Masyarakat Hukum Adat dan Mandat di Ruang Laut

Kamaruddin Azis
Blogger di www.denun.id. Cinta pesisir dan laut Indonesia.
Konten dari Pengguna
26 Juli 2018 12:21 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kamaruddin Azis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Masyarakat Hukum Adat dan Mandat di Ruang Laut
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Suka cita warga Pulau Hatta ketika acara buka Sasi (dok: pribadi)
ADVERTISEMENT
Organisasi masyarakat sipil kini kian lantang bersuara tentang eksistensi dan ancaman pada 'Masyarakat Hukum Adat'. Sepakterjang organisasi seperti Aliansi Masyarakat Adat Nusantara atau AMAN telah menjadi cambuk untuk semakin banyak yang ikut menyuarakan isu ini. Tentang eskalasi konflik pemanfaatan ruang antara masyarakat adat/lokal dengan pemanfaat dari entitas yang lain terutama di wilayah-wilayah sensitif seperti ruang laut.
Di Maluku atau Papua yang selama ini dikenal mempunyai kawasan hukum adat sering bersenggolan dengan konflik pemanfaatan. Antara nelayan lokal dan nelayan pendatang. Antara komunitas adat dan pengusaha perikanan skala besar. Konflik nelayan Pantura dan warga Mimika serta nelayan andon dari Sulawesi Selatan dengan warga adat di Fak Fak dan Kaimana adalah contohnya.
Di Kepulauan Aru. Wilayah petuanan atau ulayat masyarakat hukum adat dikuasai oleh para pengusaha besar atau yang memiliki modal besar dengan berbagai alat canggih.
ADVERTISEMENT
Sementara di sisi lain, masyarakat hukum adat sekitar wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil menjadi sulit mendapatkan ikan dan sumberdaya laut lainnya. Dengan izin yang diperoleh dari Pemerintah, pengusaha seenaknya masuk ke wilayah adat seperti memasang rumpon dan mematok batas pemanfaatan.
Demikian pula di Desa Ety, Kabupaten Seram Bagian Barat. Di Ety, konflik terjadi antara pengusaha mutiara dan masyarakat hukum adat yang juga mengklaim di lokasi yang sama.
Di Selayar, Sulawesi Selatan nelayan tak boleh masuk ke wilayah yang diklaim pengelola resort asal Jerman. Pengelola pun tak ketinggalan kalap, mereka sangat percaya diri untuk melawan penerabas misalnya dengan memotong tali jangkar bahkan menghardik nelayan.
Beberapa daerah seperti di Raja Ampat kasus serupa juga mulai muncul. Di Raja Ampat, perairan yang sudah ditentukan sebagai lokasi perlindungan dan merupakan wilayah adat masih kerap dilintasi atau dieksploitasi nelayan Sulawesi.
ADVERTISEMENT
Nampak adanya kemudahan izin Pemerintah kepada para pengusaha tetapi terlihat tak menciptakan ruang komunikasi pula dengan pemangku kepentingan seperti masyarakat hukum adat terutama yang hidup di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Ini tentu sangat mengkhawatirkan jika tidak ada solusi yang demokratis.
Posisi KKP
Andi Nurjaya, aktivis LSM yang acap mengadvokasi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil menyatakan bahwa ‘Masyarakat Hukum Adat’ meski telah berevolusi secara turun temurun namun mulai terusik dengan isu-isu pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan.
“Kita melihat bahwa secara turun temurun masyarakat hukum adat telah melalui proses interaksi, kekerabatan, kesamaan latar belakang namun tetap beralas pada kesamaan wilayah, di darat, di pulau-pulau dan termasuk ruang laut. Karenanya Pemerintah dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan memang harus hadir,” katanya.
ADVERTISEMENT
Dia menyatakan bahwa kesatuan masyarakat hukum adat bertalian dengan pengakuan formal Pemerintah atau secara faktual merupakan bagian administratif yang harus dijaga dan dihargai oleh pihak lain.
“Merupakan realitas sejarah bahwa sampai sekarang kesatuan masyarakat hukum adat masih tetap ada, menggeliat dan menjadi corak pemanfaatan di pesisir dan pulau-pulau kecil. Sayangnya, dia kerap diabaikan semata karena kepentingan sesaat, ekonomi misalnya,” ucapnya.
