news-card-video
26 Ramadhan 1446 HRabu, 26 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Warisan Leluhur yang Terkubur: Potensi Wisata Humbang Hasundutan yang Terlantar

Kaleb E Simanungkalit
Ka. Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Sisingamangaraja XII Tapanuli. Salah satu Awardee Beasiswa Pendidikan Indonesia di Prodi S3 Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Sebelas Maret.
24 Maret 2025 11:25 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kaleb E Simanungkalit tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sejak tahun 2024, saya melakukan penelitian etnografi untuk menggali cerita rakyat di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara. Dalam perjalanan ini, saya menemukan banyak tempat yang sarat akan mitos dan sejarah, namun ironisnya, nyaris tak tersentuh perhatian pemerintah. Keindahan alam yang luar biasa berpadu dengan kisah-kisah masa lalu yang megah, tetapi semua itu seakan perlahan menghilang dalam diam. Berikut adalah catatan perjalanan saya.
ADVERTISEMENT
Jejak Kaki Gajah Putih Sisingamangaraja Setelah Dibersihkan (Sumber: Kaleb E. Simanungkalit, M.Pd)
zoom-in-whitePerbesar
Jejak Kaki Gajah Putih Sisingamangaraja Setelah Dibersihkan (Sumber: Kaleb E. Simanungkalit, M.Pd)
Langkah pertama saya menuju Kecamatan Bakti Raja, sebuah wilayah dengan lanskap perbukitan yang menawan. Di sana, saya mengunjungi Aek Sipangolu, sebuah mata air yang dianggap sakral. Namun, alih-alih melihat tempat yang terawat, saya menemukan kawasan ini kurang terurus. Lebih mengejutkan lagi, ternyata di bawah Aek Sipangolu terdapat sebuah jejak yang diyakini merupakan kaki gajah putih Sisingamangaraja, yang kini hampir tertimbun tanah dan tak lagi terlihat jelas. Setiap butiran tanah yang menutupi jejak itu seakan menjadi simbol pelan-pelan tergerusnya sejarah dan identitas budaya Batak. Saya berjalan menyusuri jalur setapak, menatap akses jalan yang rusak dan terjal. Hati kecil saya menangis. Bagaimana bisa peninggalan yang begitu berharga dibiarkan lenyap begitu saja?
Saya melanjutkan perjalanan ke Tombak Sulu-Sulu, tempat kelahiran Sisingamangaraja pertama. Tempat ini dianggap sakral, namun begitu sunyi dan asing. Ironisnya, banyak orang Batak sendiri belum pernah mendengar nama ini. Bagaimana mungkin seorang tokoh besar dalam sejarah perjuangan Batak memiliki tempat kelahiran yang nyaris dilupakan oleh bangsanya sendiri?
Gerbang Depan Tombak Sulu Sulu (Sumber: Kaleb E. Simanungkalit, M.Pd.)
Kemudian, saya mengunjungi Air Terjun Janji, yang dikelola secara mandiri oleh masyarakat setempat tanpa dukungan pemerintah daerah. Salah satu pengelola wisata di sana mengungkapkan dengan lirih, "Kami sangat membutuhkan dukungan pemerintah untuk menjaga, mengelola, dan menarik wisatawan ke tempat ini." Pernyataan itu terasa pilu di tengah keindahan alam yang seharusnya bisa menjadi sumber kesejahteraan bagi mereka.
ADVERTISEMENT
Hal yang sama saya temui di Air Terjun Sipultak Hoda, air terjun bertingkat yang memesona, tetapi akses ke sana begitu sulit hingga nyaris tidak mungkin ditempuh wisatawan.
Akses Jalan Menuju Air Terjun Sipultak Hoda (Sumber: Kaleb E. Simanungkalit, M.Pd.)
Kondisi Markas Sisingamangaraja XII (Sumber: Kaleb E. Simanungkalit, M.Pd.)
Perjalanan saya berlanjut ke Kecamatan Parlilitan, tepatnya di Desa Sionom Hudon, tempat Markas Sisingamangaraja berada. Markas yang dahulu menjadi saksi bisu perjuangan Sisingamangaraja XII selama 22 tahun melawan penjajah kini hanya tersisa sebagai bangunan yang nyaris terlupakan, tempat tersebut sangat tidak terawat.
Di desa yang sama, saya mengunjungi Makam Sisingamangaraja XII dan Siboru Lopian, sebuah situs bersejarah yang sarat makna. Namun, untuk mencapainya, saya harus berjalan kaki selama dua jam karena jalanan yang rusak parah tak lagi bisa dilalui kendaraan. Setiap langkah kaki terasa semakin berat, bukan hanya karena medan yang sulit, tetapi juga karena kesadaran bahwa tempat penuh sejarah ini seakan dibiarkan mati perlahan.
Akses Jalan Menuju Makam Sisingamangaraja dan Boru Lopian di Desa Sionom Hudon (Sumber: Kaleb E. Simanungkalit, M.Pd.)
Home Stay Megalitikum Seribu Goa Banuarea (Sumber: Kaleb E. Simanungkalit, M.Pd.
Terakhir, saya mengunjungi Seribu Goa Banua Rea di Kecamatan Pakkat. Struktur goa-goanya begitu unik, begitu memukau. Saya terpukau ketika melihat homestay beratapkan batu besar, seakan-akan bagian dari goa itu sendiri. Namun lagi-lagi, perjalanan menuju ke sana harus ditempuh dengan jalan yang rusak parah, penuh lubang, dan nyaris tak bisa diakses dengan kendaraan biasa.
Akses Jalan Menuju Seribu Goa Banuarea (Sumber: Kaleb E. Simanungkalit, M.Pd.
ADVERTISEMENT
Dari perjalanan ini, saya menyimpulkan bahwa pemerintah daerah abai terhadap warisan budaya dan potensi wisata Humbang Hasundutan. Padahal, tempat-tempat ini memiliki daya tarik yang luar biasa dan bisa menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat setempat. Jika dikelola dengan baik, situs-situs ini dapat menjadi destinasi wisata unggulan yang tidak hanya menarik wisatawan, tetapi juga melestarikan warisan budaya Batak yang kaya.
Saat berbincang dengan seorang pemandu wisata, ia mengungkapkan dengan nada penuh keputusasaan,
"Kami hidup hanya dari pengunjung yang datang. Di tahun 2025 ini, pengunjung sangat sepi. Di bulan Maret ini, sudah tiga minggu hanya Bapak yang baru datang. Kami sangat kesulitan untuk mempertahankan hidup kami".
Pernyataan ini menampar kenyataan bahwa tempat-tempat yang seharusnya menjadi magnet wisata justru perlahan mati karena kelalaian kita.
ADVERTISEMENT
Humbang Hasundutan memiliki segalanya: keindahan alam yang memesona, sejarah yang kaya, dan kisah-kisah mistis yang memikat. Namun, tanpa perhatian dan pengelolaan yang baik, semua itu bisa hilang begitu saja.