Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Jeritan di Balik Pintu Rumah Majikan
11 Desember 2024 14:33 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Kalila Shessa Krisadiva Basara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ani membuka pintu lantai 3 yang tak terkunci, ruang jemuran majikannya. Meyakinkan diri untuk nekat, dirinya langsung terjun dari lantai 3 rumah penuh penyiksaan itu menggunakan kabel antena. Dengan kondisi babak belur, Ani berusaha meminta tolong pada orang sekitar, hingga akhirnya menemukan kantor polisi.
ADVERTISEMENT
“Saya gak mau ke rumah majikan saya, saya mau ke kantor polisi aja! Lebih baik saya dikurung dipenjara daripada saya balik ke rumah majikan!"
Namanya Ani
Seorang mantan PRT, korban kekerasan majikannya. Ani sudah menjadi PRT sejak usia 12 tahun dan bekerja selama 9 tahun untuk Meta.
Awalnya, Ani tak tahu akan dijadikan PRT. Dirinya hanya dijanjikan akan disekolahkan dan diangkat sebagai anak Meta. Mendengar kabar itu, keluarganya di Bogor melepas Ani dengan suka cita. Namun siapa sangka, dirinya malah dipekerjakan tanpa tunjangan dan menjadi korban kekerasan keluarga Meta.
Selama bekerja untuk Meta, Ani tak diizinkan untuk berhubungan dengan keluarganya. Pernah sekali dirinya diizinkan pulang dengan ancaman. Sambil mencubit lengan Ani, Meta menggertak, “Lo awas ya lo kalau ngadu sama keluarga lo.”
ADVERTISEMENT
Sepulangnya dari Bogor, Ani dipukuli karena dituduh membocorkan perlakuan Meta ke keluarganya. Sejak saat itu, Ani tidak diperbolehkan pulang ke rumah.
Kekerasan yang dilakukan Meta kepada Ani bermula dari perlakuan kecil seperti cubitan, lalu berubah jadi tamparan dan pukulan hingga Meta berani berlaku lebih parah. Dari tahun 2009 hingga 2016, luka di tubuh Ani semakin parah. Kulit Ani melepuh karena disiksa menggunakan setrika panas di bagian tangan, perut, dan punggung. Ani juga disiram air panas dari ujung kepala hingga ujung kaki, dicambuk, dan dipukul menggunakan benda-benda tumpul.
Parahnya lagi, bukan hanya Meta yang menjadi pelaku kekerasan ini, tetapi seluruh anggota keluarga dalam rumah tersebut. Anak, suami, hingga sang nenek turut andil dalam melakukan kekerasan terhadap Ani. Menurut Ani, alasan perlakuan ini pun tidak jelas. Ada yang bertingkah karena merasa Ani melakukan kesalahan, ada juga yang menjadikan Ani sebagai bahan luapan emosi belaka.
ADVERTISEMENT
Ani sempat mengalami kebutaan pada mata sebelah kanannya akibat siraman air panas. Bibirnya menjadi sumbing permanen karena pukulan dan robekan, hidungnya hancur karena diberikan suntik silikon oleh Meta. Pun dirinya pernah menderita TBC karena dipaksa memakan kotoran hewan oleh keluarga Meta.
Tanpa bayaran sepeserpun untuknya, beban kerja tak manusiawi, serta kekerasan yang dialami tiap hari, Ani beberapa kali terpikir untuk mengakhiri hidup.
Hingga suatu hari, Ani melihat kesempatan untuk kabur. Bermodalkan tekad dan keberanian demi kebebasan, dirinya terjun dari lantai tiga menggunakan kabel antena, lalu turun dengan tangga yang sedang bertengger di atap rumah tetangga.
Ani bukan korban satu-satunya
Ani adalah satu kasus di antara banyaknya kasus kekerasan pada PRT. Sulit untuk mengungkapkan korban lainnya saat mereka terkunci di balik pintu rumah majikan. PRT kerap terisolasi dari lingkungan dan tidak memiliki cara untuk meminta pertolongan. Ini yang menjadi hambatan bagi lembaga hukum dan organisasi setempat untuk membantu korban.
