Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten dari Pengguna
Dampak Beauty Standards di Media Sosial terhadap Gangguan Kesehatan Mental
27 Januari 2024 15:18 WIB
Tulisan dari Kamilah Sadiyah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kehadiran media sosial telah menciptakan ruang baru bagi manusia untuk berinteraksi tanpa batas apapun (Pratama & Sari, 2020). Pasalnya, manusia tak lagi butuh untuk bertemu jika hanya ingin untuk sekadar berbincang dan saling sapa satu sama lain. Kini, peranan media sosial dalam kehidupan manusia sedikit demi sedikit bergeser menjadi kebutuhan yang tak lagi bisa untuk digantikan. Penggunaan media sosial tidak luput dari aktivitas sehari- hari. Banyaknya platform yang tersedia untuk membantu segala lini kehidupan menjadi salah satu alasan penggunaan media sosial. Mulai dari platform untuk berbagi pesan, foto, video bahkan berbagi lokasi sekalipun. Intensitas penggunaan yang semakin tak terbendung menjadikan media sosial sebagai penentu arah atau pedoman bagi manusia untuk menjalankan kehidupan.
ADVERTISEMENT
Beragam kemudahan yang ditawarkan media sosial seiring dengan dampak yang diciptakan. Penciptaan pedoman atau penentu arah yang fana dalam kehidupan nampak nyata terdapat dalam media sosial. Salah satu hal yang terimbas dalam hal ini adalah standar kecantikan, khususnya bagi para wanita. Maraknya penggunaan media sosial untuk membagikan potret yang disulap dengan berbagai filter dan diedit sedemikian rupa tak jarang mampu menghadirkan batasan tertentu untuk menjadi wanita yang cantik.
Penentuan standar kecantikan yang diciptakan secara sengaja maupun tidak ini mampu melahirkan stigmatisasi dalam kehidupan. Secara tidak langsung, hal jni menyebabkan bertambahnya insekuritas dan kecemasan berlebih bagi mereka yang merasa proporsi tubuhnya atau kulit wajahnya jauh dari kata sempurna yang digaungkan oleh banyak orang di media sosial. Citra diri yang ditampilkan dalam media sosial seolah menjadi hakim dalam penentuan titik kecantikan seseorang. Parahnya, jika standar kecantikan ini tak lagi bisa dihapuskan, besar kemungkinan berbagai gangguan kesehatan mental serius akan semakin tak lagi bisa dihindarkan. Gangguan mental yang erat kaitannya dengan hal ini yaitu gangguan dismorfik tubuh. Gangguan yang sederhananya sejalan dengan kurang puasnya seseorang akan bentuk fisik yang dimiliki dan selalu berusaha untuk memiliki tubuh sesempurna mungkin.
ADVERTISEMENT
Dewasa ini, media sosial bukan lagi dijadikan alternatif untuk sekadar mencari hiburan melainkan menjadi wadah yang memiliki peranan penting dalam kehidupan. Media sosial memiliki andil besar dalam penentuan jalan hidup manusia. Segala hal kini dapat kita temui dalam media sosial. Beragam layanan yang tersedia di dalam media sosial mempermudah setiap manusia untuk saling berbagi dan menerima informasi akan suatu hal. Peranan media sosial dalam membagikan kegiatan sehari- hari bukan sekadar menjadi opsi, melainkan tuntutan untuk menyebarkan tentang apa saja yang sedang dilakukan di dunia nyata.
Media sosial diyakini mampu menjadi acuan untuk pembentukan citra diri seseorang (Putro, 2017) Citra diri yang dimiliki seseorang dibentuk dengan cara membagikan potret diri dalam berbagai platform media sosial. Sayangnya, citra diri yang dibentuk tak selamanya sesuai dengan keaadan yang ada. Beragam potret berupa konten di media sosial yang dibagikan diolah sedemikian rupa dengan tujuan penyempurnaan pandangan atas diri seseorang. Memang tak dapat dipungkiri, hakikatnya setiap manusia selalu merasa kurang puas atas apa yang dimiliki. Hal ini juga terjadi dalam hal kecantikan, secara garis besar, sebagian dari kaum wanita masih banyak yang terus membanding- bandingkan dirinya dengan orang lain. Fenomena ini semakin diperparah dengan banyaknya konten media sosial yang memperlihatkan foto diri wanita cantik dengan stereotip wanita putih, mulus, langsing, dan tak memiliki keburukan sedikitpun.
