Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten dari Pengguna
Memori Sandi Pati Bahari dan Diaspora menuju Poros Maritim
24 September 2017 8:38 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:19 WIB
Tulisan dari Kamaruddin Azis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Peserta Sandi Pati Bahari 1994 (foto: istimewa)
Pertemuan dengan Prof. Hasjim Djalal dan Prof. Achmar Mallawa, DEA di Kendari, pada 16 September 2017 menghantar saya ke memori pelayaran Kelautan silam. Pada tidak kurang 30 orang perwakilan mahasiswa dan dosen Ilmu Kelautan dari 6 perguruan tinggi Indonesia. Pada program bernama Sandi Pati Bahari 1994.
ADVERTISEMENT
Professor Hasjim Djalal, semua sudah tahu bukan? Dia adalah duta besar luar biasa dan berkuasa penuh untuk Jerman, Kanada dan Amerika Serikat. Saya terkenang dengan sepak terjangnya mengawal hak laut Indonesia di pentas dunia. Hasjim adalah tokoh maritim yang berjasa memperjuangkan nama Indonesia.
Berkat perjuangannya, Negara Kesatuan Republik Indonesia sejak tahun 1945 hanya punya laut 2 juta kilometer persegi kini menjadi 5,8 juta. Sebelum Deklarasi Juanda, laut Indonesia seumpama Laut Selat Sulawesi, Laut Flores hingga Banda dianggap bukan milik Indonesia namun setelah Deklarasi Juanda ditetapkan bahwa laut teritorial Indonesia seluas 12 mil diukur dari pulau yang terluar. Bukan dari tepian pulau hingga yang tersisa menjadi area internasional.
Prestasi Hasjim sebagai pengawal dan mempertahankan isi deklarasi Juanda di dunia internasional adalah kebanggaan bagi generasi berikutnya. Sebuah pencapaian setelah bertahun-tahun kita luput di lautan. Meninggalkan jejak-jejak Sriwijaya dan Majapahit hingga kecemerlangan pelaut Makassar dalam mengarungi Nusantara,
ADVERTISEMENT
Bersua pejuang Hasjim dan Prof. Achmar Mallawa, menghantar saya pada memori mula semangat dan pergerakan anak-anak Kelautan mencicipi asin laut Nusantara. Mencecap betapa tidak mudahnya berjuang di laut.
Achmar Mallawa, lulusan Universitas Sains dan Teknologi Montpellier dan Perpignan adalah yang mengatur kegiatan Sandi Pati Bahari di Makassar melalui koordinasi dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan waktu.
Sandi Pati bahari dimaksudkan untuk menempa spirit kelautan mahasiswa sekaligus wadah untuk belajar menggunakan alat-alat riset dalam pendugaan stok ikan melalui operasi longline dan trawl di sepanjang perairan Selat Makassar.
Achmar adalah pimpinan di Marine Science Education Project (MSEP) Unhas, proyek penyiapan sumber daya manusia dan sarana prasarana studi Kelautan dan Perikanan yang dibiayai oleh Bank Pembangunan Asia (ADB). Salah satu program di dalamnya adalah Sandi Pati Bahari itu.
Penulis (ujung kiri) dan peserta dari Unsrat, Unpatti dan Undip (foto: istimewa)
ADVERTISEMENT
Dari Achmar saya memperoleh cerita bahwa salah satu alasan mengapa Pemerintah dan ADB sepakat skema proyek itu adalah karena pada waktu itu, kelautan dan perikanan kita masih di bawah standar. Karenanya perlu pengembangan.
“MSEP ini kelanjutan dari bantuan ADB yang membiayai pembangunan kampus Unhas, satu paket, jadi setelah bangunan selesai, lalu ada tawaran bagi 15 orang dosen Unhas yang dibiayai oleh ADB untuk studi di luar negeri,” imbuhnya.
“Banyak yang ke Eropa karena waktu itu, Eropa merupakan pusat perkembangan kelautan dan perikanan. Salah satunya di Perancis,” kata mantan ketua Local Project Implementation Unit Unhas ini.
“Banyak dosen diberangkatkan ke Eropa dan mahasiswanya diikutkan pada program pengenalan laut dan metode riset kelautan dan perikanan saat itu,” katanya.
ADVERTISEMENT
Makanya, tidak kurang 30 orang perwakilan 6 perguruan tinggi kala itu, Unhas, Unstrat, Unpatti, Unri, Undip dan IPB menjadi peserta studi selama sebulan. Berangkat dari Kota Makassar hingga Bitung.
Ditempa di Selat Makassar
Sebagai salah seorang peserta, saya bisa bercerita bahwa bersama Sandi Pati Bahari itu, kami harus berjibaku dengan goyangan gelombang musim barat di Selat Makassar di Januari 1994.
Butuh waktu tiga hari untuk beradaptasi dan dapat mengendalikan perasaan, fisik dan perlahan mulai ikut pada proses riset. Bukan hanya saya, beberapa peserta diam-diam melipir ke bilik tidur atau ke kamar kecil untuk melepaskan rasa mual.
Tapi pelayaran memang begitu selalu menantang dan menguji seberapa mencinta dan menyukai laut dan kekhasannya. Tempaan melaut memang tak pernah mudah di permulaan dan kami kemudian bisa merasakan sensasinya ketika melihat alat tangkap beroperasi.
