Tiga Pertanyaan Untuk Seorang Terpelajar

Konten dari Pengguna
8 April 2020 18:51 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Nur Alam Tejo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tiga Pertanyaan Untuk Seorang Terpelajar
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Hari-hari saya selama 12 tahun bersekolah dijalani sebagai mana anak sekolah pada umumnya: bangun pagi dengan malas, sarapan sembari menonton serial kartun favorit, berangkat sekolah, mendengarkan pelajaran yang kadang membosankan, bermain dengan teman, pulang, mengerjakan PR, dan seterusnya. Semua hal itu saya lakukan seolah-olah hidup saya sudah merupakan program komputer yang telah diatur sedemikian rupa untuk terus melakukan kegiatan repetitif itu.
ADVERTISEMENT
Setelah lulus kuliah dan menganggur, saya malah banyak merenung dan bertanya-tanya, apa saja suka-duka yang sudah saya alami hingga dapat memperoleh gelar kesarjanaan dan menjadi seorang terpelajar. Ada tiga pertanyaan yang mengganjal pikiran saya untuk saya tanyakan kepada orang-orang terpelajar; (1) hal penting apa yang telah saya korbankan untuk menjadi “seorang terdidik”?; lalu, (2) seberapa penting “seorang terdidik” membangun daerah dan berkontribusi aktif di masyarakat?; jika jawabannya penting, maka (3) apa tantangan yang akan dihadapi oleh “seorang terdidik” di masa ini dan di masa yang akan datang dan nilai-nilai apa yang harus diajarkan agar tetap dapat berkontribusi di masyarakat?
Pertanyaan pertama saya dapatkan saat datang ke bedah buku Setan Bermata Runcing yang ditulis oleh beberapa relawan Sokola Rimba—organisasi non-profit yang memberikan akses pendidikan kepada orang-orang Rimba. Butet Manurung, salah satu pendiri Sokola Rimba, ditanya oleh anak Rimba, “Bu Guru, kira-kira tumbal dari ilmu baca-tulis itu apa, ya?”. Ia bingung dan kembali bertanya, “Enggak ada tumbalnya kok, emangnya kenapa nanya begitu?”. “Lah, kok enggak ada Bu Guru? Soalnya kalau di sini setiap ilmu itu ada tumbalnya”.
ADVERTISEMENT
Di sini coba kita bayangkan, semisal kalian ditanyai hal yang sama, maka kalian akan menjawab apa? Barangkali sebagian dari kalian menjawab, “saya telah mengorbankan harta-benda”, atau beberapa yang lain mungkin menjawab “saya mengorbankan banyak waktu saya untuk belajar”. Tapi, kalau saya boleh jujur, pengorbanan terbesar saya ketika mulai bisa membaca dan menulis adalah kehilangan semangat mencari bekal pengetahuan berdasarkan pengalaman hidup diri saya sendiri.
Ketika sudah mahir membaca segala informasi selalu saya dapatkan dari buku, koran, majalah, televisi, dan internet. Jarang sekali saya mendapatkan pelajaran dari hal-hal keseharian, seperti halnya pengetahuan-pengetahuan baru yang saya dapatkan semasa saya masih kecil. Bukankah di waktu kita kecil pelajaran paling berharga ialah ketika kita secara riang dan energik memanjakan rasa ingin tahu kita ke dalam permainan keseharian. Lantas mengapa ketika mulai mengenal bangku sekolah, kita harus diseret untuk duduk berbaris, disuruh untuk diam, sementara pikiran kita jejelali oleh fakta-fakta?
ADVERTISEMENT
Seketika itu saya mulai kehilangan rasa takjub dalam melihat dunia. Seolah dunia semuanya sudah dipatok dan dibatasi oleh definisi-definisi ensiklopedia. Sekolah tak mengajarkan saya untuk berani mempertanyakan mengapa sesuatu harus A dan bukannya B, C, atau Z. Memangnya ada berapa banyak guru yang berani “mengajak” muridnya berpikir dengan melempar suatu pertanyaan tentang hal baru yang belum diketahui dan yang tidak ada di buku cetak? Pun jika ada, seberapa besar persentase murid yang mau menanggapi dan menganggap serius pertanyaan yang diajukan?
