Konten dari Pengguna

Naskah Hukum Kanun Malaka sebagai Peraturan Masa Kerajaan

KAMILAH
Mahasiswa semester 7, jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
24 Oktober 2022 17:26 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari KAMILAH tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Alih aksara naskah Hukum Kanun Malaka, sumber : koleksi Perpusnas
zoom-in-whitePerbesar
Alih aksara naskah Hukum Kanun Malaka, sumber : koleksi Perpusnas
ADVERTISEMENT
Salah satu peninggalan sejarah adalah tulisan. Melalui tulisan sejarah bisa menjadi abadi. Naskah Hukum Kanun Malaka salah satu naskah yang bentuk fisik aslinya berada di luar negeri. Alih aksara dilakukan untuk menjaga keaslian sejarah. Naskah Hukum Kanun Malaka yang dialih aksarakan merupakan koleksi Zu Berlin Jerman. Naskah Hukum Kanun Malaka merupakan naskah yang tertulis dalam bahasa Melayu. Jumlah naskah Melayu yang tersebar di seluruh dunia sampai sekarang tidak diketahui secara jelas jumlah pastinya. Naskah-naskah tersebut tersebar hingga hampir di seluruh dunia karena perdagangan, upeti, hadiah dan koleksi orang asing yang pernah bertugas di Indonesia. Salah satu negara sekutu Belanda pada saat menjajah Indonesia adalah Jerman.
ADVERTISEMENT
Naskah ini berisi pedoman hukum dalam mengatur pemerintahan pada masanya. Seperti Undang-Undang, naskah Hukum Kanun Malaka memiliki pasal-pasal dalam kategorinya masing-masing. Terdapat 43 pasal dalam naskah Hukum Kanun Malaka dengan jumlah halaman 147. Pasal pertama memuat peraturan untuk pembatas antara raja dan rakyat. Peraturan itu dibuat untuk rakyat tidak berhak memakai baju yang sama dengan raja, kecuali dengan persetujuan raja. Bahan untuk membuat baju raja dikhususkan dari kuningan atau emas. Beberapa benda seperti keris emas dan tembaga juga tidak boleh sembarang digunakan. Jika ada yang membuat keris dan memakainya maka hukumnya jika ketahuan adalah dirampas.
Pasal kedua membahas tentang hukum menggunakan kata-kata. Seluruh masyarakat tidak diperbolehkan mengucapkan lima kata. Hanya raja yang berhak mengucapkan lima kata tersebut. Masyarakat dianggap tidak pantas mengucapkan lima kata tersebut, yaitu : (1) Titah (2) Berpatik (3) Murka (4) Karunia (5) Anugrah. Pasal ketiga segala orang yang meninggal dan pihak keluarga tidak boleh menghamburkan uang untuk adat “berpayung” tanpa seizin raja. Berpayung adalah pemakaman orang meninggal menggunakan adat, seperti tahlil dalam kegiatan masa ini. Raja melarang masyarakat melakukan berpayung karena dianggap menghamburkan uang. Jika masyarakat ketahuan menghamburkan uang dengan “berpayung” tanpa seizin raja maka hukumnya harta tersebut di rampas.
ADVERTISEMENT
Pasal empat dan lima berisikan hukum membunuh manusia. Masyarakat dilarang saling membunuh tanpa sepengetahuan dan izin raja. Jika ada manusia yang membunuh tanpa izin raja maka akan ditangkap. Saat penangkapan dan ia melawan maka hukumnya seluruh masyarakat dusun tempat tinggalnya harus dibunuh. Pelaku pembunuhan tanpa seizin raja dihukum dengan raga adat atau istilah sekarang di penggal. Pasal enam berisi peraturan upeti, barangsiapa yang mengamuk dia akan dibunuh sesuai persetujuan raja. Jika menteri yang menarik upeti membunuh masyarakat yang mengamuk tanpa seizin raja, maka pasal empat dan lima diberlakukan untuknya. Pasal tujuh berisi hukum membunuh hamba atau bawahan raja tanpa sepengetahuannya. Hukuman dikategorikan berdasarkan jabatan. Jika orang berpangkat yang membunuh hamba atau bawahan raja maka hukuman semakin ringan.
ADVERTISEMENT
Pasal delapan mengatur tentang hukum untuk orang miskin yang melakukan kekerasan. Pasal sembilan berisikan tentang empat martabat yang boleh membunuh setelah kedudukan raja. Empat martabat itu merupakan bendahara kerajaan, tumenggung, syahbandar dan nahkoda kerajaan. Pasal sepuluh berisi peraturan membawa biduan atau janda berlayar tanpa ikatan pernikahan. Pasal sebelas hingga pasal empat puluh tiga sudah mulai membahas tentang peraturan yang berkaitan antara masyarakat. Raja sudah tidak terlibat dalam pasal ini. Persetujuan raja juga sudah mulai jarang ditemukan dalam hukuman untuk orang yang melanggar pasal. Kebanyakan pasal terakhir membahas hubungan pernikahan dan pembagian harta dalam keluarga. Ada juga beberapa pasal yang membahas hutang dan perniagaan. Dari pasal sebelas hingga pasal empat puluh tiga kita bisa melihat kehidupan masyarakat pada masa kerajaan.
ADVERTISEMENT
Adanya pasal hutang piutang membuktikan kondisi perekonomian pada masa dulu. Kajian tentang naskah seperti melihat sejarah dalam bentuk tulisan. Kajian tentang naskah juga penting dilakukan untuk observasi. Kita bisa mengambil nilai penting dan belajar dari kesalahan orang di masa lalu. Kesulitan kajian naskah biasanya dialami pada bagian alih aksara. Namun rasa ingin tahu dan ketertarikan akan sejarah lebih besar dari kesulitan yang dialami.