Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Raja Ampat: Refleksi dan Tantangannya
14 September 2017 7:03 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:15 WIB
Tulisan dari Kamaruddin Azis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Pelabuhan Waisai, Raja Ampat (foto: Kamaruddin Azis)
Masih tentang Raja Ampat. Menyebut Raja Ampat yang indah berundak, pada pesona berbukit karang serupa pasak dari palung laut membiru, rasanya amat relevan jika direfleksikan dengan tiga pilar kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan.
ADVERTISEMENT
Ketiganya adalah Kedaulatan, Keberlanjutan dan Kesejahteraan. Pilar yang acap dipromosikan Menteri Susi Pudjiastuti, tiga tahun terakhir, dan nampaknya senapas dengan spektrum perkembangan Raja Ampat. Bagi penulis, setidaknya dari observasi dan wawancara selama berada di sana, .
Jalan pengelolaan
Tak dapat disangkal, keindahannya yang tak tepermanai, konfigurasi pulau bak pasak raksasa yang menyembul dari palung laut adalah bukti sahih atasnya. Raja Ampat dan laut sekitarnya memiliki tingkat keanekaragaman hayati dan endimisitas sumber daya pesisir dan laut yang amat tinggi.
Karena itulah Raja Ampat dibesut sebagai suaka perairan dan teramat penting bagi Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia nomor 63/Kepmen-KP/2014 tentang Rencana Pengelolaan dan Zonasi Suaka Alam Perairan Kepulauan Raja Ampat dan Laut sekitarnya di Provinsi Papua Barat tahun 2014-2034.
ADVERTISEMENT
Beberapa peneliti top dunia menegaskan itu sebagai dilakukan para peneliti kelautan dari Perancis yang menggunakan Kapal Riset L’Uranie antara tahun 1818 hingga 1819, Peter Bleeker, Alfred Wallace hingga Snellius pada tahun 1920.
Pada 2009, setelah melakukan riset intensif, menurut ahli kelautan, Dr. Gery Allen dan Dr. Mark Erdman merilis bahwa Kepulauan Raja Ampat memiliki setidaknya 1.318 jenis ikan karang. Informasi lainnya adalah terdapat 533 jenis karang keras sebagaimana dilaporkan peneliti Turak dan Devantier pada tahun 2008.
Lima tahun terakhir, setelah dikelola secara kolaboratif, Raja Ampat melesat bak meteor, meteor pariwisata bahari. Sebuah pencapaian yang menjadi corak menarik di tengah kompetisi daerah dalam menggaet turis asing maupun domestik.
Raja Ampat kini sudah bisa membayangi atau nyaris melampaui Bali dan Lombok dari sisi eksotisme dan tata kelolanya.
ADVERTISEMENT
“Raja Ampat ini sudah dikenal, tahun lalu kita dapat 16 miliar dari entrance fee. Di tahun 2015, sebanyak 12 miliar, Ada perbedaan penerapan untuk pengunjung domestik dan internasional,” kata Adrianus Kaiba saat ditemui pada 12 Juni 2017 di Waisai, ibukota Kabupaten Raja Ampat.
Adrian adalah Kepala Unit Pelaksana Teknis Kawasan Konservasi Perairan sebagai bagian dari Badan Layanan Umum Daerah yang bertanggungjawab mengelola sumberdaya kelautan Raja Ampat termasuk memetik retribusi atau entrance fee yang berlaku sekali setahun untuk pengunjung tersebut.
BPS Raja Ampat mencatat lonjakan drastis kunjungan wisatawan asing sejak 2012. Di tahun itu, dilaporkan ada 5.996 wisatawan asing dan 1.763 domestik.
Tahun berikutnya, 2103 perbandingannya 8.318 dan 2.8238 domestik kemudian 10.247 asing dan 2.691 domestik. Tahun 2015, jumlah wisatawan asing 11.439 dan 2.751 domestik.
