Konten dari Pengguna

Mengapa Banyak Program Pemberdayaan di Pesisir Gagal?

Kamaruddin Azis
Penulis tema kelautan dan perikanan, bekerja untuk organisasi masyarakat sipil
8 September 2017 7:44 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:19 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kamaruddin Azis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Mengapa Banyak Program Pemberdayaan di Pesisir Gagal?
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Pengusaha ikan asal Bugis di Biak (foto: Kamaruddin Azis)
ADVERTISEMENT
A good decision is based on knowledge and not on numbers.—Plato
***
Ichsan Firdaus, anggota Komisi IV DPR mengeritik kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang dianggap terlalu memprioritaskan perikanan tangkap dan melupakan pemberdayaan nelayan.
Yang disampaikan Ichsan ini acap saya dengar ketika bertemu penggiat LSM pesisir di Makassar, bahkan dengan beberapa akademisi yang selama ini getol menyigi pernak-pernik program atau kebijakan KKP.
Tentang prioritas dan motifnya sebagaimana towelan Ichsan itu, saya amat yakin KKP telah menyodorkan argumentasi dan bukti. Meski begitu, sebagai yang berminat dan mengalami diskursus ‘pemberdayaan masyarakat terutama di pesisir’ sejak dua puluh tahun terakhir, ada baiknya kita gelar tikar tentang beragam perspektif.
ADVERTISEMENT
Titik kritis fasilitasi
Mari mulai bercerita. Dul, (45) telah bersepakat dengan warga untuk menyelenggarakan pertemuan pukul 09.00 pagi. Tiga puluh warga desa pesisir ‘Susah Senang Bersama’, di depan Kepala Desa setuju ide Dul, si fasilitator pembangunan desa, untuk memulai pertemuan pukul 09.00. Begitulah fasilitator bekerja, meminta kata sepakat.
Dul datang 30 menit sebelum pukul 9. Kepala desa sudah sedia. Hingga pukul 9, warga desa yang datang ada 5 orang.
“Kita tunggu yang lain, mungkin baru pulang melaut,” kata Kades. Dul mengiyakan. Jarum jam menepi di pukul 9.30 dan dari 30 warga bersepakat, hanya ada 9 yang datang.
Pertemuan tersebut tetap digelar dengan peserta 9 orang karena menurut Dul, sudah diplot sumber daya proyek untuk membiayainya. Batal berarti dana hangus dan posisinya sebagai fasilitator akan tercoreng di muka manajer program.
ADVERTISEMENT
“Tak apa hanya 9 orang yang penting ada Kades,” batin Dul.
Kejadian seperti yang dialami Dul ini sudah jamak dan ada ribuan bahkan puluhan ribu kasus serupa, di kampung, di desa. Ada banyak program pemberdayaan masa lalu yang dianggap masih kecolongan untuk menutupi urusan metodologik itu.
Ada dua hal yang perlu digarisbawahi terkait fenomena itu.
Pertama, betapa tidak konsistennya fasilitator bekerja seperti Dul dan kedua, betapa telah semakin ‘tidak patuhnya’ warga pada proses dan niat pendampingan untuk pembangunan desa yang sedang didorong oleh Pemerintah di wilayah-wilayah pesisir.
Sejatinya, seorang fasilitator yang punya komitmen fasilitasi berdasarkan tujuan pemberdayaan akan memutuskan untuk pulang saja. Setelah berbincang dengan (sedikit) orang yang datang kita dapat menyampaikan bahwa akan pulang karena warga tidak datang dan menepati janji.
ADVERTISEMENT
Saat memaksa warga datang pertemuan, maka saat itu kita sebagai fasiliator telah melemahkan posisi. Seakan-akan kitalah yang butuh mereka, bukan mereka yang butuh program. Dalam teori dan teknik fasilitasi, titik di mana kita (fasilitator) menempuh keputusan seperti ini disebut 'titik kritis atau turning point pelaku' pemberdayaan.
