Konten Media Partner

Asal Usul Perayaan Siwaratri, Hari Perenungan Dosa oleh Umat Hindu

23 Januari 2020 20:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Poster kegiatan mahasiswa terkait Siwaratri - IST
zoom-in-whitePerbesar
Poster kegiatan mahasiswa terkait Siwaratri - IST
ADVERTISEMENT
Hari ini, Kamis (23/1) merupakan perayaan Hari Siwaratri bagi penganut Hindu di Nusantara. Siwaratri selalu jatuh pada momentum malam pada tilem (bulan mati-red) ke-7 dalam kalender Saka (kalender Hindu-red).
ADVERTISEMENT
Malam Siwaratri, diyakini menjadi momentum suci. Bahkan diyakini sebagai malam perenungan dosa. Akademisi sekaligus penggiat seni tradisional Bali, Dewa Ketut Waisnawa, mengatakan Siwaratri merupakan momentum perenungan dan refleksi atas segala tindak-tanduk yang selama ini dilakukan. "Pada malam pemujaan Siwa ini kita memohon diberi tuntunan agar menjadi pribadi yang lebih baik," ujarnya ketika diwawancarai pada Kamis, (23/01).
Di Bali, Siwaratri juga merupakan pemujaan kepada Dewa Siwa dalam hal ini dilakukan dengan beberapa bentuk pengendalian seperti Jagra (begadang), Upawasa (pengendalian diri), dan Mona (mengendalikan perkataan/tidak bicara). Hal ini tak lepas dari adanya sastra kuno Siwaratrikalpa yang diciptakan oleh Mpu Tanakung, seorang satrawan kuno yang diperkirakan hidup pada era Singosari.
Dia yang merupakan seorang praktisi seni mengatakan, siwaratri tak bisa dilepaskan dari berbagai bentuk seni. Dalam Siwaratrikalpa ia mengatakan bahwa sastra yang juga menjadi dasar ajaran harus suci ini memang satu kesatuan penting dalam pelaksanaanya. "Generasi muda harusnya mulai memahami ini adalah warisan ajaran yang penting dan harus terus berlanjut ke generasi mendatang," ujarnya dalam sastra kuno tersebut.
ADVERTISEMENT
Dalam Siwaratrikalpa, dikisahkan seorang pemburu bernama Lubdaka. Suatu hari ia terpaksa bermalam di hutan karena sudah larut malam. Tanpa ia sadari kakinya melangkah ke sebuah pohon Bila. Untuk menghindari serangan binatang hutan, Lubdaka memilih berdiam diri di atas pohon.
Untuk melawan rasa kantuknya agar tak jatuh dari pohon, Lubdaka pun memetik daun Pohon Bila setangkai demi setangkai dan membiarkannya terjatuh ke bawah. Ia tak menyadari saat itu merupakan malam Siwaratri dan daun tersebut pun jatuh tepat di mengenai lingga Siwa (sebuah arca) yang berada di bawahnya.
Sembari terus memetik daun agar tetap terjaga, pada saat itu Lubdaka sadar dan menyesali semua dosa-dosanya. Dalam hati ia berjanji akan berhenti menjadi seorang pemburu.
ADVERTISEMENT
Usai kejadian yang menimpanya malam itu, Lubdaka pun berhenti menjadi pemburu dan mengganti pekerjaannya. Ia memilih menjadi petani. Kepada keluarganya, ia berseru agar mereka bertobat dan berhenti melakukan dosa.
Diceritakan setelah meninggal, arwah Lubdaka disambut oleh para cikrabala, pasukan Dewa Yama yaitu dewa kematian. Ia disiksa dan untuk dimasukkan ke neraka atas dosa-dosanya.
Pada saat itulah Dewa Siwa datang untuk membebaskan Lubdaka, terjadi dialog yang sengit antara pasukan Cikrabala dengan Dewa Siwa. Pasukan Cikrabala berkewajiban membawa Lubdaka ke neraka karena harus bertanggung jawab akan perbuatan dosanya.
Dewa Siwa menjelaskan Lubdaka sudah membuat penebusan dosa dengan begadang semalam suntuk, seraya menyesali dosa-dosanya dan bertobat tidak melakukan perbuatan dosa lagi. Sehingga Dewa Siwa merasa Lubdaka berhak mendapatkan pengampunan. Dan oleh Dewa Siwa, Lubdaka pun dibawa ke Siwa Loka (surga) dan tidak jadi masuk neraka.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya ada beberapa sastra kuno lainnya di Bali yang memuat mengenai asal usul perayaan Siwaratri. Hanya saja Siwaratrikalpa ini yang secara lengkap menjelaskannya. Dan kisah Lubdaka ini jugalah yang diyakini sebagai salah satu dasar perayaan siwaratri
(kanalbali/KR14)
Ilustrasi Sembahyang Foto: Shutter Stock