Lestarikan Bali, Kawasan Hutan di Danau Tamblingan Diperjuangkan Jadi Hutan Adat

Konten Media Partner
6 Desember 2020 9:16 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Danau Tamblingan di Buleleng, Bali - IST
zoom-in-whitePerbesar
Danau Tamblingan di Buleleng, Bali - IST
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
DENPASAR - Eksploitasi kawasan Alas (Hutan) Mertajati yang ada di sekitar Danau Tamblingan, Desa Munduk, Kabupaten Buleleng, Bali dinilai mengancam kelestarian Bali dengan budaya agrarisnya. Keberlangsungan subak (sistim penataan air untuk sawah-red) otomatis akan hilang bila krisis air terjadi karena mengeringnya danau.
ADVERTISEMENT
"Kami, Masyarakat Adat Dalem Tamblingan itu melihat terjadi degradasi keberadaan Alas Mertajati,. Sungai-sungai diluar kawasan sudah mulai mengering dan bibit pohon mengecil," kata Ketua Tim Sembilan Catur Desa Adat Dalem Tamblingan Jro Putu Ardana, dalam Webinar bertajuk 'Menatap Masa Depan Bali dari Alas Mertajati' yang diselenggarakan oleh KAGAMA, Sabtu (5/12/2020).
"Karenanya, kami berjuang dan sudah hampir dua tahun ini kami memohon kepada pemerintah agar alas mertajati ini dikembalikan statusnya menjadi hutan adat kembali," lanjutnya.
Dengan pengaturan adat, dia menjamin, kelestarian hutan akan terjaga karena keberadaan hutan akan disakralkan dan dijauhkan dari eksploitasi.
Ardana menuturkan, sejatinya, Alas Mertajati yang luasnya sekitar 1400 hektar itu sudah disakralkan oleh masyarakat sejak abad ke 14 silam. Sejak abad itu, masyarakat yang sebelumnya tinggal di daerah Alas Mertajati memutuskan pindah dari kawasan itu dan memilih bermukim di Catur Desa yakni Desa Gobleg, Munduk, Gesing, dan Umajero.
Ketua Tim Sembilan Catur Desa Adat Dalem Tamblingan Jro Putu Ardana - IST
"Tapi, sejak kemerdekaan, hutan ini di klaim oleh negara sehingga masyarakat tidak punya legal standing (posisis hukum-red) untuk melakukan pengawasan seperti yang biasa dilakukan. Dan kalau terjadi kegiatan atau tindakan yang menganggu keberadaan danau atau hutan, masyarakat adat tidak banyak bisa melakuakkan sesuatu selain pelaporan. Sementara pelaporan yang dilakukan belum tentu ditindak lanjuti," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Kondisi lain yang memperparah kondisi Alas Mertajati, lanjut Ardana, adalah sikap yang dilakukan pemerintah yang menjadikan kawasan itu menjadi taman wisata alam. Langkah itu, sangat tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dipunyai oleh masyarakat adat Tamblingan yang menurut Ardana, selalu memuliakan air dan harmoni dengan alam.
"Saat ini kami kami juga melibatkan partisipan muda untuk melakukan pemetaan-pemetaan, seperti pemetaan pemetaan sosial, budaya, dan potensi ekonomi juga sudah selesai kami lakukan dalam proses memperjuangkan alas mertajati ini sebagai hutan adat. Sehingga kami bisa melakukan pengsakralan ini seperti ratusan tahun lalu," ungkapnya.
Ardhana mengungkap, karena lemahnya posisi mereka, sempat muncul adanya pemukiman liar di dalam hutan. Pada 2015, desa adat bertindak untuk memindahkan para penghuninya sehingga sempat menimbulkan polemik, termasuk tuduhan adanay pelanggaran HAM.
Guru besar Universitas Udayana, Prof Dr. I Wayan Windia - IST
Dia berharap, dengan adanya momentum pandemi saat ini, maka pemerintah dapat melakukan evaluasi sehingga konservasi alam menjadi prioritas utama dan bukannya pada masalah pariwisata. "Pariwisata mestinya hanya menjadi bonus dari ketekunan kita dalam memelihara alam," ujarnya.
ADVERTISEMENT
Pernyataan Ardhana tersebut, didukung oleh Guru besar Universitas Udayana, Prof Dr. I Wayan Windia  yang juga menekankan pentingnya menjaga kelestarian Alas Mertajati."Kawasan itu adalah bagian konservasi air, kalau diatas (Alas Mertajati) sudah kering nanti, Bali sudah tidak apa apanya nanti. Budayanya hilang, ekonominya hilang," katanya.
Ia mengutip sebuah penelitian, bahwa Subak sendiri diramalkan akan hilang pada 2030 nanti karena alih fungsi lahan yang begitu cepat mencapai 2800 ha per tahunnya. "Jadi, kalau air sudah tidak ada, akan makin cepat subak itu hilang," ujarnya.
Sementara itu Ketua KAGAMA Bali, IGN Agung Diatmika menyatakan, diskusi bertujuan untuk mencari pemikiran-pemikiran alternatif dalam melihat masa depan Bali pasca pandemi COVID-19. Pemikiran itu nantinya akan disampaikan kepada pemerintah untuk disinergikan dengan rencana pembangunan ke depan. (Kanalbali/ACH)
ADVERTISEMENT