Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.90.0
Konten dari Pengguna
Cinta: Benarkah Berperan dalam Kelangsungan Hidup?
3 Desember 2024 14:41 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Kaila Yuthika Anka tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Cinta adalah salah satu emosi paling universal yang dialami oleh manusia. Cinta melintasi budaya, zaman, bahasa. Dalam bentuk sederhana, cinta tampak seperti respons emosional. Cinta memiliki peran mendalam dalam keberlangsungan hidup individu maupun spesies. Melalui cinta, manusia menciptakan hubungan erat, mendukung keberlanjutan keluarga, membangun jaringan sosial yang membantu berbagai aspek kehidupan.
ADVERTISEMENT
Apa yang terjadi di balik pengalaman cinta? Dalam studi ilmiah, cinta bukan sekadar perasaan atau romansa. Cinta memiliki fondasi biologis kuat. Cinta melibatkan kerja otak, tubuh, melalui neurotransmiter dopamin, oksitosin, vasopresin. Dengan memahami dasar biologis cinta, kita melihat bagaimana cinta membentuk emosi, persepsi, memengaruhi keputusan, perilaku.
Emosi dan Persepsi: Dasar Pengalaman Cinta
Sebelum memahami cinta memengaruhi otak, penting mengetahui dua komponen utama pengalaman cinta: emosi, persepsi. Emosi adalah respons psikologis, biologis terhadap rangsangan tertentu. Rasa bahagia muncul saat bersama orang tercinta adalah hasil aktivitas hormon, neurotransmiter di otak yang menciptakan respons positif. Persepsi adalah cara otak memproses informasi dari lingkungan. Dalam cinta, persepsi memegang peran besar. Penilaian terhadap pasangan atau orang tercinta bergantung pada otak memproses, menafsirkan interaksi.
ADVERTISEMENT
Emosi kebahagiaan, keterikatan menciptakan persepsi pasangan sebagai orang yang aman, dapat dipercaya. Emosi kecemburuan atau ketidakamanan mengubah persepsi menjadi negatif. Pengalaman cinta bukan sekadar perasaan. Otak membentuk, memanipulasi persepsi berdasarkan emosi.
Cinta dan Kinerja Otak
Cinta adalah hasil kerja otak kompleks. Penelitian menunjukkan saat seseorang jatuh cinta, berbagai area otak aktif. Bagian otak terkait sistem penghargaan, ventral tegmental area (VTA), nucleus accumbens bertanggung jawab memproduksi dopamin. Dopamin menciptakan rasa senang, motivasi, bahkan kecanduan. Selain dopamin, cinta melibatkan hormon oksitosin, vasopresin. Oksitosin disebut "hormon cinta." Oksitosin dilepaskan saat kontak fisik: pelukan, ciuman, hubungan seksual. Oksitosin memperkuat keterikatan emosional, rasa kepercayaan. Vasopresin berperan mengatur perilaku protektif terhadap pasangan, keluarga.
Aktivitas hormon membentuk emosi, perilaku cinta. Dopamin menciptakan rasa puas, mendorong untuk tetap bersama pasangan. Oksitosin memastikan hubungan penuh rasa aman, saling percaya. Penurunan serotonin saat jatuh cinta menciptakan rasa obsesif terhadap pasangan. Hal ini menunjukkan cinta sebagai pengalaman neurologis yang memengaruhi perilaku manusia.
ADVERTISEMENT
Cinta dan Persepsi Kebutuhan Manusia
Dalam hierarki kebutuhan Maslow, cinta menempati tingkat kebutuhan sosial, kebutuhan akan cinta, rasa memiliki. Cinta menyediakan hubungan emosional kuat. Cinta menjadi dasar untuk memenuhi kebutuhan lebih tinggi: harga diri, aktualisasi diri. Ketika seseorang merasa dicintai, persepsi terhadap dunia berubah. Orang cenderung lebih optimis, penuh semangat, mampu melihat sisi positif kehidupan.
Kekurangan cinta menyebabkan isolasi emosional, rasa rendah diri, depresi. Seseorang yang merasa tidak dicintai memandang dunia dengan skeptis, kecurigaan. Kekurangan cinta memengaruhi interaksi sosial. Cinta adalah jembatan antara kebutuhan dasar keamanan dan tujuan hidup lebih tinggi. Cinta membentuk persepsi positif tentang diri, orang lain.
Cinta sebagai Strategi Bertahan Hidup
Cinta sebagai strategi bertahan hidup dipahami melalui sudut pandang evolusi. Cinta memotivasi manusia menciptakan hubungan jangka panjang untuk keberlanjutan spesies. Cinta romantis mendorong pasangan berkomitmen menciptakan lingkungan stabil membesarkan anak. Cinta keluarga memperkuat ikatan orang tua, anak. Ikatan ini meningkatkan peluang kelangsungan hidup anak.
ADVERTISEMENT
Cinta mendorong perilaku altruistik. Perilaku ini membantu komunitas lebih luas. Rasa cinta terhadap kemanusiaan memotivasi seseorang berkontribusi pada masyarakat. Keseimbangan cinta harus dijaga. Ketergantungan cinta menciptakan masalah: cemburu, posesif, kehilangan identitas diri. Kurangnya cinta menyebabkan isolasi sosial, risiko pada kesehatan mental, fisik.
Cinta adalah elemen penting dalam kehidupan manusia. Cinta menciptakan kebahagiaan. Cinta membentuk perilaku, emosi, persepsi terhadap dunia. Dengan melibatkan hormon dopamin, oksitosin, cinta memperkuat hubungan emosional, mendorong perilaku positif, mendukung kesejahteraan manusia.
Memahami dasar biologis, psikologis cinta membantu mengelola cinta secara bijak. Keseimbangan cinta mencegah ketergantungan berlebihan, kekurangan cinta. Dengan begitu, cinta benar-benar menjadi kekuatan mendukung bertahan hidup secara emosional, sosial, biologis.
Referensi:
De Boer, A., Van Buel, E., & Ter Horst, G. (2011). Love is more than just a kiss: a neurobiological perspective on love and affection. Neuroscience, 201, 114–124. https://doi.org/10.1016/j.neuroscience.2011.11.017
ADVERTISEMENT
Esch, T., & Stefano, G. B. (2005). The Neurobiology of Love. In Neuroendocrinology Letters, Neuro Endocrinology Letters (Vol. 3, pp. 175–192) [Journal-article]. https://www.researchgate.net/publication/7752806
Nemati, B., 1 & Brenner, Vincent C., Carmack, Claude W., and Weinstein, Mark G. (2013). Applied mathematics in Engineering, Management and Technology 1 (1) 2013. In Applied Mathematics in Engineering, Management and Technology (Vols. 1–1, pp. 1–16).
Reis, H. T., Aron, A., Department of Clinical and Social Sciences in Psychology, University of Rochester, & State University of New York at Stony Brook. (2008). Love: What Is It, Why Does It Matter, and How Does It Operate? In Perspectives on Psychological Science (No. 1; Vol. 3, p. 80).
ADVERTISEMENT
Reis, H. T., & Aron, A. (2008). Love: What is it, why does it matter, and how does it operate?. Perspectives on Psychological Science, 3(1), 80-86.
Seshadri, K. G. (2016). The neuroendocrinology of love. In Indian Journal of Endocrinology and Metabolism (Vol. 20, Issue 4, pp. 558–563). Wolters Kluwer - Medknow.
Valenzuela, P. (2019). Considerations about a psychophysiological perspective of love. In Forum. Supplement to Acta Philosophica (Vol. 5, No. 1).