Jika kita pulang, itu berarti kita telah menunjukkan bahwa kita punya niat baik. Jangan pernah memanggil atau meminta seseorang memanggil satu-satu warga datang, Itu hanya membuat seakan-akan pertemuan tersebut adalah kemauan fasilitator atau pihak luar.
Mengapa Banyak Program Pemberdayaan di Pesisir Gagal? (1)
zoom-in-whitePerbesar
Telur ikan terbang ekspor yang diolah masyarakat Takalar (foto: Kamaruddin Azis)
Tapi inilah yang terjadi dan diproduksi setiap tahun, setiap periode, setiap proyek dan bahkan yang jelas-jelas menggunakan kata pemberdayaan sebagai inti program. Sebuah fenomena yang direproduksi setiap tahun tanpa kesungguhan untuk membenahinya.
ADVERTISEMENT
Warga pesisir bukannya berdaya, tetapi bergantung terus pada bantuan saban tahun. APBN, APBD, loan, grant, silih berganti. Ketidakpatuhan atau keberdayaan semu, diproduksi terus menerus oleh pihak luar, oleh LSM, oleh perencana Pemerintah sehingga masyarakat kehilangan respek dan percaya pada orang luar yang ‘berjiwa karet’ dan 'project minded'.
Koreksi penting
Kapasitas fasilitator adalah persoalan pada cerita di atas. Ada celah yang tidak dipahami oleh fasilitator program di hampir semua proyek pembangunan nasional terutama di pesisir.
Mereka menganggap bahwa mereka membawa uang dan kesempatan mengubah masyarakat pesisir dalam hitungan hari hanya dengan memberi bantuan uang dan sarana prasrana.
Pada tingkat operasional, mereka banyak gagal dalam menjelaskan dengan sederhana pada semua pihak di desa, di kampung, di balai-balai pertemuan tentang ‘apa yang kita punya dan apa yang telah terjadi di atasnya’.
ADVERTISEMENT
Bertanya faktuallah. Apa yang terjadi atas terumbu karang kita, pada mangrove, pada produksi ikan, dan lain sebagainya. Dengan menanyakan ini ke warga sesungguhnya, telah mengapresiasi pengetahuan dan pengalaman mereka. Jadi tidak bisa dimulai dengan ‘saya punya uang dan anda bisa apa’.
Saat kita bercerita tentang jargon-jargon, bahasa langit tentang pemberdayaan warga, pembangunan, kemitraan, dan segala yang berbau pembangunan pasti akan membuat bingung para anak-anak dan kakek nenek. Mungkin yang muda atau golongan tengah akan manggut-manggut tetapi yang tidak pernah sekolah atau membaca atau mendengar kalimat itu sebelumnya tentu akan melongo.
Jika demikian adanya maka jika kita mulai mengadakan pendekatan atau komunikasi dengan warga, gunakanlah kalimat yang membuat peserta berminat untuk berpartisipasi.
ADVERTISEMENT
Kita sejatinya dapat mengutarakan kalimat tanya yang bisa menggugah warga untuk ikut berbagi.
Semisal, “Di desa bapak-ibu, adakah kegiatan di pesisir atau melaut yang dilakukan bersama-sama? Siapa saja yang ikut, di mana dan kapan?”
Kalimat langsung ini pasti akan memancing warga untuk memulai perbincangan. Akan terjawab siapa yang memang nelayan, siapa yang sekadar pelayan di pangkalan pendaratan ikan. Saat itu Kita telah berada di wilayah aman. Doronglah warga untuk berpikir dan menghasilkan informasi bagi semua sebelum benar-benar menyusun rencana aksi. Bukan malah membungkam mereka dengan iming-iming.