Walhasil ketika tamat bersekolah dan masuk ke dunia perkuliahan, saya merasa menjadi orang paling bodoh sedunia. Saya belajar, tapi tak mempelajari apapun. Seolah saya mempelajari hal-hal kosong yang tidak ada kaitannya dengan kehidupan keseharian. Kemudahan yang ditawarkan oleh canggihnya teknologi tak membuat pola pikir saya menjadi bijaksana dalam menyikapi pengetahuan yang telah diperoleh, sebaliknya saya lebih sering was-was atau bingung dengan pengetahuan selama ini telah dikumpulkan. Semakin banyak tahu, maka semakin gampang saya melupakan. Barangkali saya tak mengingat banyak hal karena tak pernah merefleksikan dengan sungguh-sungguh pendidikan yang saya peroleh.
ADVERTISEMENT
Selama duduk di bangku sekolah, kesadaran untuk mengkritisi sesuatu sebagaimana jamaknya anak-anak selapis demi selapis mulai pudar. Sekolah sepertinya memang sengaja dirancang menyerupai pabrik-pabrik di abad ke-19 untuk menghasilkan buruh berupah murah. Para siswanya adalah produk atau komoditas yang akan duduk diam di bangku sepanjang hari, berperilaku seragam, dan tunduk pada hukuman jika mereka gagal mencapai standar yang disyaratkan. Kolaborasi dan pemikiran kritis adalah dua musuh yang coba dihalau oleh para pemilik pabrik.
Setelah saya mengerti asal-asul hilangnya rasa takjub terhadap dunia, saat lulus kuliah, saya disibukkan oleh pertanyaan yang kedua. Seolah pertanyaan itu memberikan tiga pilihan yang menghampar di depan setelah stampel ijazah saya kering: (1) mengabdi untuk lingkungan sekitar, (2) melanjutkan kuliah, atau (3) mencari pekerjaan untuk menghidupi perut sendiri. Pilihan-pilihan itu membuat saya bimbang. Apakah saya harus memilih salah satunya dan mengabaikan sisanya, memilih dua saja dan meninggalkan yang satunya, memilih ketiganya, atau tidak memilih ketiganya (?).
ADVERTISEMENT
Di tengah berbagai hasrat untuk menyelesaikan persoalan secara instan dan menggebu-gebu, sudut pandang yang lebih humanis seringkali selip. Saya teringat bahwa tujuan akhir pendidikan adalah untuk membebaskan manusia dari segala belenggu, entah itu kemiskinan, atau pun kebodohan. Gagasan tentang pendidikan yang membebaskan tentu bukanlah hal mudah untuk dijalankan. Pendidikan dan ilmu dibebani tugas berat di tengah arus hidup yang semakin didominasi kehendak instan, serba cepat. Bagaimana pengajaran ilmu di sekolah bisa jadi jalan memperdalam penghormatan saya pada kemanusiaan?
Setelah sekian bulan mempertanyakan, saya jadi ragu-ragu dengan status kesarjanaan yang menjadikan saya sebagai seorang terpelajar. Mungkin selama ini saya salah sangka menilai diri sebagai orang yang terdidik hanya dari gelar kesarjanaan yang telah diperoleh. Padahal pada hakekatnya semua orang yang hidup sebagai makhluk sosial adalah kaum terdidik. Termasuk mereka yang tak pernah pegang pensil, tak pernah bersepatu, apalagi masuk ke halaman sekolah.
ADVERTISEMENT
Pendidikan sejatinya merupakan anugerah dari Tuhan yang diberikan kepada kita semua secara gratis. Ketika manusia melakukan hubungan sosial, secara tidak langsung telah terjadi distribusi pengetahuan. Kita mengenal satu dengan yang lainnya, memahami bahwa masyarakat membentuk peranan sosial yang ada sehingga menciptakan norma dan tata tertib sesuai dengan konteks hidupnya masing-masing.
