Konten Media Partner

Berpayung UU Kebudayaan, Bali Bakal Pungut US 10 Dolar per-Turis

4 Desember 2018 16:33 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:04 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Berpayung  UU Kebudayaan, Bali Bakal Pungut US 10 Dolar per-Turis
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Gubernur Koster (berdiri) saat membuka Kongres Kebudayaan Bali III di Denpasar, Selasa (4/12) - kanalbali/Dok-Humas
ADVERTISEMENT
DENPASAR, kanalbali.com -- Untuk dapat melakukan pelestarian dan pengembangan kebudayaan yang menjadi pilar utama industri pariwisata, Pemerintah Provinsi Bali berniat untuk menerapkan pungutan US 10 Dolar untuk setiap turis asing yang datang ke pulau ini.
UU Kemajuan Kebudayaan akan dijabarkan menjadi Perda Perlindungan yang akan menjadi payung hukum dari pungutan itu. "Memang dalam UU dimungkinkan untuk melakukan hal itu," kata Gubernur Bali Wayan Koster, Selasa, 4/12, usai mengikuti Kongres Kebudayaan Bali di Denpasar.
Dia menyebut, memajukan Kebudayaan Bali menjadi bagian dimensi pertama Visi-Misi Pembangunan Bali 2018-2023. Termasuk kemudian menjadikan Kebudayaan Bali sebagai basis dan pilar utama pembangunan perekonomian masyarakat Bali.
ADVERTISEMENT
Menurutnya kekayaan utama Bali adalah kebudayaan yang tidak ada habisnya, jadi itu harus terus digali dan dilestarikan.
“Bali tidak seperti wilayah lain yang mempunyai kekayaan alam yang akan habis jika digali terus. Bali punya kebudayaan yang semakin digali akan terus berkembang, jadi saya ingin melindunginya dengan membuat payung hukum,” jelasnya.
Sementara ke depan dia juga berharap arah pembangunan Bali bisa berlandaskan kebudayaan dan kearifan lokal setempat. “Saya ingin kebudayaan menjadi komoditi utama perekonomian Bali sehingga ke depan kita tidak akan bergantung sepenuhnya dengan sektor pariwisata, karena kita bisa mengandalkan sektor budaya lainnya seperti pertanian,” tandasnya.
Menanggapi hal itu, Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid yang hadir sebagai pembicara menyebut, adanya pungutan memang dimungkinkan dalam UU. Namun lebih baik, kata dia, melakukan perubahan pada yang sudah ada daripada menimbulkan masalah baru.
ADVERTISEMENT
Dia mencontohkan, perubahan pada UU tentang Coorporate Social Responsibility (CSR) yang selama ini ditekankan hanya sebagai kompensasi dari dampak lingkungan dan sosial. "Nah, kenapa sebagian tidak diarahkan pada dampak kebudayaan," ujarnya. (kanalbali/RFH)