Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Menikahkan Pelaku dan Korban Pemerkosaan Bukan Penyelesaian Masalah
1 Februari 2023 9:05 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Zukhruf Kalyana Mukti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sempat viral kasus pemerkosaan oleh anak dari Wakil Ketua DPRD Labuhanbatu Utara di provinsi Sumatera Utara yang bersedia untuk menikahi korban.
ADVERTISEMENT
Ketersediaan pelaku untuk menikahi korban menjadi alasan proses hukum pelaku ditangguhkan. Katanya sih untuk sementara, ya. Saat ini pelaku sudah dibebaskan dari penjara Polrestabes Medan untuk melangsungkan pernikahannya dengan korban.
Kuasa hukum pelaku mengungkapkan pernikahan ini sebagai bentuk tanggung jawab dari pelaku untuk korban yang telah diperkosanya.
Agak aneh, sepertinya ada kesalahan penalaran dalam penyelesaian masalah di sini. Mengapa seolah-olah yang perlu pernikahan adalah korban?
Usut punya usut, ternyata pernikahan ini merupakan persetujuan kedua belah pihak keluarga.
Hal ini menimbulkan pertanyaan dalam benak saya, kira-kira bagaimana kondisi dan pilihan korban sendiri, sebab di sini adalah persetujuan bersama antar keluarga tanpa menerangkan bagaimana pilihan sang korban.
ADVERTISEMENT
Korban Seringkali Mendapat Tekanan untuk Menikah
Sayangnya, kasus pernikahan antara korban dan pelaku pemerkosaan ini kerap terjadi beberapa kali di berbagai belahan dunia. Dari berbagai kasus yang terjadi, korban seringkali mendapat desakan untuk menikah dari berbagai pihak, baik eksternal maupun internal.
Contoh tekanan eksternal adalah tekanan dari keluarga pelaku, agar pelaku terbebas dari hukuman. Lalu kepolisian, hingga ditekan secara internal dari pihak keluarga, sebab korban telah dianggap membawa aib jika tidak dinikahkan.
Pihak keluarga pelaku yang memaksakan pernikahan mungkin memiliki pemikiran bahwa pernikahan akan menyelesaikan permasalahan.
Saya langsung bertanya-tanya sendiri. Meringankan? Meringankan apa dan siapa?
ADVERTISEMENT
Tentunya bukan meringankan beban korban, sebab korban yang dinikahkan dengan pelaku malah berpotensi mengalami trauma yang berlipat ganda.
Dalam beberapa kasus, pihak keluarga juga menjadi salah satu pihak yang mendorong pernikahan dengan alasan sang korban telah kehilangan kesuciannya serta demi menutupi aib.
Padahal, keluarga sebagai lingkungan terdekat yang dimiliki korban haruslah berperan sebagai pemberi dukungan dan membantu penyembuhan. Coba bayangkan, korban yang telah dipaksa untuk berhubungan seksual oleh pelaku, kini malah dipaksa untuk hidup bersama pelaku dalam ikatan pernikahan.
Menurut saya ini berakibat fatal, sebab rasanya seperti menghilangkan hak dan kemerdekaan korban, lalu mendorongnya masuk dalam ikatan yang memungkinkan kekerasan seksual itu terjadi berulang kali.
Kedua, perihal korban yang dianggap menjadi aib. Jika kita mengacu pada KBBI, aib artinya cela, noda, ataupun malu. What on the earth, seorang korban dianggap memalukan hingga bernoda atas sesuatu yang tidak diinginkannya? Rasa malu, kotor dan membawa aib haruslah menjadi milik pemerkosa karena telah melakukan hal yang tidak beradab serta merenggut kebebasan orang lain.
ADVERTISEMENT
Korban Berpotensi Alami KDRT Setelah Menikah
Tentunya kita tidak lupa dengan kisah Amina Filali, gadis asal Negara Maroko yang berusia 15 tahun dan terpaksa menikahi pria berumur 25 tahun yang telah memerkosanya. Sedihnya, Amina menikahi pelaku atas anjuran dari pejabat hukum.
