Film Long Sa'an: Kisah Suku Dayak dan Kampung yang Ditinggalkan

Konten Media Partner
25 Januari 2020 10:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Setelah sukses dengan music selebration pada Jumat (24/1) Antida Sound Garden menggelar 'Movie Screning By Erick est'. Film yang diputar adalah 'Long Sa'an' berdurasi 25 menit yang mengambil budaya Dayak sebagai latar belakang ceritanya.
ADVERTISEMENT
Mengangkat kisah satu desa di pedalaman Kalimantan, bernama Long Sa'an, yang telah ditinggalkan oleh penduduknya sejak tahun 1968. Kini, desa yang terletak di atas gunung dan jauh dari sungai ini sudah tidak lagi berpenghuni.
Film ini merekam perjalanan sekelompok warga suku Dayak yang sekarang tinggal di desa baru bernama Setulang. Mereka kembali ke rumah masa kecil mereka. Perjalanan ini juga mengantar mereka kembali ke situs pemakaman kuno, tempat nenek moyang dan orang tua mereka dikuburkan. Sebuah situs pemakaman yang berada di dinding-dinding tebing tinggi berbentuk seperti perahu, tempat diletakan jenazah orang-orang yang sudah meninggal.
Erick Est (kiri) bersama Gede Robi - KR14
Ekspedisi ini menunjukkan, bukan untuk pertama kalinya, betapa pentingnya tanah kelahiran bagi orang Dayak. Hubungan spiritual mereka dengan hutan, sungai, dan binatang–mungkin sulit bagi kita untuk memahami, apalagi dengan perkembangan hidup zaman sekarang yang begitu modern dan kapitalis.
ADVERTISEMENT
Lewat perjalanan yang tertuang dalam film itu digambarkan pula bagaimana keadaan lingkungan serta hutan di Kalimantan yang sudah mulai rusak akibat kebakaran yang kerap terjadi di sana. Kebakaran dengan maksud disengaja untuk perkebunan sawit ataupun tambang kini menjadi ancaman bagi hutan Kalimantan.
Bersama Gede Robi (Navicula) yang menjadi partnernya, Erik ingin menyampaikan bahwa kebudayaan hutan yang masih ada seperti pada masyarakat Dayak itu seharusnya dilestarikan. "Dan bagaimana melestarikannya adalah dengan menjaga hutan itu sendiri," ungkapnya.
"Kebudayaan Dayak terbentuk dari kehidupan di lingkungan tempat mereka tinggal. Untuk melestarikan kebudayaan tersebut adalah bagaimana upaya kita melestarikan hutan," tambah Robi.
Perjalanan dengan perahu menyusuri sungai Kayan - KR14
Menurutnya, seharusnya masyarakat adat yang menjaga kawasanya sendiri, bukan malah pemerintah membiarkan perusahaan-perusahaan penggerus hutan tumbuh di sana. "Sama seperti pelajaran yang ia dapatkan setelah melihat kebudayaan dari suku Dayak di Kalimantan, yakni bagaimana suatu budaya di suatu daerah tidak lepas dari pengaruh alam sekitar, menjadi satukesatuan yanh saling terhubung," ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Menariknya, film ini menggabungkan teknik film dokumenter, fiksi dan memanfaatkan dokumentasi masa lalu. Penikmat film diajak berimajinasi untuk melihat kenyataan hari ini serta gambaran-gambaran di masa silam. Musik dan nyanyian Robi bersama Navicula membuat film ini makin 'bernyawa'.
Selain pemutaran film, turut juga penampilan musik dari beberapa musisi seperti Soul and Kith, projek solo dari Brozio Orah, serta sajian grunge dengan sound khas 90'an dari Balian. (KanalBali/KR14)