LSM Lingkungan Tolak Rencana Pengolahan Sampah Jadi Listrik di Denpasar

Konten Media Partner
21 Juni 2021 8:28 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Model pengelolaan sampah dengan melakukan pemilahan dan pengolahan sejak di rumah-rumah dianggap lebih menyelesaikan masalah sampah di Denpasar, Bali - IST
zoom-in-whitePerbesar
Model pengelolaan sampah dengan melakukan pemilahan dan pengolahan sejak di rumah-rumah dianggap lebih menyelesaikan masalah sampah di Denpasar, Bali - IST
ADVERTISEMENT
DENPASAR - Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI), BaleBengong, PPLH Bali dan Nexus3 Foundation mengkritisi rencana pembangunan Pengolahan Sampah Energi Listrik (PSEL) di Denpasar, Bali. Rencana itu dinilai tidak akan menyelesaikan permasalahan.
ADVERTISEMENT
“Sejak tahun 2003, Bali sudah mencoba teknologi termal untuk mengolah sampah di TPA Suwung Denpasar tetapi gagal, “ kata Yuyun Ismawati, Senior Advisor Nexus3 dalam rilis yang diterima Senin (21/6/2021)
Menurutnya, pemerintah Provinsi Bali mestinya menyampaikan kepada Presiden, pembelajaran dari kegagalan WTE periode 2004-2016 agar tidak terulang lagi.
Kondisi TPA Suwung Denpasar, telah mengalamai overload sampah - IST
Masyarakat tidak bisa menunggu 20 tahun lagi untuk manajemen sampah di TPA dengan ‘teknologi canggih’. “Dengan biaya yang sama, sebetulnya dapat dicapai pemilahan sampah dan pengomposan di sumber atau di kawasan, peningkatan persentase pengangkutan sampah sampai 80%, dan pengoperasian TPA dengan teknologi Sanitary Landfill selama 15 tahun,” ujarnya.
Aliansi menilai PLST yang didasari oleh Peraturan Presiden No. 35 Tahun 2018 menghambat kemajuan pengelolaan sampah di Indonesia. Pasalnya, pemerintah kota dan kabupaten lengah melaksanakan minimalisasi, pengurangan, pemilahan dan meningkatkan pengangkutan sampah di wilayah mereka sesuai amanat UU Pengelolaan Sampah No. 18 tahun 2008.
ADVERTISEMENT
Dalam UU Pengelolaan Sampah No. 18 Tahun 2008 Pasal 29 ayat 1 butir (g) dinyatakan bahwa ‘Setiap orang dilarang membakar sampah yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis pengelolaan sampah’.
Dari sisi ini, menurut Yuyun, komposisi sampah dan metode pembakarannya harus sesuai dengan persyaratan teknis. Sampah di Indonesia tidak memenuhi persyaratan teknis karena rata-rata nilai kalor berkisar antara 2.000-6.000 kJ/kg lebih rendah daripada standar nilai kalor terendah (low heating value/LHV) yaitu 10.000 kJ/kg.
Jika dilihat dari berbagai aspek (teknologi, kesehatan, sosial, lingkungan, dan ekonomi), pembangunan dan operasional PSEL jelas tidak layak dan tidak berkelanjutan. Khususnya dalam aspek finansial, pembangunan PSEL berpotensi merugikan negara dan pemerintah daerah karena biaya yang digunakan untuk pembangunan dan operasional PSEL sangat tinggi dibandingkan penanganan secara sanitary landfill.
ADVERTISEMENT
Pembiayaan pembangunan dan pengoperasian PLTSa akan menggunakan dana APBN/APBD yang dananya terbatas, sehingga Pemerintah juga mengandalkan investasi asing berbagai negara maupun lembaga keuangan.
“PSEL akan menjadi jalan mundur dalam pengelolaan sampah di Bali. Pergub No. 97 tahun 2018 dan Pergub No.  47 tahun 2019 yang mengedepankan pengelolaan sampah di sumber dipastikan akan gagal,” kata IB Mandhara Brasika, pendiri Griya Luhu yang aktif mendorong pendirian bank sampah.
Namun dengan PSEL, masyarakat akan berhenti memilah, desa adat dan desa dinas akan gagal mengelola sampah di sumber karena sampah akan dibawa ke PSEL. (kanalbali/RFH)