Amina akhirnya memilih bunuh diri setelah tujuh bulan menikah dengan pelaku. Amina ternyata kerap kali menjadi korban kekerasan oleh pelaku setelah menikah.
Amina bahkan kerap mengadukan kekerasan ini pada ibunya, namun ia hanya diminta bersabar. Merasa tidak mendapat dukungan dan bantuan dari siapa pun, Amina memilih menenggak racun tikus dan akhirnya meninggal saat perjalanan ke rumah sakit.
Rest in peace, Amina.
Pendapat saya, kekerasan dalam rumah tangga dalam pernikahan pelaku dan korban bisa terjadi karena sejak awal sudah ada ketimpangan power. Pelaku yang sedari awal bebas hukuman meski melakukan kekerasan seksual pada korban pasti merasa menjadi pihak yang berkuasa atas korban.
ADVERTISEMENT
Hal ini juga didukung oleh budaya dan masyarakat yang seringkali menganggap tragedi tersebut adalah aib bagi korban sehingga korban tidak suci lagi. Korban pun merasa kehilangan rasa berharga atas dirinya.
Hal seperti ini dapat membuat hilangnya rasa kepercayaan diri bagi korban hingga pelaku yang merasa heroik dan naik harga dirinya saat menikahi korban. Maka makin meningkatlah rasa berkuasa dalam diri pelaku dalam pernikahan mereka.
Negara yang Membebaskan Pelaku Jika Menikahi Korban
Pernikahan antara korban dan pelaku seringkali dianggap sebagai alternatif penyelesaian masalah. Alternatif penyelesaian masalah yang berfokus pada mediasi ini dikenal dengan Restorative Justice.
Hal inilah yang sering menjadi kritik dan protes dari aktivis pembela hak-hak perempuan. Mereka menganggap hal ini mengebiri kebebasan korban serta memberi celah untuk pelaku agar bebas dari hukuman, sebab seringkali korban malah mendapat tekanan dari lingkungan sekitar untuk memilih pernikahan dan berdamai.
ADVERTISEMENT
Dengan banyak tekanan yang diterima, sangat sedikit kemungkinan untuk korban melawan. Ketidakberpihakan hukum pada korban pemerkosaan bahkan tergambar di beberapa negara. Negara Rusia, Thailand dan Venezuela adalah segelintir negara yang mengizinkan pelaku menikahi korban dengan tujuan tuntutan terhadap mereka dicabut.
Negara Rusia memungkinkan pelaku pemerkosaan bebas dari hukuman dengan syarat pelaku telah berusia 18 tahun dan korbannya berusia 16 tahun menikah. Hal ini mirip dengan peraturan yang berlaku di Negara Thailand.
Pernikahan bisa menjadi alternatif penyelesaian masalah hukum bila pelaku sudah berusia di atas 18 tahun dan korban telah berusia di atas 15 tahun, namun dengan syarat korban dan pengadilan menyetujui pernikahan tersebut.
Dalam pandangan saya, peraturan ini malah terkesan menolong pelaku dan ‘membersihkan’ kejahatan yang sudah dilakukan pelaku.
ADVERTISEMENT
Korban sudah tersiksa saat dipaksa melakukan hubungan seksual, namun kini pelaku malah dilegalkan atas tubuh korban melalui ikatan pernikahan dengan dukungan hukum?
Kini sudah saatnya kita sebagai masyarakat menghentikan pandangan buruk pada korban dan memberikan dukungan untuk pulih. Pernikahan korban dan pelaku bukanlah penyelesaian masalah. Penyelesaian masalah adalah menghukum pelaku atas perbuatannya dengan setimpal lalu memberikan pendampingan serta menjadi support system untuk korban.