Menjadi orang terdidik artinya menjadi seseorang yang peka terhadap persoalan dan punya kemauan untuk kembali membuka dirinya di tengah-tengah masyarakat. Jadi jika kembali pada pokok persoalan pertanyaan kedua tentang apakah penting “seorang terdidik” membangun daerah dan berkontribusi aktif di masyarakat, maka jawabannya bagi saya adalah iya. Pun setelah dipikir-pikir, ketiga pilihan sebelumnya tetap bermuara pada satu tujuan yaitu berkontribusi kepada lingkungan di sekitarnya, baik secara langsung atau pun tidak langsung.
ADVERTISEMENT
Setelah yakin bahwa ruh pendidikan adalah berkontribusi dalam kehidupan sosial, maka ada hal yang penting lebih untuk dipikirkan ialah bagaimana pendidikan, sebagai bagian konstitutif dari kebudayaan, mampu menciptakan proses yang membiasakan anak didiknya mengenal, mempelajari, menguasai, dan menerapkan nilai-nilai yang diakui berguna bagi dirinya, keluarganya, dan humanisme pada umumnya. Sehingga nantinya pendidikan dapat berperan aktif dalam mempengaruhi hidup dan kehidupan ‘seorang terdidik”, di dalam dan di luar sekolah, dan menciptakan perubahan dalam perilaku individu, baik dalam kebiasaan, karakter, atau sikap intelektualitasnya.
Menjawab pertanyaan itu bolehlah kita bertopang pada pemikiran sosiolog besar Prancis, Émile Durkheim, pasalnya ia adalah sosiolog pertama yang mempertimbangkan fungsi sosial dalam pendidikan. Ia percaya bahwa pendidikan, khusunya pendidikan moral, diperlukan sebab hal tersebutlah yang menciptakan solidaritas sosial yang dapat menyatukan masyarakat. Durkheim melihat pendidikan dalam perspektif seorang fungsionalis. Perspektif ini melihat tugas utama pendidikan adalah mensosialisasikan budaya yang ada di masyarakat, termasuk nilai-nilai moral, etika, pandangan politik, kepercayaan agama, kebiasaan, dan norma kepada para murid.
ADVERTISEMENT
Paradigma pendidikan seperti itu melihat pendidikan bukan sebagai “ilmu pergi”, melainkan sebagai alat bantu untuk menyelesaikan permasalahan yang dekat dengan ruang lingkup keseharian. Artinya pendidikan yang saya maksud di sini bukanlah pendidikan menjauhi lingkungan terdekatnya ketika sudah mempunyai banyak ilmu, malah sebaliknya, ia mendekatkan diri dengan komunitasnya, berdinamika di sana, dan hidup di dalamnya. Pasalnya, pendidikan kita akhir-akhir ini malah menghasilkan individu-individu yang asing dengan lingkungan terdekatnya. Sekolah dan institusi pendidikan lainnya seolah-olah adalah mesin pencuci otak yang mencerabut tiap individu dari komunitas dan ruang lingkup kesehariannya.
Sialnya, ketika kita telah menyadari pentingnya pendidikan untuk berkontribusi kepada masyarakat, kita dihadapkan oleh pertanyaan yang terakhir, tantangan apa yang harus dihadapi oleh seorang terpelajar di masa ini dan di masa yang akan datang untuk berkontribusi di masyarakat dan nilai apa saja yang penting untuk diajarkan guna menjawab persoalan tersebut?
ADVERTISEMENT
Musababnya pentingnya pertanyaan ini ialah cepatnya perubahan konteks sosial yang terjadi di masyarakat. Pesatnya pertumbuhan teknologi, masifnya urbanisasi, rusaknya ekosistem, ancaman adanya pandemik, dan persaingan ekonomi di tingkat global adalah sedikit dari tantangan yang harus dijawab oleh pendidikan kita. Namun, itu baru beberapa gejala yang nampak dari luar, dan belum mencakup tantangan yang harus dihadapi individu di dalam dirinya.