ADVERTISEMENT
Peserta melihat bagaimana tuna seberat 50 hingga 70 kilo naik ke kapal setelah tergoda umpan pancing. Atau melihat sekeranjang besar ikan-ikan dasar, dari pari, belanak, kerapu, udang putih hingga ular masuk perangkap trawl (waktu itu trawl digunakan sebagai alat kajian stok, untuk riset). Sejatinya memang telah dilarang sejak tahun 1980. Dilarang karena sifat serampangannya dan anti nelayan kecil atau tradisional.
Sungguh! Yang mengasikkan selama berminggu-minggu di lautan adalah solidaritas mahasiswa, dari Unpatti, Undip hingga IPB, dari Unstrat hingga Riau, dari heroisme Kelautan Unhas hingga Pekanbaru, dari suka duka mahasiswa Kelautan di Manado hingga Kampung Tembalang, dari cerita Dramaga hingga Ambon.
Peserta dari Unhas (foto: istimewa)
Kami berangkat dengan Kapal Latih Madidihang didampingi beberapa dosen serta instruktur Gomal Tampubolon, dosen STP Jakarta—di Aceh, di tahun 2006-2007, saya setim dengannya untuk proyek ETESP-ADB. Dengan mereka kami berinteraksi sebagai mahasiswa dan civitas Kelautan Nusantara yang sungguh begitu hidup.
ADVERTISEMENT
Saat itu, keenam perguruan tinggi tersebut merasa mempunyai urat nadi perjuangan yang sama, mengelola laut dengan segala macam kekhasan dan keunggulannya.
Semisal, Unhas diskenariokan sebagai kampus untuk mendukung budidaya perikanan laut meski tetapi memberi ruang pada pengembangan kelautan sebagai ‘purely marine science’ atau remote sensing, atau teknologi kelautan (Makanya alumninya saat itu bergelar Sarjana Teknik), mereka adalah mahasiswa program studi yang disebut Ilmu dan Teknologi Kelautan.
IPB fokus di tata kelola laut berikut variannya, seperti manajemen sumber daya laut, remote sensing hingga riset kelautan dalam pemaknaan luas. Kemudian Unri pada pencemaran laut karena banyaknya pertambangan minyak offshore di sana, atau Unsrat pada farmakologi laut, Unpatti pada perikanan tangkap. Undip nyaris setali tiga uang dengan spirit perjuangan Kelautannya.
ADVERTISEMENT
Di Selat Makassar, bersama, kami menikmati betapa gurihnya udang putih yang dibakar dan dinikmati bersama-sama, atau mulai belajar menikmati sushi tuna dengan hanya berteman irisan jeruk nipis. Atau bersama teman-teman se-Kelautan di senja hari sembari melihat matahari jatuh di kaki langit, atau sepagi mungkin melintasi Teluk Bitung yang indah itu. Mengasikkan bukan?
Setelah mengitari Selat Makassar dan menghitung stok tersedia, kami kembali ke pelabuhan perikanan Bitung dengan lega dan bangga. Apalagi saat itu, satu kapal perang RI bersandar di sisi Madidihang yang kami naiki selama hampir sebulan. Ada perasaan membuncah sebagai anak bangsa dan sepelabuhan dengan armada TNI-AL saat itu.
Begitulah, kami kembali ke kampung halaman dengan menumpang KM. Kerinci saat itu. Mengitari sebagian Indonesia bagian timur, dari Bitung, Kwandang, Ternate, Ambon, Bau-Bau hingga kembali ke Makassar.
ADVERTISEMENT
Diaspora ke Poros Maritim
Diaspora kecil anak-anak Kelautan Nusantara itu berlangsung dalam suasana yang tidak mudah, sebuah ikhtiar demi menyambut masa depan Kelautan Indonesia yang mungkin tak pernah mereka bayangkan akan sebegini riuh di rezim Jokowi-JK dengan Poros Maritim dan Nawa Cita-nya.
Mereka seperti pilar-piar yang mencoba mengambil titik berdiri untuk menopang sendi kejayaan yang mereka sendiri tidak tahu kapan akan benar-benar terwujud.
Mereka, anak-anak Kelautan yang bertahun-tahun setelahnya ditemukan sebagai diaspora, bekerja untuk Dinas Kelautan dan Perikanan di kabupaten-kota atau provinsi, di Kementerian Kelautan dan Perikanan, di Kementerian Koordinator Maritim hingga menjadi pengampu mata kuliah Oseanografi di kampus-kampus kece saat ini. Bukan hanya kembali mengabdi di universitasnya tetapi menyebar ke kampus lain yang juga senapas dengan perjuangan kelautan itu.
ADVERTISEMENT
Mereka ditemukan mengabdi untuk Bangsa dan Negara sebagai pamong, sebagai pengusaha, sebagai pendakwah kebaikan, sebagai bankir, sebagai periset, sebagai blogger seperti yang menulis artikel ini.
Mereka hijrah dari sekadar penonton di keriuhan perkembangan kelautan dan perikanan dunia menjadi pelaku, menjadi penggerak, menjadi pengawal Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mereka menjadi bagian tak terpisahkan dari skenario agung Pemerintah untuk menjadikan Laut Nusantara sebagai Poros Maritim Dunia.
Jika demikian adanya, mari bersulang, beri ucapan, Selamat Hari Maritim 2017!
Jalesveva jayamahe, di lautan kita jaya!