Konten dari Pengguna

Kehidupan Sosial Masyarakat di Pedesaan Jawa Tahun 1960-an

Mohamad Kamil Firdaus
Alumnus Ilmu Sejarah, Universitas Negeri Semarang
26 Juli 2022 12:35 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Mohamad Kamil Firdaus tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Persawahan di Semarang (koleksi Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Persawahan di Semarang (koleksi Pribadi)
ADVERTISEMENT
Desa seringkali dilukiskan sebagai suatu yang di dalamnya terdapat pemandangan indah, dan orang-orang desa dinilai sebagai manusia ramai terhadap para pendatang. Namun, apakah hal sebatas itu saja? Tentu saja tidak, karena banyak hal yang terjadi di desa.
ADVERTISEMENT
Menurut Sartono Kartodirjo, sejarawan Indonesia dalam tulisannya yang berjudul "Ratu Adil", diterbitkan oleh Sinar Harapan, pada tahun 1984.
Dalam tulisannya tersebut, Sartono menjelaskan suatu analisis tentang struktur masyarakat desa di Jawa, terutama pada tahun 1960-an. Satuan dasar politik masyarakat desa di Jawa adalah desa (dukuh), terdiri dari pemukiman dan perkebunan yang ada di sekitarnya.
Kehidupan sosial dan ekonomi di pedesaan Jawa berpusat di sekitar batih (keluarga inti), sistem kekerabatan di antara dua pihak menjadi acuan yang digunakan, dan mempunyai peran penting sistem tersebut. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku bagi masyarakat kecil, yang mana hubungan antar sesamanya terbatas. Bahkan, cenderung tertutup dan seringkali terpencil.
Sartono Kartodirdjo menilai bahwa seperangkat kewajiban diformalkan secara konsentrasi dibebankan kepada petani dan kerabatnya, tetangga-tetangganya dan rekan-rekan sedesanya. Lebih lanjut, kewajiban yang diambil dari suatu keseluruhan, membina sistem timbak-balik yang kukuh dan berakar, yang disebut sebagai tulung-tinulung atau sambat-sinambat.
ADVERTISEMENT
Ikatan-ikatan ini kemudian menjadi nilai moral utama yang dimiliki desa di Jawa, terutama nilai-nilai gotong-royong, pada-pada (sama rata) dan tepa-slira (mawas diri). Hal ini kemudian menjadikan sistem nilai dasar kehidupan masyarakat desa.
Sementara itu, dalam masyarakat agraria, tanah milik merupakan penentu status sosial masyarakat di desa. Hirarki status di desa itu sendiri terbagi menjadi beberapa kelas yang meliputi: petani pemilik (kuli kenceng), penyewa tanah (kuli karang kopek atau kuli ngindung) dan buruh tani (kuli ngindung ilosor, manumpang atau bujang). Selain itu, stratifikasi sosial juga didasari pada lamanya seseorang bermukim di desa dengan status tertinggi diberikan kepada keturunan-keturunan pembangun desa.
Oleh sebab itu, desa tidak hanya dipandang sebagai tempat diberkahi dengan keindahan alam saja, lebih dari itu terdapat banyak hal penting yang perlu dipahami, terutama orang-orang desa selaku penghuni desa, mereka terbagai dalam kelas tertentu yang akan mempengaruhi. Meskipun demikian, masyarakat pedesaan di Jawa mempunyai kebiasaan luhur dan unik sebagai identitas dari desa itu sendiri, serta nilai-nilainya dijadikan sebagai pedoman masyarakat dalam menjalankan hidup sehari-hari.
ADVERTISEMENT