Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Seberapa Efektifkah Program Sertifikasi Pra-Nikah?
29 November 2019 14:44 WIB
ADVERTISEMENT
Seorang perempuan yang mengikuti kelas gender saya, suatu ketika bercerita tentang kegagalan rumah tangganya. Beberapa tahun lalu, ia menikah dengan cara dijodohkan oleh seseorang yang ia sebut ummahat.
ADVERTISEMENT
Ummahat adalah mediator perempuan, sejenis ustaz sebagai mediator calon laki-laki. Proses perjodohan yang biasa disebut taaruf ini biasanya dilakukan dengan bertukar biodata, tetapi kasus yang ia ceritakan ini menurut saya sangat ekstrem. Ia bahkan tidak boleh melihat foto si laki-laki dengan alasan menjaga pandangan, sedangkan ia sendiri bercadar.
Setelah menikah, kondisi suami pada kenyataannya jauh dari apa yang dituliskan pada biodata. Suami sama sekali tidak memiliki bisnis ternak ikan, sebaliknya sang suami cenderung malas bekerja. Si perempuan mendapat kekerasan jika tidak melayani hubungan seksual.
Aksesnya ke luar rumah sangat terbatas karena harus selalu meminta ijin suami untuk aktivitas sekecil apa pun dan kerapkali dilarang. Ia sempat hamil dan keguguran. Puncaknya, ia minta cerai ketika suaminya tak memberi ijin pulang ke kampung halaman dan malah mengancamnya dengan ayat-ayat agama.
ADVERTISEMENT
Cerita-cerita semacam itu yang membuat saya sepakat kepada ide Pemerintah perihal sertifikasi pra-nikah. Menikah adalah salah satu peristiwa paling penting dalam hidup manusia yang punya banyak sekali dampak, baik secara biologis maupun sosial, akan tetapi peristiwa ini sering sekali dianggap remeh-temeh.
Di platform online seperti Instagram, muncul akun-akun yang gemar mempromosikan nikah dini. Pernikahan, dalam konteks gerakan Indonesia Tanpa Pacaran, misalnya, diromantisasi semata ibadah yang akan membawa ke surga, tanpa menyertakan materi riil apa yang perlu dipersiapkan dan tantangan sosial apa yang akan dihadapi perempuan dan laki-laki setelah menikah.
Pada kenyataannya, tidak semua pernikahan membawa ke surga. Ada banyak pernikahan yang justru seperti neraka bahkan ketika masih di dunia. Catatan tahunan Komnas Perempuan tahun 2019 mencatat angka kekerasan terhadap perempuan paling tinggi adalah kekerasan di ranah privat atau personal, meliputi angka kekerasan kepada istri yang jumlahnya mencapai 5114 kasus.
ADVERTISEMENT
Jika seseorang ditanya apa tujuan mereka menikah, sebagian besar akan menyederhanakan jawaban seperti "sudah umur" atau "daripada ditanya-tanya keluarga". Padahal, pernikahan secara teknis adalah peristiwa dua individu dewasa yang memilih untuk berkomitmen di hadapan agama dan negara. Komitmen tersebut akan membawa dua individu dewasa tersebut terlibat ke dalam relasi hubungan suami-istri, relasi sosial dengan keluarga, dan relasi sosial dengan masyarakat dan negara.
Sertifikasi pra-nikah, yang direncanakan oleh Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, konon akan berlangsung selama tiga bulan. Tujuan sertifikasi pra-nikah adalah memberi bekal persiapan mental, material maupun finansial. Wacana ini diangkat secara umum karena data gizi buruk (stunting) dan kaitannya dengan angka kemiskinan di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Secara wacana, sertifikasi pra-nikah tentu saja baik dan perlu. Pertanyaan selanjutnya adalah seberapa efektif?
Selain soal gizi buruk dan kekerasan dalam rumah tangga, Indonesia juga berhadapan dengan masalah kawin anak. Data tahun 2016 menyebut 1 dari 9 anak perempuan menikah di bawah umur 18 tahun. Hal tersebut mengakibatkan angka partisipasi pendidikan perempuan berpotensi 4 kali lebih rendah dibanding laki-laki.
Sejak awal, sertifikasi pra-nikah dipandang sebagai kegiatan pembekalan, bukan kegiatan pencegahan. Artinya, sertifikasi pra-nikah tidak bisa mengurangi angka pernikahan di bawah umur yang disebabkan oleh kehamilan yang tidak diinginkan, tradisi adat atau agama dan juga kasus perkawinan anak korban kekerasan atau eksploitasi ekonomi.
Waktu tiga bulan sebelum menikah adalah waktu yang cukup untuk menyampaikan materi pembekalan, tapi tidak cukup untuk mengubah persepsi seseorang.
ADVERTISEMENT
Pendidikan kesehatan reproduksi amat penting untuk perempuan dan laki-laki. Angka kematian Ibu di Indonesia cukup tinggi, yakni 305 kematian per 100.000 kelahiran hidup. Perempuan yang mengenal tubuhnya sendiri dapat mengenali kebutuhan tubuhnya dan mampu merencanakan kehamilan dengan bijak. Demikian juga dengan laki-laki yang memahami kondisi biologis perempuan, akan memiliki kesadaran untuk tidak melakukan kekerasan kepada perempuan.
Akan tetapi, edukasi kesehatan reproduksi paling baik adalah kesehatan reproduksi yang berjenjang. Dalam hal ini, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual memiliki rekomendasi yang sangat efektif, yakni lewat pendidikan seks di sekolah-sekolah.
Kurikulum pendidikan seks di sekolah diimplementasikan secara berjenjang. Anak-anak TK dan SD diajarkan untuk mengenal bagian tubuh mereka dan menjaga tubuh mereka agar tidak disentuh atau dilecehkan oleh orang lain. Pada jenjang SMP dan SMA, para siswa yang organ reproduksinya telah aktif secara seksual diajarkan untuk mengenal dampak dan risiko dari siklus reproduksi tubuhnya, diajarkan untuk tidak melakukan pelecehan dan kekerasan, serta diajak menanamkan sikap bertanggung jawab atas tubuhnya dan tubuh orang lain.
ADVERTISEMENT
Dalam format sertifikasi pra-nikah yang bersifat pembekalan, pendidikan seks atau edukasi kesehatan reproduksi kemungkinan hanya akan masuk ke materi pola aktivitas seksual yang sehat serta perencanaan kehamilan.
Artinya, pemberian materi kesehatan reproduksi penting, akan tetapi akan lebih komprehensif jika materi diberikan sejak dini secara bertahap, sesuai kurikulum pendidikan seks yang direkomendasikan oleh UNICEF. Anak-anak mesti mendapat materi pendidikan seks yang benar sejak dini dari konselor atau tenaga layanan kesehatan, untuk mencegah informasi soal seks yang salah kaprah dari industri hiburan atau media sosial.
Terakhir, sertifikasi pra-nikah sekali lagi harus dipertegas sebagai tanggung jawab negara dalam memfasilitasi warga untuk tujuan pencerdasan dan kesejahteraan sosial, bukan dalam rangka turut campur dalam ranah privat warga negara.
(Kalis Mardiasih, penulis buku Muslimah Yang diperdebatkan. Fasilitator Gender di Jaringan Nasional Gusdurian)
ADVERTISEMENT