Barangkali klise bahwasanya pendidikan kita hidup di tengah meningkatnya pusaran ketidakpastian, kompleksitas, ambiguitas, banyaknya pilihan, dan tanggung jawab pada tataran individu. Melalui media digital, para murid setiap hari dibombardir dengan model yang seringkali bersifat abu-abu, antara benar-salah atau baik-buruk. Juga semakin jelas bahwa generasi muda kita acapkali keteteran menghadapi kebebasan dan keragaman yang muncul dari ketidakpastian global. Gejala klasik macam stres—pelarian, sikap ceroboh, penyalahgunaan narkoba, kecemasan, depresi, minder—menjadi sedemikian tinggi di seluruh spektrum kehidupan sosial kita.
ADVERTISEMENT
Jika stres mencerminkan kesenjangan yang semakin lebar antara tuntutan hidup seseorang dan sumber daya yang harus tercukupi, jelas banyak dari generasi muda kita merasa kekurangan sumber daya ataupun privilese. Sumber daya itu bersifat psikologis seperti halnya materi atau sosial, merupakan inti dari pertanyaan bagaimana pendidikan dapat menjadi jawaban dari semua tantangan tersebut.
Ada banyak organisasi pendidikan di seluruh dunia yang telah mengimajinasikan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Dalam 10 tahun terakhir, beberapa spesifikasi karakteristik telah disulkan, baik oleh sekolah alternatif, beberapa sistem pendidikan nasional, penelitian psikologi positif tentang metode pembelajaran; dan beberapa oleh organisasi non-profit. Guy Claxton, dalam bukunya What’s the Point of School? (2008) menjelaskan ada delapan nilai vital yang dapat dijadikan acuan agar pendidikan tetap menjadi relevan sehingga nantinya para murid dapat berkontribusi optimal di masyarakat. Kedelapan nilai itu adalah:
ADVERTISEMENT
Nilai yang pertama ialah (1) rasa ingin tahu yang tinggi. Tiap orang yang takjub atas sesuatu memiliki rasa ingin tahu yang besar; mereka bertanya mengapa hal itu bisa terjadi, bagaimana hal itu bekerja, mengapa hal tersebut mungkin dan bukan sebaliknya. Mereka hidup di dunia yang penuh keajaiban, bukan dunia dengan kepastian sebagai harga mati dengan aturan kaku nan kering. Mereka tahu bagaimana mengajukan pertanyaan yang baik, relevan, dan tajam. Pun mereka memiliki skeptisisme yang sehat tentang apa yang menarik minatnya.
Nilai selanjutnya ialah (2) keberanian. Bukan keberanian fisik untuk berkelahi namun lebih kepada kemampuan untuk menghadapi tantangan, bersedia mengambil risiko dan cermat melihat peluang. Artinya tidak harus selalu bermain aman dan tetap berpegang pada hal-hal yang mereka tahu bisa mereka lakukan, ketika gagal mereka bangkit dan mengalahkan rasa frustrasi yang menghantuinya.
ADVERTISEMENT
Kemudian ada nilai (3) eksplorasi sebagai penyeimbang dari rasa ingin tahu. Orang-orang yang ingin tahu menikmati proses menemukan sesuatu, meneliti (apakah itu kehidupan pesepakbola atau fisika partikel). Mereka suka membaca, tetapi juga menikmati sesuatu. Mereka tak memaksakan kehendak, namun membiarkan detail dan pola muncul. Membiarkan dirinya tenggelam dalam buku atau permainan sama baiknya saat mereka menyaring dan mengevaluasi 'bukti'. Mereka tak hanya membaca atau menjelajahi internet tanpa kritik, bahkan biasanya ekplorasi yang mereka lakukan lebih banyak menimbulkan pertanyaan ketimbang rasa puas.