ADVERTISEMENT
Ani dapat dikatakan cukup beruntung, dirinya bisa kabur pada tahun 2016 dan mendapat perlindungan dari Jala PRT, LBH Apik, dan Sapu Lidi. Kini, Ani hidup sebagai ibu rumah tangga bersama keluarga kecilnya di Jakarta. Dirinya telah mendapat pengobatan dari rasa trauma dan ikut berbagai les untuk meningkatkan keterampilannya.
Berkaca dari kasus Ani, PRT sangat rentan mengalami ketidakadilan hingga kekerasan. Bagaimana tidak? Mereka yang mempekerjakan tidak diatur oleh undang-undang untuk mematuhi standar pekerjaan yang layak. Hal ini akhirnya berpotensi melahirkan kesewenang-wenangan dari para pemilik kerja, seperti memberikan beban kerja berlebih, gaji tidak layak, hingga melakukan kekerasan dan pelecehan pada pekerjanya.
Jumisih Sah, salah satu anggota Jala PRT menjelaskan tiga alasan mengapa kekerasan pada PRT bisa terjadi. Pertama, karena PRT bekerja di sektor privat yang jarang terlihat oleh publik, suara dan jeritan mereka kerap tidak terdengar oleh kita. Kedua, ketimpangan pemahaman dari masyarakat, khususnya pemilik kerja, yang tidak menganggap PRT setara sebagai warga negara.
ADVERTISEMENT
Faktor ketiga adalah ketidakpahaman dari PRT sendiri, sehingga mereka tidak tahu bahwa dirinya memiliki hak untuk diperlakukan setara.
Tidak hanya itu, pemahaman publik yang kerap menganggap PRT sebagai “pembantu” bukan “pekerja” turut memperburuk posisi PRT di masyarakat. Sebutan pembantu untuk PRT harus segera dihapuskan. Karena dengan menggunakan kata pekerja, PRT bisa mendapat kejelasan hukum bahwa mereka adalah pekerja yang berhak mendapatkan perlindungan di bawah hukum seperti pekerjaan lainnya.
Kekerasan pada PRT dapat dicegah jika RUU PPRT disahkan
Laporan Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga menunjukkan bahwa selama periode 2018 – 2023, terjadi 2.641 kasus kekerasan pada PRT. Itu bukan jumlah yang sedikit. Ribuan pekerja yang mayoritas adalah perempuan, mengalami kekerasan selama bekerja merupakan urgensi nyata pengesahan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.
ADVERTISEMENT
RUU PPRT bukan hanya melindungi pekerja, tetapi juga pemberi kerja. Dengan adanya dasar hukum dalam kontrak kerja antara PRT dan pemberi kerja, kedua belah pihak dapat terjamin hak dan kewajibannya. Kontrak tersebut dapat berisi bentuk pekerjaan yang akan dilakukan, lama jam kerja, upah, dan lain-lain. Hal itu akan melindungi PRT agar tidak memiliki beban kerja berlebih, juga menghapus kekhawatiran pemilik kerja jika PRT tidak menjalankan tugasnya.
Namun, proses pengesahan RUU ini terlalu panjang. Sudah 20 tahun draft RUU ini lahir, dengan 64 revisi yang muncul, tetapi masih tidak ada kejelasan kapan akan disahkan.
Jumisih dari Jala PRT melihat hingga saat ini, belum ada keberpihakan dari pemerintah terhadap PRT. “Kita berhadapan dengan pemerintah yang, dalam tanda kutip, belum memiliki keberpihakan pada PRT.”
ADVERTISEMENT
Dengan belum disahkannya RUU ini, seringkali kasus kekerasan PRT di meja hijau tak berakhir memuaskan. Bahkan dalam kasus Ani, para pelaku selain Meta hingga saat ini belum ada kelanjutan hukum, padahal sudah masuk perkara sejak 2016.
Kekerasan pada PRT di persidangan kerap menggunakan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Undang-undang ini tidak bisa melindungi PRT secara keseluruhan, terutama persoalan jam kerja, upah, dan beban kerja.
Segera sahkan RUU PPRT demi lingkungan aman bagi Ani, bagi pekerja domestik, dan bagi kita semua!
Disusun oleh : Talita Aqila, Nabilah Resaldi, Fadhillah Az Zahra, Kalila Shessa