ADVERTISEMENT
Nah, jika tamu asing di tahun 2015 membayar entrance fee yang merupakan regulasi Pemerintah setempat sebesar Rp. 1 juta maka total pemasukan untuk daerah sebesar Rp. 11.439.000.000,-. Besar nian!
Refleksi Syafri
Sehari sebelum bertamu Adrian, pada 11 Juni, penulis menemui salah satu sosok yang dikenal aktif dalam proses konsultasi, penyiapan kelembagaan pengelola kawasan Raja Ampat. Namanya Syafri. Dia adalah pejabat senior di DKP Raja Ampat yang telah pindah ke BLH.
“Bahwa pencapaian tersebut tidak mudah dan melewati jalan berliku serta panjang,” katanya saat ditemui di rumahnya di Waisai.
Menurutnya, apa yang terjadi saat ini merupakan buah dari kebijakan pembangunan daerah yang tidak semata melihat sumber daya kelautan untuk perikanan belaka, tetapi pengelolaan seimbang antara konservasi dan pemanfaatan.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, Syafri mengakui bahwa sejauh ini ada tafsir sendiri-sendiri dari pemangku kepentingan, kue-kue pariwisata harusnya bisa dinikmati semua pihak, termasuk masyarakat, jadi bukan soal meminta retribusi saja.
“Yang paling perlu diperkuat adalah lembaga perencanaan seperti Bappeda. Mereka harusnya bisa bikin blue print untuk mendisain sesuai hulu-hilir. Sudah seperti itu idealnya dalam perencanaan tata ruang,” ujarnya.
“Hal lain adalah aspek eksternal, selama ini semakin banyak kapal dan belum dikoordinasi dengan baik. Harapan kita ada terminal, dropping zone,” katanya.
Menurut Syafri, beberapa tahun lalu sudah diingatkan, perlu pengelolaan ruang-ruang, kamar, ada penumpukan penggunaan sumber daya. Kapal masuk, parkir sembarangam, corwded di kawasan. Mulai dari Mansuar, ke Arborek, Piaynemo, mulai crowded pada musm tertentu,” terangnya.
ADVERTISEMENT
“Hasil studi sudah ke arah sana, terkait carrying capacity sudah diingatkan tapi secara site by site yang diperlukan adalah bagaimana pengaturan kapal, port by port,” tambahnya.

Syafri bersama penulis (foto: istimewa)
Menurut Syafri, hal ini perlu mendapat perhatian serius sebab jika melihat target pusat, bahwa pasca 2019 ada 1,5 juta wisatawan.
“Kita bayangkan saja entah itu jadi atau tidak, Apakah infarastruktur sudah siap? Artinya 40 Live Aboard (LoB) yang sudah ada izin, ada 40 unit yang masuk one way tiket, mereka perlu dipantau,” katanya.
Tentang keberadaan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), menurut Syafri, harus lebih strategik jadi bukan cuma kejar duitnya.
“Perlu sinkronisasi perencanaan, bagaimana membaca persoalan lapangan dan relevan dengan dokumen perencanaan. Demikian pula di implementasi, jika mengambil contoh Otsus, maka itu serba tiba-tiba, kadang di injury time datangnya sehingga program juga tidak maksimal,” katanya.
ADVERTISEMENT
Syafri menceritakan bagaimana proses perintisan BLUD yang tidak mudah. Melewati banyak konsultasi, diskusi, kunjungan lapangan dan antar provinsi, semisal datang ke Senggigi, Mataram.
“Itupun masih juga belum jalan, bentuknya belum ada, saya bersuara di forum, kalau lembaga pengelola tidak punya gigi percuma, minimal dia punya otorita mempertahankan kawasan, bukan hanya laut tetapi beberapa di darat harus punya akses juga,” ungkapnya terkait sejarah BLUD yang diinspirasi oleh badan otorita Batam.
