Konten dari Pengguna
Fenomena Soft Living: Generasi Z Pilih Hidup Pelan daripada Hustle Culture?
6 Juli 2025 16:23 WIB
·
waktu baca 3 menitKiriman Pengguna
Fenomena Soft Living: Generasi Z Pilih Hidup Pelan daripada Hustle Culture?
Fenomena soft living semakin populer di kalangan generasi Z yang menolak hustle culture. Artikel ini membahas mengapa anak muda memilih hidup lebih seimbang, dan menekankan kesehatan mental.Kaila Hasnaturuslaniyyah

Tulisan dari Kaila Hasnaturuslaniyyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Beberapa tahun terakhir, kita melihat generasi Z mereka yang lahir antara 1997 hingga 2012 semakin menolak budaya hustle culture yang menuntut produktivitas tanpa batas. Sebagai gantinya, muncul tren soft living, sebuah pola hidup yang lebih menekankan keseimbangan dan kesehatan mental dibanding sekadar mengejar prestasi materi. Fenomena ini menuai perdebatan:
ADVERTISEMENT
"Apakah generasi Z menjadi “malas”, atau justru lebih sadar tentang arti hidup yang sehat dan berkelanjutan?"
Apa Itu Soft Living?
Soft living bukan sekadar hidup santai tanpa arah. Konsep ini mengajak orang untuk menata ritme hidup secara lebih manusiawi, memberi ruang untuk istirahat, refleksi diri, dan memprioritaskan kesehatan mental. Generasi Z yang mengadopsi soft living umumnya berani menolak lembur berlebihan, lebih fokus pada self-care, dan menyeimbangkan kehidupan sosial dengan karier (Harvard Business Review, 2023).
Sebaliknya, hustle culture menempatkan kerja keras sebagai tolok ukur nilai diri, bahkan sering menormalisasi kelelahan kronis. Generasi sebelumnya banyak yang memandang kesibukan sebagai lambang kesuksesan, namun generasi Z mulai mempertanyakan apakah itu layak dipertahankan, apalagi setelah banyak kasus burnout muncul di media sosial (Kompas.com, 2024).
ADVERTISEMENT
Mengapa Soft Living Populer di Kalangan Generasi Z?
Ada beberapa alasan kuat mengapa tren soft living diterima luas oleh generasi Z. Pertama, pandemi COVID-19 menciptakan trauma kolektif yang memaksa orang memikirkan ulang prioritas hidup (WHO, 2022). Selama masa isolasi, banyak orang menyadari pentingnya waktu bersama keluarga, kesehatan mental, serta istirahat yang cukup.
Kedua, generasi Z tumbuh dengan kesadaran tinggi tentang hak kesehatan mental, berkat edukasi dan keterbukaan diskusi di media digital. Mereka tidak segan menuntut work-life balance yang adil dan fleksibilitas kerja, termasuk opsi remote working (Kompas.com, 2024).
Faktor ketiga adalah kemudahan teknologi. Berkat perkembangan internet dan platform kerja jarak jauh, generasi Z merasa mereka memiliki kebebasan lebih besar untuk merancang gaya hidup sesuai keinginan, tidak lagi terikat budaya kantor yang kaku.
ADVERTISEMENT
Kritik dan Tantangan Soft Living
Meski terdengar ideal, soft living juga menuai kritik. Sebagian orang berpendapat gaya hidup ini hanyalah dalih untuk bermalas-malasan. Ada pula tantangan ekonomi: tidak semua orang memiliki privilese finansial untuk memilih bekerja santai. Tekanan biaya hidup, tanggung jawab keluarga, dan struktur perusahaan yang masih konvensional menjadi hambatan nyata bagi mereka yang ingin menerapkan soft living (Harvard Business Review, 2023).
Selain itu, ada pertanyaan apakah soft living berpotensi menurunkan produktivitas nasional. Jika diterapkan tanpa kendali, bisa jadi target-target bisnis melambat. Namun di sisi lain, pola kerja yang lebih manusiawi juga terbukti mampu mengurangi stres dan meningkatkan loyalitas karyawan dalam jangka panjang (Harvard Business Review, 2023).
Peran Media Sosial
Tren soft living menyebar sangat cepat melalui media sosial. Influencer di TikTok atau Instagram kerap membagikan gaya hidup slow living, rutinitas pagi yang santai, journaling, atau praktik mindfulness yang inspiratif. Konten semacam ini berhasil menarik perhatian generasi Z, yang sedang mencari cara hidup lebih sehat di tengah tekanan dunia digital (Kompas.com, 2024).
ADVERTISEMENT
Fenomena soft living mencerminkan keberanian generasi Z mendefinisikan ulang arti sukses. Mereka tidak hanya mengukur hidup dari prestasi kerja, tetapi juga dari kualitas kesehatan mental dan hubungan sosial. Walau belum cocok untuk semua orang, tren ini membuka wacana baru tentang bagaimana dunia kerja seharusnya berjalan di masa depan — lebih manusiawi, berkelanjutan, dan peduli kesejahteraan.
Referensi :
WHO (2022). Mental Health of Young People.
Harvard Business Review (2023). Rethinking Productivity and the Future of Work.
Kompas.com (2024). Budaya Kerja Generasi Z.