Setelah melakukan eksplorasi, nilai selanjutnya ialah (4) eksperimentasi. Berusaha secara aktif untuk mencoba berbagai hal guna mengetahui apakah mereka berhasil atau gagal. Mereka tidak harus memiliki skema besar, yang perlu mereka lakukan hanyalah mencoba-coba sesuatu di rumah. Menghabiskan banyak waktu bermain dengan bahan-bahan-- cat, kuas, roda gigi, atau grafik komputer—untuk melihat apa yang akan mereka lakukan, mengungkap ‘posibilitas baru’, entah sebuah esai, melodi lagu, atau membuat rumah semut di pekarangan rumah.
ADVERTISEMENT
Lalu ada (5) imajinasi sebagai nilai penting berikutnya. Seorang yang imajinatif tahu kapan dan bagaimana memanfaatkan lamunan, serta bagaimana membiarkan ide datang kepada mereka. Memiliki campuran rasa hormat yang sehat dengan penilaian skeptis pada firasat dan intuisi mereka sendiri. Mereka menggunakan latihan mental untuk mengembangkan keterampilan dan kesiapan mengadapi situasi yang sulit sehingga dapat menemukan tautan ide di dalam pikiran mereka sendiri.
Kreativitas imajinasi perlu ditempa dengan (6) disiplin; untuk dapat berpikir hati-hati, rigid dan metodis, serta untuk mengambil lompatan imajinatif berikutnya. Seorang terpelajar yang disiplin dapat membuat rencana, struktur, dan organisasi yang mendukung proses kreatif yang biasanya melelahkan hingga dapat mencapai hasil yang optimal.
Nilai berikutnya ialah (7) kemampuan menyeimbangkan sifat supel (sociability) dengan sikap menyendiri (solitariness). Pembelajar yang efektif tahu siapa yang harus diajak bicara (dan siapa yang tidak), dan kapan harus berbicara (dan kapan harus diam). Mereka tahu cara mendengarkan, bergiliran memberikan pendapat, dan tahu waktu yang tepat untuk berkontribusi. Mereka memiliki kemampuan untuk memberikan pandangan mereka dan mempertahankan pendapat mereka sendiri dalam debat, dan pada saat yang sama tetap berpikiran terbuka dan menghormati pandangan orang lain.
ADVERTISEMENT
Terakhir, adalah (8) mindfulness, dalam artian mampu untuk merefleksikan dan mempertimbangkan strategi alternatif. Tidak lumpuhkan oleh ego tetapi mampu untuk bersikap mawas diri. Mereka mampu mengambil langkah mundur dan mempertanyakan prioritas dan asumsi mereka sendiri. Mindfulness berarti memberi diri waktu untuk melangkah lebih dalam, melihat kesimpulan apa yang mungkin, dan biarkan gambaran yang lebih besar muncul.
Tentu saja tiga pertanyaan saya di awal dan delapan nilai yang diusulkan Guy Claxton di atas hanyalah sebuah provokasi dan sebuah ajakan untuk bersama-sama memikirkan startegi pendidikan di masa depan. Sebagai seorang yang masih terus belajar, saya menyadari bahwa banyak hal perlu diajukan kepada orang-orang terdidik dalam menyikapi pokok persoalan dalam dunia pendidikan. Pertanyaan yang nantinya dapat mengarahkan kita untuk lebih percaya diri dalam menghadapi ketidakpastian dan mampu mengartikulasikan sifat-sifat ketidakpastian secara konkret. Artinya kita ikut andil dalam mempersiapkan diri kita dan generasi muda setelah kita agar kelak lebih siap menghadapi ujian di kelas maupun ujian kehidupan yang sesungguhnya. Ketika kita sudah mulai memikirkan hal tersebut, maka segala ketakutan untuk gagal akan sirna, dan kita akan terus mencoba seperti halnya yang Samuel Beckett pernah katakan, “Try again. Fail again. Fail better.”
ADVERTISEMENT