“Artinya, BLUD harus betul-betul berkuasa penuh, cetak biru sudah ada. Kalau mau neko-neko tidak bisa,” katanya.
Dia menambahkan perlunya kerjasama, keterbukaan dan berganteng antar pemangku kepentingan, Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, Kabupaten, LSM, perguruan tinggi hingga kelompok masyarakat.
ADVERTISEMENT
“Dari sisi penganggaran, sejak awal daerah tidak punya dana maksimal jadi banyak disuplai dari Conservation International termasuk kebijakan penempatan staf atau pegawai daerah Raja Ampat ke situ untuk memperkuat BLUD,” katanya.
“Sekarang ini bagus sekali dari sisi penganggaran, sumber daya sudah ada, ada penghasilan, meski begitu, dari sisi penggunaan anggaran masih banyak yang perlu dibenahi,” katanya.
Hal lain yang disebutkannya adalah bagaimana model jasa lingkungannya ke depan, selama ini harapan Pemerintah Daerah adalah Dana Alokasi Khusus (DAK) yang mungkin akan berbeda ke depannya.
“Kan sudah ada Dinas Pariwisata, apakah tetap menunggu entrance fee sebagai modal pengelolaan, atau konsepnya harus dibicarakan dengan provinsi apalagi dengan berlakunya UU 23/2014. Proses P3D harus dibicarakan baik-baik dengan Pemerintah Provinsi,” pungkasnya.

Tantangan ke depan
ADVERTISEMENT
Keberadaan LSM Internasional seperti Conservation Internationl (CI) di Raja Ampat oleh beberapa kalangan dianggap sangat membantu memudahkan pengelolaan sumber daya kawasan konservasi perairan. Selain mengelola yang sudah ada.
CI juga menyiapkan lokasi baru dan memfasilitasi transfer P3D (transfer dokumen, sarana prasarana dan personalia) sebagai konsekuensi UU No, 23/2014 tentang Pemerintah Daerah. Diperlukan kerjasama antar Pemerintah Provinsi sebagai penerima limpahan kewenangan konservasi laut dari Kabupaten Raja Ampat. Hal ini masih berproses dan tidak mudah.
Untuk memperoleh gambaran fasilitasi di tingkat lapangan (grassroot), penullis juga mewawancarai peneliti pari manta bernama Abdi Wunanto Hasan. Abdi telah bekerja di tahun ketiga bersama CI.
Menurut Abdi, di beberapa lokasi seperti Pulau Myoskor dan Pam pelibatan orang lokal amatlah penting untuk terjadi apa yang disebut transfer kapasitas.
ADVERTISEMENT
“Kegiatan-kegiatan berkaitan logistik kami libatkan ibu-ibu, dilakukan berganti-ganti sehingga tidak menimbulkan kecemburuan. Juga memberikan pemahaman pada setiap aktivitas sosial dan lingkungan,” kata Abdi, (12/06).
Lokasi yang ditangani CI menurut Beddi, begitu saya menyapanya, adalah Kofiaw, Misool, Raja Ampat Tengah, Barat dan Utara. Sementara TNC di 2 KKPD. CI mendorong kawasan baru dan berbasis adat. Menurut Beddi, urusan P3D ini merupakan aspek sedang ditangani oleh CI.
“Prosedurnya tidak mudah, kalau menurut saya, transfer ini memang harus melibatkan BLUD dan harusnya sudah masuk ke dalam RZWP3K (rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil) yang akan disusun nanti,” kata Beddi yang akan habis masa kerjanya tahun ini.
Dari Abdi diperoleh informasi juga bahwa masih ada tantangan dari masuknya nelayan dari provinsi lain, mereka terlibat praktik penangkapan hiu di dalam wilayah konservasi Raja Ampat.
ADVERTISEMENT
“Beberapa waktu lalu ada nelayan dari Sulawesi Tenggara yang kedapatan di laut, diduga menangkap hiu namun barang bukti telah dibuang,” pungkas Beddi.
