Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Pertamina Tidak Lagi Menjadi Prioritas Pengelola Blok Migas Habis Kontrak
13 Mei 2018 20:06 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:09 WIB
Tulisan dari Kajian Energi HMTM "PATRA" ITB tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Efektif sejak 24 April 2018, Pemerintah mencabut Peraturan Menteri ESDM Nomor 15 tahun 2015 yang juga telah diubah melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 30 tahun 2016 dengan menerbitkan aturan baru yang tertuang di Peraturan Menteri ESDM Nomor 23 tahun 2018.
ADVERTISEMENT
Dalam aturan ini, PT Pertamina tidak lagi menjadi prioritas untuk mengambil alih blok-blok yang kontraknya akan habis. Sebaliknya Pemerintah lebih mengutamakan Kontraktor existing untuk memperpanjang operasi.
Padahal akan ada 23 Wilayah Kerja Eksploitasi yang kontraknya berakhir pada 2019 – 2026.
Sebelumnya dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 15 tahun 2015, PT Pertamina (Persero) telah mengambil alih pengelolaan 7 Wilayah Kerja.
Menolak Alasan Pemerintah
Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengatakan salah satu semangat diterbitkannya aturan ini adalah untuk menjaga agar produksi tidak turun di penghujung akhir kontrak dikarenakan operator membutuhkan kepastian dalam perpanjangan kontrak.
Alasan di atas sangat tidak bisa diterima, mengingat sebenarnya kewajiban ini telah tertuang di Peraturan Menteri ESDM Nomor 26 tahun 2017 pasal 2 ayat 1 yang menyebutkan bahwa “Kontraktor wajib menjaga kewajaran tingkat produksi Minyak dan Gas Bumi sampai berakhirnya masa Kontrak Kerja Sama”. Peaturan ini malah direvisi dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 47 tahun 2017 menjadi “Dalam rangka menjaga tingkat produksi minyak dan gas bumi pada Kontrak Kerja Sama yang akan berakhir, SKK Migas mengharuskan Kontraktor untuk menjaga kewajaran laju produksi minyak dan gas bumi”.
ADVERTISEMENT
Kewajiban menjaga produksi yang semula ditujukan ke Kontraktor malahan diganti dengan kewajiban SKK Migas yang mengharuskan Kontraktor melakukan hal tersebut. Menurut Arcandra hal ini karena dinilai memberatkan kontraktor untuk berinvestasi teknologi di penghujung kontrak.
Dari uraian di atas, kita dapat melihat keanehan yang fundamental. Alih-alih membuat peraturan yang lebih tegas dan terperinci untuk mengatasi masalah tersebut, Pemerintah justru mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 23 tahun 2018 yang diklaim akan dapat menjaga produksi oleh Kontraktor (walaupun tidak ada pasal yang dengan tegas mengatur hal tersebut, malahan mengganti prioritas pengelolaan Wilayah Kerja habis kontrak dari semula PT Pertamina menjadi ke Kontraktor existing) di lain sisi melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 47 tahun 2017 pemerintah tidak mewajibkan Kontraktor melakukan hal tersebut.
ADVERTISEMENT
Melihat fenomena tersebut, kita pun teringat dengan Freeport yang “menyandera” pemerintah dengan mem-PHK pekerja dan tidak membangun smelter sebelum kepastian perpanjangan kontrak didapatkan. Bedanya dalam kasus ini, Kontraktor existing “menyandera” pemerintah dengan menurunkan produksi mereka yang dapat mengurangi pasokan untuk memenuhi kebutuhan minyak dalam negeri.
Maka dari itu seharusnya Pemerintah mencabut Peraturan Menteri ESDM Nomor 23 tahun 2018 dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 47 tahun 2017 serta mengusulkan pengaturan lebih tegas dan terperinci tentang penjaminan penyediaan produksi minyak oleh Kontraktor existing.
Oleh: Khalid Umar (Kepala Divisi Kajian Energi Taktis HMTM "PATRA" ITB)