetaraan nilai suara mendekati keberimbangan. Perubahan komposisi wilayah dapil, dilakukan jika terpaksa karena memang tidak memungkinkan, misalnya jumlah alokasi kursinya telah melebihi batas maksimal, atau jika dapil tidak memenuhi prinsip integralitas wilayah atau dapil superman.
Representasi Penduduk Vs Keadilan Wilayah
Ramlan Surbakti, dalam keterangannya sebagai ahli saat persidangan gugatan perkara 80/2022 tersebut, jumlah 580 kursi anggota DPR diusulkan dibagi proporsional 290 berbanding 290 kursi antara pulau Jawa dengan luar pulau Jawa. Alokasi kursi dapil, menurutnya, tidak hanya mempertimbangkan kesetaraan nilai suara, tapi keadilan wilayah perlu menjadi pertimbangan.
ADVERTISEMENT
Dalam system ketatanegaraan, lembaga legislatif di Indonesia yang menganut sistem bikameral, sebenarnya telah mengatur lembaga perwakilan dua kamar. Perwakilan rakyat yang menjadi representasi penduduk adalah lembaga DPR, sedangkan perwakilan rakyat yang menjadi representasi wilayah adalah lembaga DPD.
Sebagai representasi perwakilan penduduk, alokasi kursi dalam satu dapil DPR semestinya berbanding lurus jumlah penduduk. Berbeda dengan lembaga perwakilan DPD yang merupakan representasi wilayah, dimana setiap provinsi mendapatkan alokasi yang sama, 4 kursi, tanpa mempertimbangkan jumlah penduduk dan luas wilayah.
Dengan system dua kamar ini, maka keberimbangan jumlah perwakilan di Senayan antara wakil dari pulau Jawa dengan luar pulau Jawa sebenarnya telah terwujud. Jumlah anggota DPR dari pulau Jawa memang lebih banyak dari luar pulau Jawa, namun untuk jumlah anggota DPD dari luar pulau Jawa jauh lebih banyak. Bahkan jika dihitung total DPR dan DPD, jumlah perwakilan dari luar pulau Jawa jauh lebih banyak dari perwakilan pulau Jawa.
ADVERTISEMENT
Simulasi sebaran kursi perwakilan dengan menggunakan data penduduk 270-an juta untuk pemilu 2024, dari 580 anggota DPR, 324 kursi diantaranya berasal dari dapil 6 provinsi di Pulau Jawa, sisanya 256 kursi berasal dari luar pulau Jawa. Sedangkan untuk jumlah kursi anggota DPD, total ada 152 anggota DPD dari 38 provinsi. Hanya 24 anggota DPD yang berasal dari pulau Jawa, sedangkan sisanya 128 anggota DPD berasal dari 32 provinsi luar pulau Jawa.
Jika dijumlahkan keterwakilan rakyat tersebut, ada 732 anggota DPR dan DPD, 348 diantaranya atau sekitar 47,5 persen berasal dari pulau Jawa. Sedangkan sisanya, 384 anggota atau sekitar 52,5 persen anggota DPR dan DPD dari luar Pulau Jawa. Dari angka simulasi tersebut, sebenarnya alokasi kursi keterwakilan dari luar pulau Jawa sudah lebih banyak daripada keterwakilan pulau Jawa.
ADVERTISEMENT
Membagi kursi DPR secara proporsional antara Pulau Jawa dengan luar Pulau Jawa, sebenarnya kurang tepat karena mendudukkan konteks berbeda dalam satu pembahasan, meskipun jika memang sudah ada konsensus pembagian keberimbangan kursi DPR antara pulau Jawa dan luar Jawa.
Argumentasi kewenangan DPD yang terbatas sehingga alokasi kursi DPR tetap harus proporsional antara Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa adalah persoalan berbeda, kurang tepat rasanya jika mengatasi masalah kewenangan DPD dengan cara menciderai representasi jumlah penduduk dalam prinsip penataan dapil.
Masalah kewenangan DPD adalah persoalan ketatanegaraan, harusnya diperbaiki dengan cara lain, amandemen UUD 1945. Bukan dengan mengambil hak jumlah perwakilan warga di DPR dari suatu daerah dengan pertimbangan konsensus. Karena, dapil DPR bukan hanya arena kontestasi, tapi representasi konstituen di lembaga perwakilannya.
ADVERTISEMENT
Secara politik, memang sulit berharap DPR yang saat ini mempunyai kewenangan membentuk UU bersama presiden, mau membagi kekuatan (sharing power) legislasinya kepada DPD. Tapi itu perlu terus didorong agar kewenangan DPD bisa setara dengan DPR seperti halnya antara senat dan house of representative di Kongres AS. Semoga bisa terwujud.
Kaharuddin, anggota KPU Nunukan