Konten dari Pengguna

Green Science: Literasi Iklim Dalam Perspektif Budaya Bima

Kamaluddin
Saya adalah mahasiawa Program Doktor di Undiksha, sekaligus Dosen di STKIP AL Amin Dompu
20 Oktober 2024 14:50 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kamaluddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Lietrasi Iklim Dalam Perspektif Budaya Bima/Green Science (Foto Dok. Kamaluddin)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Lietrasi Iklim Dalam Perspektif Budaya Bima/Green Science (Foto Dok. Kamaluddin)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Di era perubahan iklim yang semakin nyata, literasi tentang perubahan iklim semakin penting di berbagai tempat, termasuk di Bima, Nusa Tenggara Barat. Dengan kekayaan alam dan budayanya, bima memiliki potensi besar untuk menggabungkan nilai-nilai kearifan lokal untuk meningkatkan kesadaran iklim. Ini dapat dicapai melalui penerapan Green Science, juga dikenal sebagai ilmu lingkungan hijau.
ADVERTISEMENT
Green Science, yang menekankan pentingnya menjaga kelestarian alam melalui pendekatan ilmiah dan teknologi ramah lingkungan, dapat diterapkan pada Bima dengan menggabungkan pengetahuan modern dengan tradisi lokal. Masyarakat Bima sangat dekat dengan alam, dan adat dan budaya memainkan peran penting dalam pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan. Menggabungkan literasi iklim dengan kearifan lokal di Bima bukan hanya akan meningkatkan pemahaman tentang perubahan iklim, tetapi juga dapat mendorong komunitas untuk berpartisipasi lebih proaktif dalam pelestarian lingkungan.
Menggabungkan ilmu pengetahuan dengan kebudayaan setempat adalah kunci untuk meningkatkan literasi iklim yang relevan dan efektif bagi masyarakat Bima. Dalam konteks Bima, kebudayaan lokal sudah sejak lama mengajarkan pentingnya menjaga keseimbangan dengan alam melalui berbagai tradisi, adat, dan praktik sehari-hari. Dengan menyatukan wawasan ilmiah tentang perubahan iklim dan dampaknya dengan nilai-nilai lokal, masyarakat Bima dapat lebih mudah memahami dan menginternalisasikan perubahan iklim.
ADVERTISEMENT
Literasi Iklim merupakan kemampuan untuk memahami sistem iklim, efek perubahan iklim, dan bagaimana manusia dapat berpartisipasi aktif dalam mitigasi dan adaptasi iklim dikenal sebagai literasi iklim. Global, kita sering mendengar tentang kebijakan perubahan iklim, energi terbarukan, dan upaya penanaman kembali hutan. Namun, dalam konteks lokal seperti Bima, literasi iklim harus berfokus pada hal-hal yang lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari, seperti pengelolaan air, pertanian yang berkelanjutan, dan perubahan pola musim. Dengan ekosistemnya yang beragam dari pesisir hingga pegunungan, Bima menghadapi berbagai tantangan lingkungan. Masyarakat setempat sudah merasakan dampak dari peningkatan suhu global, perubahan pola curah hujan, dan penurunan kualitas tanah. Oleh karena itu, langkah strategis adalah meningkatkan literasi iklim yang disesuaikan dengan budaya lokal.
ADVERTISEMENT
Kearifan lokal seperti ngahi rawi pahu merupakan sebuah filosofi hidup yang menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara alam dan manusia. Nilai-nilai ngahi rawi pahu dapat membantu masyarakat Bima mengadopsi tindakan ramah lingkungan dalam menghadapi perubahan iklim. Ngahi rawi pahu, yang menekankan pentingnya harmoni antara manusia dan alam, dapat digabungkan dengan prinsip-prinsip green science. Misalnya, teknologi pertanian berkelanjutan dapat dikombinasikan dengan metode pertanian konvensional yang ramah lingkungan. Ini akan membantu masyarakat memahami secara ilmiah tentang perubahan iklim dan bagaimana mereka bisa menjadi bagian dari solusi yang sesuai dengan warisan budaya mereka.
Salah satu cara untuk mengintegrasikan literasi iklim ini adaah menggabungkan budaya ke dalam kurikulum sekolah dan program pelatihan masyarakat. Metode ini membuat pendidikan iklim lebih kontekstual dan relevan dengan kehidupan sehari-hari karena menghubungkan ilmu pengetahuan dengan prinsip-prinsip yang sudah diakui dan dihargai oleh masyarakat. Misalnya, anak-anak dapat diajak untuk memahami akibat dari tindakan yang merusak lingkungan melalui cerita rakyat Bima, yang sering menceritakan hubungan manusia dengan alam. Tarian tradisional juga dapat digunakan untuk mengkomunikasikan keseimbangan antara manusia dan alam, menyampaikan pesan tentang pentingnya mempertahankan alam melalui simbolisme gerakan dan pakaian. Upacara adat, yang biasanya menunjukkan rasa terima kasih dan penghormatan kepada alam, dapat menjadi sarana yang efektif untuk memberikan pengetahuan tentang literasi iklim. Anak-anak dan masyarakat dapat memahami bahwa keberlanjutan alam adalah bagian penting dari identitas budaya mereka dengan menjelaskan nilai-nilai yang terkandung dalam upacara ini. Metode ini tidak hanya memberikan pengetahuan tentang perubahan iklim tetapi juga memberi generasi muda perasaan kepemilikan dan tanggung jawab atas pelestarian lingkungan.
ADVERTISEMENT
Keterbatasan akses ke informasi dan teknologi di daerah pedesaan merupakan salah satu tantangan utama dalam membangun literasi iklim di Bima. Karena kurangnya informasi yang mudah diakses dan relevan dengan kehidupan sehari-hari, banyak masyarakat belum sepenuhnya memahami dampak perubahan iklim. Keterbatasan infrastruktur teknologi dan jarak geografis juga membuat penyebaran informasi tentang perubahan iklim lebih sulit bagi penduduk di pedalaman. Oleh karena itu, program literasi iklim harus berfokus pada penggunaan teknologi tepat guna dan pendidikan berkelanjutan. Metode ini dapat diterapkan dengan berbagai cara, seperti menyesuaikan teknologi yang sudah ada dengan kebutuhan lokal. Contohnya, menyebarkan informasi tentang iklim dan lingkungan melalui radio komunitas atau ponsel sederhana mungkin lebih efektif di daerah dengan akses internet terbatas.
ADVERTISEMENT
Selain itu, program berbasis komunitas yang melibatkan tokoh lokal memungkinkan pelatihan masyarakat secara langsung. Pendidikan tentang mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, seperti pengelolaan air, pertanian berkelanjutan, atau pencegahan bencana alam, dapat diberikan dalam bentuk pelatihan praktis. Informasi harus disampaikan dalam bahasa yang mudah dipahami dan relevan dengan kehidupan sehari-hari sehingga siswa dapat segera menerapkan pengetahuan tersebut.