“Yang lebih pokok sebenarnya adanya perlunya pengakuan secara de jure, ada pengakuan hukum terhadap keberadaan mereka karena ini berhubungan pada dimensi yang lebih luas, tentang alokasi sumber daya pembangunan, partisipasi dan dukungan Pemerintah,” lanjutnya.
Apa yang disampaikan Nurjaya merujuk pada keberadaan masyarakat hukum adat yang tersebar di Indonesia, baik di darat maupun di laut. Mulai dari Aceh, Tanah Gayo-Alas dan Batak serta Nias, Minangkabau beserta Mentawai, Sumatra Selatan, Melayu (Sumatra Timur, Jambi dan Riau) hingga Kalimantan, Minahasa, Toraja, Timor hingga Papua.
ADVERTISEMENT
Relevan dengan itu, Ir. R. Moh. Ismail, Kasubdit Masyarakat Hukum Adat, pada Direktorat Pendayagunaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Direktorat Pengelolaan Ruang Laut, KKP menyatakan bahwa posisi masyarakat hukum adat sangat strategis dan nyata adanya sehingga perlu menjadi arus utama sekaligus pelaku dalam pembangunan kelautan dan perikanan nasional.
“Terdapat beberapa praktik yang terus bertahan meski tantangan juga tidak ringan seperti praktik panglima laot di Aceh, Sasi di Maluku dan Papua, Manee hingga kelong,” katanya saat ditemui di kantornya di GMB III KKP (23/7).
Kaitannya dengan posisir Pemerintah, Ismail menyebut bahwa sejauh ini Kementerian Kelautan dan Perikanan telah membaca bahwa dengan adanya hukum adat yang bisa bertahan itu, masyarakat bisa mengakses sumber daya laut dengan mengadopsi nilai dan tata kelola yang sudah diterima banyak pihak.
ADVERTISEMENT
“Praktik sasi di Maluku adalah contoh bagaimana Pemerintah dapat menempatkan posisinya untuk memperkuat dan menjadikan mereka sebagai mitra,” katanya terkait Sasi di Lonthoir dan Pulau Hatta yang pernah disambangi oleh Menteri Susi di bulan Oktober tahun lalu.
“Kesatuan masyarakat hukum adat di wilayah-wilayah pesisir, harusnya diakui hak-haknya dalam pengelolaan kelautan secara umum. Baik tradisional, sebagai hak adat kelautan. Ini juga yang kita dorong,” imbuhnya.
“Pemanfaatan laut sebagai ruang sosial, ekonomi hingga ketahanan wilayah merupakan pertimbangan mengapa isu ini tetap menjadi fokus Pemerintah dalam hal ini KKP,” tambah Ismail.
Patut dicatat, awal tahun lalu, Pemerintah telah menetapkan 538 komunitas masyarakat hukum adat dan penetapan ini buah review 17 produk hukum daerah di 13 kabupaten/kota di 10 provinsi.
ADVERTISEMENT
Produk hukum tersebut meliputi Perda dan Perbup. Patut dicatat bahwa Pemerintah juga telah menetapkan sekuranya133 desa adat legal. Hal ini sebangun dengan apa yang telah didorong oleh KKP seperti di Kabupaten Sorong, Wakatobi hingga Maluku Tengah.
Substansi mandat pengelolaan
Jauh sebelumnya, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) telah bergerak untuk mengatasi persoalan yang membelenggu masyarakat adat, yang dilanggar haknya, yang dirampas tanahnya, yang dilecehkan adat dan budayanya maupun corak kebijakan pembangunan yang dengan sengaja meminggirkan masyarakat adat.
Komunitas Masyarakat Adat menurut versi AMAN adalah sebagai komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur secara turun-temurun di atas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakatnya.
ADVERTISEMENT
“Bukan semata karena merupakan amanat UU tetapi demi menyiapkan jalan bagi pemberdayaan mereka di agenda pembangunan nasional. Apalagi adanya pilar keberlanjutan dan kesejahteraan yang didorong Menteri Susi,” kata R. Ismail.