ADVERTISEMENT
Stereotip terkait standar kecantikan kaum wanita kini banyak mendapat campur tangan dari para pengguna media sosial yang selanjutnya disebut sebagai netizen. Cantik selalu dikaitkan dengan tubuh langsing, tinggi semampai, rambut panjang, kulit putih, mata belo, dan hidung mancung (Aprilita & Listyani, 2016). Meski pada hakikatnya kecantikan erat kaitannya dengan relativitas. Setiap manusia memiliki hak untuk menentukan arti cantik dan merepresentasikannya. Naas, representasi standar kecantikan yang dihadirkan dalam dunia maya melalui media sosial seringkali menguatkan stereotip cantik yang tak seharusnya diaminkan. Dewasa ini, beragam spekulasi mencuat dan mempertanyakan eksistensi cantik yang digaungkan oleh sebagian besar masyarakat. Meski tidak sedikit pula yang mewajarkan dan mendambakan standarisasi kecantikan khusunya bagi wanita yang tertera di media sosial.
ADVERTISEMENT
Konten di media sosial erat kaitannya dengan sekelompok orang yang sering disebut sebagai netizen. Kini, para pengguna media sosial saling berlomba untuk menunjukkan eksistensi diri dengan cara membagikan potret diri dan berharap mendapat pujian orang lain. (Sari, 2021). Dalam hal inilah, netizen seringkali mengomentari potret diri orang lain bahkan kehidupan orang yang tidak dikenal sekalipun. Hal ini juga sejalan dengan peran netizen dalam pembentukan standar kecantikan. Mereka yang memperoleh julukan cantik cenderung mendapat impresi yang tinggi dari para pengguna media sosial lainnya. Hal ini semakin menekan bahwa wanita cantik identik dengan mereka yang parasnya menawan dan mendapat perhatian dari para netizen. Pada akhirnya, tak jarang banyak wanita yang berkompetisi atau berlomba- lomba mendapatkan komentar cantik dengan melakukan perawatan diri yang berlebihan dan tak jarang membahayakan nyawanya.
ADVERTISEMENT
Lahirnya konsep kecantikan di media sosial semakin membuat manusia khususnya para wanita semakin tertekan. Meski banyak yang mengatakan kini kaum wanita telah terbebas dari belenggu dan tuntutan untuk sekadar beraktivitas di dapur dan mengurus anak, tetapi nyatanya belenggu standar kecantikan lebih susah tuk dihindari. Konsep kecantikan yang ada seringkali membuat wanita kian mengabaikan kualitas diri dan berorientasi untuk menjadi figur yang sempurna tanpa kecacatan pori- pori di wajah sekalipun. Hal ini secara tidak langsung memperkuat ancaman diskriminasi bagi kaum wanita yang jauh dari kata putih, glowing, dan langsing. Ironis, ancaman diskriminasi yang mampu menyebabkan lahirnya kasus rasisme hanya disebabkan masalah sesepele tidak memenuhi standar kecantikan. Sedikit demi sedikit, aktualisasi diri seorang wanita semakin terkekang dengan adanya standar kecantikan yang tak seharusnya dijadikan acuan untuk menjadi wanita yang cantik.