Mengapa Banyak Program Pemberdayaan di Pesisir Gagal? (2)
zoom-in-whitePerbesar
Penulis bersama pedagang ikan di Fandoi, Biak (foto: istimewa)
Tahapan-tahapan partisipasi warga dapat ditunjukkan dimulai saat membangun perkawanan atau kemitraan dengan mereka bahkan hingga saat mengevaluasi atau feed back dengan warga.
ADVERTISEMENT
Tetapi poin yang paling pokok adalah memberi penjelasan pada warga tentang pentingnya partisipasi mereka dalam pengambilan keputusan pada setiap rencana aksi yang disepakati. Membatasi warga untuk tidak paham penganggaran dan kalkulasinya tentu akan berdampak negatif—dimana pada beberapa kasus sepert Dana Desa atau ADD hanya Kades dan fasilitator yang tahu.
Mendorong fasilitasi warga dalam pengambilan keputusan (termasuk dalam alokasi anggaran) akan bermuara pada tanggung jawab dan rasa pemilikan (ownership) yang tinggi.
Jangan disangka akan ada pembangunan yang berhasil dan berkelanjutan jika sebagai fasilitator, kita meninggalkan warga saat desain rencana aksi dan penentuan anggaran.
Hal lain yang perlu dicamkan adalah jika kita hanya menjadi fasilitator proyek itu berarti kita hanya akan bekerja untuk “kepentingan proyek”, hanya kepada kepentingan adminstrasi, distribusi anggaran biar atasan senang, semakin banyak anggaran terserap semakin baik.
ADVERTISEMENT
Lalu bagaimana dengan efektifitas dan keberlanjutannya saat “proyek” selesai?.
Hakikat dan saran Susi
Dalam perjalanan setelah melihat kawasan mangrove ke ke bandara Angkatan Udara Kota Ranai, Natuna, (9/8/2017), Susi Pudjastuti menyampaikan harapannya kepada penulis terkait pentingnya efisiensi dan efektivitas pemberdayaan masyarakat di pesisir dan pulau-pulau.
“Saya itu mau, kita transparan ke masyarakat nelayan. Menganggarkan dan membeli barang sesuai yang telah direncanakan. Gitu aja,” katanya sembari melepas pandangan ke hamparan padang mangrove.
Fakta bahwa sejauh ini terdapat banyak fasilitas publik di desa pesisir yang tidak dimanfaatkan telah membuat Susi berpikir keras. Sepertinya dia menerawang—mengapa warga pesisir terlihat berpartisipasi sedari awal tetapi tidak menunjukkan tanggung jawab sesudahnya?
Sebagai sosok yang paham persis luar dalam nelayan, Susi sepertinya menginderai ada yang tidak beres dengan cara dan mental orang luar memberdayakan masyarakat pesisir.
ADVERTISEMENT
Menurut hemat penulis, berdasarkan pengalaman memfasilitasi proses perencanaan dengan pemerintah, hal itu terjadi karena “perencanaan yang terpaksa”. Perencanaan yang menghadirkan partisipasi semu dan palsu. Perencanaan bersama warga menjadi sangat rigid dan kurang mengapresiasi peran, pengetahuan dan pengalaman mereka. Pelibatan mereka dalam pengambilan keputusan karena dominasi aparat atau unsur Pemerintah.
Warga nyaris tak punya kesempatan untuk menyampaikan kedalaman dan keluasan pengetahuannya. Padahal menurut Plato, pengetahuan lebih penting dibanding angka-angka, numbers.
Coba ambil contoh saat seorang fasilitator atau staf lapangan proyek menjajaki pembangunan sarana sanitasi kampung nelayan. Kerap kali mereka datang dengan pernyataan, “Kami datang membantu atasi persoalan Bapak-Ibu di pulau ini.”
“Apakah persoalan di pulau ini?” atau “Jika masalahnya adalah ketersediaan air bersih yang kurang dan tidak higienis, maukah Bapak jika kami bantu membangun sumur?” Warga tentu sangat berterima kasih. Mereka tanpa diperintah menyatakan bersedia membantu.
