Ditolak Keberadaannya di Bali, Ini Klarifikasi Pengikut Hare Khrisna

Konten Media Partner
4 Agustus 2020 8:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Berbagai spanduk yang meminta pembubaran Hare Khrisna di Bali - WIB
zoom-in-whitePerbesar
Berbagai spanduk yang meminta pembubaran Hare Khrisna di Bali - WIB
ADVERTISEMENT
Polemik mengenai keberadaan aliran Hare Khrisna berujung pada aksi unjuk rasa untuk meminta pelarangan ajaran ini di Bali. Menanggapi hal itu, International Society for Krishna Conciousnes atau Masyarakat Kesadaran Krishna (ISKCON) sebagai organisasi yang menaungi memberikan penjelasan.
ADVERTISEMENT
Klarifikasi itu ditulis bedasarkan arahan dan bimbingan dari Tim Komunikasi, Mediasi, Advokasi PHDI Provinsi Bali, dan ditanda tangani oleh I Wayan Subagio dan I Md Gd Yagustana sebagai Ketua Dan Sekertaris.
"Sebagai organisasi yang diayomi olah PHDI, ISKCON dengan senang hati mengikuti arahan dan bimbingan PHDI serta bersama-sama PHDI dan komponen Hindu lainnya dalam membina warga Hindu termasuk pengikut Hare Krishna," tulis mereka. Pihaknya akan menerima segala keputusan nantinya yang dikeluarkan oleh PHDI pusat atas polemik ini.
Dijelaskan pada klarifikasi itu, pendiri ISKCON, Srila Prabhupada yang mengatakan bahwa ISKCON bukanlah Hindu, dilakukan lantaran untuk menghindari kesalahpahamaan ajaran yang ia berikan hanya khusus untuk orang dari satu agama atau dari india.
ADVERTISEMENT
Pernyataan itu disampaikan oleh Srila Prabhupada pada tahun 60-70an dalam misi pengajaran Weda di dunia Barat yang menolak berbagai tatanan sosial termasuk ajaran agama, termasuk Hindu.
Prabhupada memaknai “Hindu” dalam konteks nama yang berasal dari sebutan untuk penduduk di sekitar sungai Sindhu untuk menyebut orang yang berasal dari India (Hindustan), atau agama yang berasal dari India.
Ia menggunakan kata “Vedic” atau “Sanatana-Dharma” untuk menyebut para pengikut Weda, sebagaimana juga digunakan oleh para guru besar spiritual Hindu dalam berbagai garis perguruan.
Terkait amar putusan Jaksa Agung Republik Indonesia tahun 1984 (No. KEP-107/J.A/5/1984) tentang “Larangan Peredaran Barang-barang Cetakan yang
Ajaran Hare Khrisna dinilai teidak sejalan dengan agama Hindu di Bali yang sudah menyatu dengan adat dan istiadat Bali - WIB
Memuat Ajaran Kepercayaan Hare Krsna di Seluruh Indonesia.” dianggap tidak memenuhi asas pengayoman, asas kemanusiaan, asas kebangsaan, asas kekeluargaan, asas kesetaraan dan asas Bhineka tunggal Ika yang termuat dalam UUD 1945 setelah diamandemen I,II,III, dan IV.
ADVERTISEMENT
Pun, pengurus perkumpulan ISKCON dalam klarifikasi itu menyatakan permintaan maaf atas keresahan ditimbulkan oleh kegiatan-kegiatan yang telah digelar. Tentang tudingan mengganggu Adat Istiadat Bali, mereka menyatakan, “Pengikut Hare Krishna (ISKCON) di Bali pada dasarnya tetap mengikuti adat istiadat.
Antara lain, menjadi krama desa adat, bersembahyang ke pura, mebanten, melakukan pemujaan di sanggah, merayakan hari suci, dan lain-lain". " Kalaupun ada beberapa anggota ISKCON yang demikian, hal tersebut bersifat kasuistik, sepenuhnya merupakan keputusan yang bersifat pribadi dan bukan kebijakan organisasi".
Tentang polemik buku pelajaran dan soal ulangan agama Hindu yang dituduhkan kepada ISKCON, setelah dilakukan investigasi, mereka menyatakan bahwa buku tersebut ditulis atas keputusan pribadi tanpa arahan dari ISKON."Penulis buku tersebut pun tidak kami kenal dan bukan merupakan pengikut Hare Krishna," tegasnya. ( kanalbali/WIB )
ADVERTISEMENT