“Yang telah kami fasilitasi adalah identifikasi, revitalisasi penguatan masyarakat adat dan lokal di pulau-pulau kecil, memfasilitasi penyusunan roadmap pemberdayaan masyarakat adat dan lokal,” tambahnya.
“Kami melakukan inventarisasi kebutuhan sarana dalam rangka menunjang ekonomi produktif di pulau-pulau kecil. Menyusun bahan publikasi bantuan sarana prasarana ekonomi produktif masyarakat,” sebutnya.
Beberapa luarannya, menurut Ismail, sangat berguna dalam pengambilan keputusan dan solusi bagi masyarakat hukum adat ke depannya.
Data base KKP terkait wilayah masyarakat hukum adat ini sangat beragam dan telah merefleksikan napas dan derap kehidupan di sana. Semisal ragam informasi masyarakat hukum adat di Pulau Kakorotan di Kepulauan Talaud, Pulau Siompu di Buton Selatan, Pulau Owi dan Auki di Biak Numfor, Pulau Um di Sorong, Papua Barat, Pulau Para di Kabupaten Sangihe, Sulawesi Utara.
ADVERTISEMENT
Pulau-pulau ini menurut Ismail selain merefleksikan daya tahan komunitas melalui aplikasi hukum adat, juga menggambarkan prinsip pengelolaan yang sejalan dengan visi Pemerintah, pada dimensi keberlanjutan dan kesejahetraan sehingga dapat diperluas dan ditumbuhkembangkan.
Bagi KKP, mereka adalah entitas yang memiliki nilai-nilai dan sosial budaya yang khas, berdaulat atas tanah dan kekayaan alamnya serta mengatur dan mengurus keberlanjutan kehidupannya dengan hukum dan kelembagaan adat.
“Program strategis nasional telah menempatkan hukum adat sebagai pilar sekaligus pelaku pembangunan di pinggiran atau di desa-desa terluar. Harapannya sumber daya pembangunan bisa dimaksimalkan dalam kerangka Nawa Cita Jokowi-JK,” terang Ismail.
Andi Nurjaya menambahkan bahwa syarat dan mandat pengelolaan oleh masyarakat hukum adat adalah terciptanya ruang-ruang kolaborasi, ada kohesi program lintas kementerian atau lembaga hingga ke wilayah-wilayah pemanfaatan.
ADVERTISEMENT
“Harapan besar pada kerjasama lintas Kementerian/Lembaga, melalui pengalokasian sumber daya, bisa anggaran, penguatan sumber daya aparatur hingga penyediaan sarana prasarana. Khusus untuk Kemendagri, harapannya adalah bagaimana memberi pengakuan kepada entitas atau komunitas masyarakat hukum adat ini agar semakin mudah dalam perluasan program-program mereka,” katanya.
Jika dielaborasi lebih jauh, menurut Nurjaya, pengalaman selama ini menunjukkan bahwa solusi bagi konflik-konflik yang disebutkan sebelumnya adalah penerapan aspek krusial tersebut ke dalam Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) yang ditangani Pemerintah Provinsi.
“Sejatinya, isu masyarakat hukum adat atau lokal telah masuk ke dalam wilayah kelolanya jadi bukan semata ke pengakuan,” ucapnya.
“Meski belum semua provinsi, beberapa kawasan masyarakat hukum adat sudah dimasukkan ke wilayah kelola RZWP3K, ini berarti hukum yang berlaku adalah hukum adat,” katanya.
ADVERTISEMENT
“Jadi tak lagi pengakuan kabupaten tetapi meyakinkan Provinsi untuk juga menaruh perhatian dan dukungan sumber daya bagi eksistensi masyarakat hukum adat ini,” tambah Ismail.
“Karena ini amanat UU, kita telah memfasilitasi bagaimana kawasan-kawasan termasuk masyarakat hukum adat itu diakui, diidentifikasi dan diberi ruang tapi bisa berhenti di situ,” katanya.
“Kita telah petakan dan diserahkan ke Pemerintah Provinsi. Kita juga sedang meyakinkan banyak pihak di Pusart bahwa masyarakat hukum adat dan Pemerintah Daerah berharap ruang kerjasama pada aspek yang lebih luas,” pungkasnya.