ADVERTISEMENT
Lalu fasilitator proyek melanjutkan, “Kami akan bantu dengan menyediakan dana pembelian alat dan kebutuhan pembangunan fisik, maukah Anda berpartisipasi mengerjakannya sebagai wujud dukungan Bapak-Ibu?”.
“Jika hanya tenaga, kami tentu akan siap bekerja” Kata warga spontan.
“Siapa yang mau menolak bantuan?” pikir warga tanpa bisa mengeksplorasi pengalaman dan kekayaan khazanah pengetahuan mereka.
Cerita di atas setidaknya memberi kita kesan bahwa, nyaris tidak ada negosiasi atau kesempatan kepada warga untuk memutuskan setiap tahapan pelaksanaan kegiatan. Uang di tangan fasilitator, sumber daya di tangan orang luar.
Mengapa Banyak Program Pemberdayaan di Pesisir Gagal? (3)
zoom-in-whitePerbesar
Penulis dan nelayan-nelayan Padaido, Biak menunggu asuransinya. (foto: istimewa)
Padahal mendorong peran serta warga untuk mengambil posisi dalam penentuan keputusan adalah hal mutlak yang harus diketahui sejak awal.
ADVERTISEMENT
Jika fasilitator lalai di situ jangan harap warga akan bertanggung jawab. Inilah fungsi fasilitator dan di sinilah mereka harus berdiri. Masyarakat tidak akan mengambil tanggung jawab jika fasilitator tidak mengajak mereka mengambil tanggung jawab.
Jadi tugas fasilitator adalah bagaimana mendorong mereka untuk mengambil tanggung jawab, hal yang tidak dilakonkan oleh Dul di pembuka tulisan ini.
***
Kegagalan Dul sebagai fasilitator serta apa yang diisyaratkan Menteri Susi tentang efisiensi dan transparasi dalam program pembangunan di pesisir menyadarkan penulis pada posisi masyarakat dalam perencanaan pembangunan desa. Mengingatkan pada dua hal nal fundamental.
Pertama, fasilitasi untuk pemberdayaan masyarakat yang menekankan pada memberikan atau mengalihkan kekuatan (sarana tangkap, pakan budidaya, jaring, dll), kekuasaan atau kemampuan kepada masyarakat harus diselenggarakan dengan baik, tulus, tepat dan transparan. Ini berarti cara, skill, metode, mental harus dikoreksi.
ADVERTISEMENT
Sejatinya, perencana Pemerintah dan fasiltitator harus cekatan mendorong dan membangun kesetaraan bersama masyarakat pesisir, nelayan, siapapun di pesisir untuk memahami hakikat mengapa kita perlu berdaya dan jujur pada realitas.
Inilah kecenderungan primer dari hakikat pemberdayaan itu. Jadi tidak bertele-tele, tidak manipulatif, tidak menyigi persoalan dengan bahasa susah dan njlimet sebagaimana yang dirasakan selama ini.
“Hindari kalimat dan kata-kata yang tidak bersayap gitu lho,” kata Susi beberapa kali pada penulis.
Hal kedua yang juga dikehendaki Susi adalah, perlunya menekankan pada proses mengajak, mendorong, menggerakkan orang perorang agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan agar program bisa berkelanjutan dan menyejahterakan.
Menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog. Ya dialog.
ADVERTISEMENT
Pilihan yang dimaksudkan sebagai apa visi dan caranya dalam menggapainya. Bukan visi misi orang luar tetapi masyarakat pesisir yang selama ini sering kita bincangkan dan pandang remeh itu.
Pada realitas itu, saya ingin bertanya pada mantan atau pelaku program pemberdayaan seperti PEMP atau PNPM sejauh ini. “Ada berapa rencana aksi termasuk penyusunan anggaran yang melibatkan masyarakat pesisir secara maksimum? Yang pesertanya banyak, beragam dan luas?”
Gowa, 08/09.