Konten dari Pengguna

Urgensi Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Khusus tentang Aset Digital

Kaila Juliana Rifalda
Mahasiswa Universitas Jenderal Achmad Yani Yogyakarta, Founder Legal Repost, Koordinator Divisi Public Relation Voicedlawid, Sekretaris Umum DPM UNJAYA.
11 Mei 2025 16:00 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kaila Juliana Rifalda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

(sumber: istimewa)
zoom-in-whitePerbesar
(sumber: istimewa)
ADVERTISEMENT
Perkembangan teknologi digital telah menciptakan ruang baru dalam kehidupan masyarakat modern, termasuk dalam aspek ekonomi, sosial, dan hukum. Munculnya berbagai bentuk kekayaan digital seperti mata uang kripto, aset NFT, dompet digital, akun investasi, hingga file digital bernilai ekonomi telah melahirkan entitas baru yang dikenal sebagai aset digital. Namun, hingga saat ini, Indonesia belum memiliki peraturan perundang-undangan khusus yang secara eksplisit mengatur tentang keberadaan, kepemilikan, serta mekanisme hukum yang mengikat terkait pengelolaan dan pengalihan aset digital tersebut. Kekosongan hukum ini berpotensi menciptakan ketidakpastian dan kerugian bagi masyarakat, khususnya ketika menyangkut hak waris dan perlindungan hukum terhadap aset digital yang dimiliki oleh individu.
ADVERTISEMENT

Aset Digital sebagai Kekayaan Nyata

Aset digital bukan lagi sekadar data atau file tanpa nilai, ia telah menjelma menjadi kekayaan yang dapat dimiliki, dipindahtangankan, bahkan diwariskan. Mata uang kripto seperti Bitcoin dan Ethereum telah menjadi instrumen investasi utama bagi banyak kalangan. NFT menjelma sebagai karya seni digital dengan nilai jual tinggi, sementara dompet digital dan akun investasi menjadi penyimpan dana riil yang digunakan dalam transaksi sehari-hari. Sayangnya, meskipun memiliki karakteristik kekayaan, aset digital belum secara resmi diakui sebagai objek waris dalam sistem hukum Indonesia. Ketidakteraturan ini membuka celah kerugian, terutama bagi ahli waris yang kehilangan akses terhadap kekayaan digital karena tidak adanya payung hukum yang menjamin hak mereka.

Ketimpangan Hukum di Era Digital

Ketimpangan antara perkembangan teknologi dan regulasi menjadi perhatian serius. Banyak negara telah mulai menyusun regulasi khusus terkait aset digital, sementara Indonesia masih mengandalkan pengaturan yang bersifat umum dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang belum memadai untuk mengakomodasi kebutuhan hukum di era digital. Pasal 1 angka 4 UU ITE misalnya, hanya memuat definisi dokumen elektronik secara luas, tanpa memperhatikan aspek nilai ekonomi atau status hukum dari informasi elektronik tersebut. Hal ini berakibat pada ketidakpastian hukum, terutama dalam hal kepemilikan dan pewarisan aset digital, serta tidak memberikan perlindungan hukum yang jelas terhadap hak-hak masyarakat atas aset digital mereka.
ADVERTISEMENT

Kerugian Nyata Masyarakat

Tidak adanya regulasi yang mengatur secara spesifik tentang aset digital telah menyebabkan berbagai kerugian nyata di masyarakat. Banyak kasus ketika seseorang meninggal dunia dan ahli waris tidak dapat mengakses aset digital milik almarhum karena tidak ada dasar hukum untuk menuntut hak tersebut kepada penyedia platform digital. Perusahaan teknologi seperti Google, Meta (Facebook), dan lainnya memiliki kebijakan internal yang berbeda-beda terkait penanganan akun pengguna yang telah meninggal, dan kebijakan tersebut tidak selalu berpihak pada keluarga atau ahli waris. Dalam konteks ini, masyarakat menjadi pihak yang paling dirugikan karena hak-haknya tidak dilindungi secara memadai oleh hukum nasional.

Kebutuhan Mendesak Pembentukan Undang-Undang Khusus

Melihat kompleksitas dan urgensi persoalan ini, maka pembentukan peraturan perundang-undangan khusus tentang aset digital menjadi hal yang tidak bisa ditunda lagi. Undang-undang tersebut harus mencakup pengakuan hukum terhadap aset digital sebagai objek kekayaan, pengaturan kepemilikan dan mekanisme pengalihan atau pewarisan, serta kewajiban bagi platform digital untuk menyusun kebijakan yang adil dan transparan dalam pengelolaan aset digital pengguna. Dengan adanya regulasi yang jelas, negara hadir untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat, serta mendorong ekosistem digital yang aman, adil, dan berkelanjutan.
ADVERTISEMENT

Tiga Mahasiswa dan Perjuangannya di Mahkamah Konstitusi

Sejauh ini, upaya konkret dalam mendorong reformasi hukum digital telah dilakukan oleh tiga mahasiswa Hukum Universitas Jenderal Achmad Yani Yogyakarta yang mengajukan permohonan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Perkara yang teregistrasi dengan Nomor 51/PUU-XXIII/2025 ini diajukan oleh Zidane Azharian Kemalpasha sebagai Pemohon I, saya sendiri, Kaila Juliana Rifalda sebagai Pemohon II, dan Ilhan Julian Rifaldo sebagai Pemohon III. Dalam permohonan ini, kami mendalilkan bahwa pemberlakuan pasal a quo menimbulkan potensi kerugian konstitusional berupa ketidakpastian hukum karena belum adanya regulasi khusus mengenai aset digital. Kekosongan hukum tersebut berakibat pada tidak adanya kepastian hukum atas hak ahli waris untuk mengakses dan mengelola aset digital yang ditinggalkan oleh pemiliknya. Selain itu, aturan yang belum sepenuhnya mengakomodasi perkembangan teknologi juga berdampak pada kegiatan edukasi hukum untuk menyampaikan pemahaman yang tepat kepada masyarakat terkait perlindungan hak-hak warga negara di ruang digital. Langkah hukum ini menjadi representasi dari keresahan generasi muda hukum terhadap stagnasi legislasi yang tidak adaptif terhadap zaman. Kami berharap Mahkamah Konstitusi dapat memaknai ulang pasal tersebut agar lebih progresif, sekaligus mendorong pemerintah dan DPR untuk segera merumuskan regulasi yang lebih responsif dan visioner dalam mengatur aset digital secara utuh.
ADVERTISEMENT