Konten dari Pengguna

ASEAN dalam Krisis Myanmar

Kalisa Fitri Meilani
Mahasiswi jurusan Ilmu Hubungan Internasional di Universitasi Sriwijaya
6 November 2024 17:03 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kalisa Fitri Meilani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Masyarakat Myanmar saat melakukan aksi demostrasi menolak adanya kudeta militer. Foto: pexels.com
zoom-in-whitePerbesar
Masyarakat Myanmar saat melakukan aksi demostrasi menolak adanya kudeta militer. Foto: pexels.com
ADVERTISEMENT
Myanmar adalah salah satu negara berkembang di kawasan Asia tenggara. saat ini pemerintahan Myanmar dikuasai oleh militer setelah pada tahun 1948, memperoleh kemerdekaan dari Inggris. Sejak mendapat kemerdekaan, situasi Myanmar terus berada dalam posisi tidak menentu. Pada tanggal 2 Maret 1962 kudeta pertama kali di Myanmar terjadi. Kemudian kudeta kedua kembali terjadi dan dilakukan oleh militer pada tahun 1988 yang kita ketahui sebagai pemeberontakan 888. Setelah terjadi kudeta kedua di tahun 1988, terulang lagi terjadi kudeta di Myanmar pada 1 Februari 2021.
ADVERTISEMENT
Kudeta yang kembali terjadi di tahun 2021 ini telah mendapat begitu banyak perhatian dari internasional, dikarenakan warga sipil yang melakukan demonstrasi menolak adanya kudeta militer dan direspon dengan aksi tentara Myanmar yang menembaki warga sipil tersebut, sehingga menimbulkan korban jiwa sebanyak 520 orang. Kudeta Myanmar ini berhasil menghebohkan stabilitas politik di Asia Tenggara dan menimbulkan krisis kemanusiaan yang besar di Myanmar. Krisis yang terjadi ini bukan hanya merupakan menjadi masalah internal Myanmar, tetapi juga menjadi tantangan yang besar untuk stabilitas region dan nilai kredibilitas ASEAN sebagai organisasi yang berprinsip mengedepankan perdamaian, stabilitas, serta kerjasama antar negara anggota.
ASEAN memiliki prinsip dasar yang menekankan nonintervensi dalam urusan internal negara anggotanya dan pengambilan keputusan di dasarkan pada konsensus yaitu kesepakatan bersama. Prinsip-prinsip ini telah menjadi pedoman untuk tindakan yang akan diambil ASEAN, serta mendorong persatuan di antara sistem politik yang berbeda-beda. Krisis yang terjadi di Myanmar membuat perpecahan akibat perbedaan pandangan di antara negara-negara ASEAN atas pendekatan yang dilakukan terhadap kasus Myanmar. Respon awal yang diambil ASEAN cendrung hati-hati, keputusan yang diambil ASEAN berfokus pada dialog dan keterlibatan daripada intervensi langsung.
ADVERTISEMENT
Pada April 2021, ASEAN mengadakan Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT) yang khusus untuk membahasa tentang krisis Myanmar, dalam KTT tersebut menghasilkan Konsesus Lima Poin (FPC), ini sebagai upaya dari ASEAN untuk mencari solusi damai. Konsensus ini mencakup lima poin utama, yaitu penghentian kekerasan, dialog antara semua pihak, pemberian bantuan kemanusiaan, penunjukan utusan khusus ASEAN, dan kunjungan utusan khusus ke Myanmar. FPC menyerukan diakhirinya segera kekerasan di Myanmar, dialog di antara semua pihak, dan penunjukan utusan khusus. Namun, kesepakatan tentang cara memenuhi konsensus dan apa yang diwakilinya masih belum tercapai. Bagi Singapura, Indonesia, dan Malaysia, FPC merupakan ultimatum yang harus dipenuhi oleh SAC. Bagi anggota lain, ini merupakan kesepakatan yang menyerukan dialog karena FPC menyatakan bahwa ASEAN harus melibatkan semua pihak, termasuk pemerintah militer Myanmar dan kelompok oposisi dengan harapan dapat membawa para pemangku kepentingan ke meja perundingan.
ADVERTISEMENT
Saat ini, Konsensus Lima Poin kurang lebih telah menjadi pernyataan kosong, yang tidak menghentikan kekerasan di Myanmar atau memulai dialog yang bermanfaat di antara semua pihak. Sehingga FPC tersebut di nilai sangat terlambat juga terhambat oleh berbagai faktor pemengaruhnya. Ini termasuk kurangnya itikad baik dari pihak militer Myanmar untuk berkomitmen terhadap dialog. Selain itu, ASEAN sendiri tampak terpecah dalam menentukan langkah selanjutnya. Beberapa negara, seperti Indonesia dan Malaysia, mendesak pendekatan yang lebih tegas, sementara negara lain lebih memilih pendekatan diplomatis dan hati-hati, yang mengakibatkan respon ASEAN jadi tidak memiliki kekuatan yang memadai.
Salah satu kelemahan paling signifikan dalam pendekatan ASEAN adalah kepatuhannya pada prinsip non-intervensi, yang sering kali mengakibatkan ketidakaktifan di hadapan pelanggaran hak asasi manusia yang mencolok. Prinsip yang dianut ASEAN ini dapat memungkinkan rezim otoriter bertindak tanpa rasa takut. Kurangnya sikap bersatu di antara negara anggota semakin memperumit situasi, karena kepentingan politik yang berbeda dan hubungan dengan pemerintah militer Myanmar menghalangi respons yang kohesif. Selain itu, lambatnya proses pengambilan keputusan ASEAN, yang berakar pada model konsensusnya, dapat merugikan dalam situasi mendesak seperti krisis Myanmar.
ADVERTISEMENT