Balla Barakka' dan Substansi 'Ammuntuli Korontigi' Khas Makassar

Kamaruddin Azis
Blogger di www.denun.id. Cinta pesisir dan laut Indonesia.
Konten dari Pengguna
12 Agustus 2019 9:43 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kamaruddin Azis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kompleks Balla Barakka di Galesong, Takalar, Sulsel (dok: K. Azis)
zoom-in-whitePerbesar
Kompleks Balla Barakka di Galesong, Takalar, Sulsel (dok: K. Azis)
ADVERTISEMENT
Jika tiada halangan, atas izin Allah SWT, besok, Selasa 12 Agustus 2019 sekitar pukul 15.00 Wita dan bertempat di Kompleks Balla’ Barakkaka, Desa Galesong Baru, Kecamatan Galesong, Takalar, akan datang rombongan masyarakat bagian ritual adat dan tradisi masyarakat Makassar, Ammuntuli Korontigi.
ADVERTISEMENT
Demikian kabar yang disampaikan Prof Aminuddin Salle Karaeng Patoto terkait Ammuntuli Korontigi adalah ritual adat atau budaya orang Galesong, juga masyarakat Makassar lainnya.
“Kami beruntung dapat memiliki Balla’ Barakka’ sebagai rumah untuk mengambil picuru atau teladan, substansi dari Ammuntuli Korontigi ini,” jelas Karaeng Patoto.
Dalam prosesi itu biasanya akan ada pagadu, pabaju bodo, plus kanrejawa (kue) erang-erang. Duh! Pasti menarik. Penasaran seperti apa modelnya?
Menurut Kaaeng Patoto, di atas rumah sederhana yang menjadi ‘jantung’ Balla Barakka; lahir dua orang profesor, seorang di antaranya mantan Hakim Agung RI, dan seorang lainnya mantan Koordinator Perguruan Tinggi Swasta yang mengkoordinasikan sekitar 400 perguruan tinggi se Sulawesi.
Kedua sosok yang dimaksud di atas pernah memegang jabatan-jabatan strategis. Yang pertama Prof Kaimuddin Salle Karaeng Mattawang (almarhum) dan Prof Aminuddin Salle Karaeng Patoto, perintis Balla Barakka’.
ADVERTISEMENT
Balla Barakka (dok: Karaeng Patoto)
“Alhamdulillah, Ayahanda kami Karaeng Salle dan Karaeng Calla memiliki 9 anak, semuanya kawin baik-baik dan dikarunia anak. Saya pribadi sebagai pewaris Balla’ Barakkaka memilik 4 orang anak, semuanya berpendidikan lumayan, semuanya sudah kawin dan juga semuanya telah memiliki anak,” kata Karaeng Patoto.
Tentang kata Korontigi, ini mewujud pohon. “Pohon korontigi, adalah tanaman langka yang hanya banyak diperjual belikan di Mekkah dan Madina untuk dijadikan ole-ole para jamaah haji dan umroh,” kata Karaeng Patoto.
“Di depan Balla’ Barakkaka tanaman ini tumbuh subur beberapa pohon. Pohon korontigi adalah pokok-pokok picuru atau pohon keteladanan. Entah mengapa pohon ini mendapat kehormatan itu,” jelasnya.
Menurutnya, bisa jadi dengan pertimbangan itu semua, sehingga beberapa orang menganggap bahwa dari Balla’ Barakkaka mereka bisa mengambil teladan. Prosesi Ammuntuli Korontigi ini adalah salah satu manifestasi dari rekam jejak keluarga Karaeng Salle.
ADVERTISEMENT
Pembaca sekalian, rasanya ini akan menjadi momen menarik, menjadi oase pengetahuan tentang pernak-pernik kebudayaan Galesong atau Suku Makassar secara umum.
Termasuk mengambil saripati hikmah dan keteladanan sosok Karaeng Salle sebagai ayah yang lemah lembut tapi tegas, yang berdampingan Hajja Karaeng Calla, sosok ibu tapi sedikit keras namun penyayang.
Prof Aminuddin Salle Karaeng Patoto (tengah) bersama istri di atas rumah koleksi atribut tradisi dan kebudayaan Galesong (dok: K. Azis_
Karaeng Salle yang disebut lemah lembut adalah cucu kesayangan Imam Besar Galesong I Mappaujung Karaeng Malo yang bergelar Tuan Lolo sementara Karaeng Calla sedikit keras turunan dari almarhum Putri Gallarrang Katonokang, penyanggah utama Galesong.
“Tak bermaksud takabur, semoga ini menjadi inspirasi agar kita bisa mengajak masyarakat untuk datang ke Balla Barakka’, lebih banyak lagi wisatawan untuk berkunjung,” kata Karaeng Patoto.
Menurut Guru Besar Hukum Agraria Unhas ini, meski berada di jantung Galesong, Balla Barakka’ dibangun di atas tanah yang tadinya tak berharga, tempat buang hajat. Berada di tengah-tengah daerah kumuh dengan segala macam permasalahan sosial, masyarakat nirdaya, kapasitas dan akses pendidikan terbatas.
ADVERTISEMENT
“Makanya kami punya ide dan secara perlahan mulai berjalan. Upaya memutus mata rantai itu dan membina masyarakat terutama anak-anak, tanpa melupakan pembinaan orang tuanya dengan pendekatan multi sektoral, agama, makanya dibangun masjid serta pendidikan adat istiadat dan budaya. Juga selalu berupaya menghadirkan orang-orang inspiratif, wisatawan dalam dan luar negeri, hingga raja-raja nusantara,” papar Karaeng Patoto.
“Diharapkan bahwa di tempat ini memancar inovasi dan kreativitas. Ini wahana untuk kita semua. Mari!” kunci Guru Besar Fakultas Hukum Unhas kebanggaan masyarakat Galesong ini. (*)