ADVERTISEMENT
Jika dibiarkan, standar kecantikan yang ada di media sosial mampu melahirkan kasus- kasus baru cyberbullying victimization dalam masyarakat (Ningrum & Amna, 2020). Pasalnya, mereka yang jauh dari standar cantik tidak lagi diindahkan, disalahkan, bahkan di cap sebagai wanita yang buruk. Meski pada awalnya komentar dan ucapan pengguna media sosial lainnya hanya dalam konteks bercandaan, tetapi tidak menutup kemungkinan, seseorang yang dihujat mengalami kecemasan berlebih dan terus merasa insecure atas tubuh dan fisik yang dimiliki (Rachmatan & Rayyan, 2018). Tak jarang, wanita yang dianggap tidak cantik, menghalalkan segala cara untuk memenuhi kriteria standar kecantikan di media sosial. Mulai dari penggunaan krim pemutig illegal bahkan suntik putih sekalipun. Kondisi ini semakin diperparah dengan adanya hujatan berupa body shaming dan hate speech (W, MBP, dan Saputra, 2020, p.189). Tidak menutup kemungkinan, korban tsb terpaksa mengucilkan diri atau bahkan mengambil keputusan untuk menghabisi nyawanya jika terus dihujani komentar negatif dari para netizen.
ADVERTISEMENT
Standar kecantikan seseorang yang diciptakan dalam dunia maya melalui media sosial ini jika diteruskan akan menyebabkan berbagai permasalahan. Seperti yang sudah disinggung secara implisit dalam paragraf sebelum- sebelumnya, permasalahan yang erat kaitannya dengan fenomena ini adalah berbagai kesehatan mental. Gangguan kesehatan mental tersebut mulai dari tingkat keparahan ringan hingga berat. Gangguan kesehatan mental ringan yang disebabkan pun cukup beragam, mulai dari kecemasan akibat kurang puasnya akan kondisi fisik hingga depresi akibat buruknya kesan dan impresi netizen akan kondisi tubuh yang dimiliki. Framing kepanikan moral yang didasarkan media sosial mampu menjadikan setiap manusia memiliki ketakutan dan kecemasan akibat interaksi online yang dilakukannya (Sudrajat, 2020). Kecaman bagi wanita yang jauh dari kata cantik semakin memperparah kondisi kesehatan mental manusia khususnya wanita. Belum lagi, gangguan kesehatan mental berat yang bisa saja terjadi akibat maraknya standar kecantikan di media sosial adalah gangguan dismorfik tubuh atau yang lebih dikenal dengan sebutan Body Dysmorphic Disorder (BDD). Penderita gangguan dismorfik tubuh akan mengalami depresi akut dan selalu berkaca serta tidak pernah percaya diri atas kondisi fisiknya. (W, MBP, dan Saputra, 2020, p.193). Penderita gangguan kesehatan mental ini selalu berkaca pada cermin dan berambisi untuk selalu mengubah kondisi tubuhnya untuk memenuhi kriteria standar kecantikan demi kepuasan diri dan representasi cantik dalam dunia nyata maupun dunia maya.
ADVERTISEMENT
Kehadiran media sosial dalam kehidupan, sejatinya mampu untuk memudahkan komunikasi antar manusia. Interaksi secara langsung yang pada mulanya menjadi jalan utama untuk membangun hubungan kini mampu dialihkan oleh media sosial. Sayangnya, beragam kemudahan yang tersedia dalam dunia maya menjadikan media sosial satu- satunya acuan dan pedoman untuk penentuan arah hidup. Media sosial diyakini mampu menjadi acuan untuk pembentukan citra diri seseorang.
Citra diri seseorang erat kaitannya dengan representasi manusia dalam dunia maya. Hal ini secara tidak langsung menguatkan lahirnya konsep dan standarisasi kecantikan khususnya bagi kaum wanita. Konsep cantik yang diidentikan dengan body positive melahirkan berbagai spekulasi di masyarakat. Tak jarang, hal ini mengakibatkan dampak buruk bagi para pengguna media sosial. Mereka yang tidak memenuhi kriteria cantik, menganggap dirinya buruk, di cap buruk, dan terus berambisi untuk mengubah bentuk tubuhnya agar diindahkan oleh pengguna media sosial lainnya.
ADVERTISEMENT