Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Makna Pejati Wong-wongan yang Digunakan Umat Hindu di Bali untuk Meredam Corona
2 April 2020 18:24 WIB
ADVERTISEMENT
Dinas Pemajuan Masyarakat Adat Provinsi Bali telah mengeluarkan surat imbauan kepada umat Hindu di Bali untuk melakukan gelaran ritual itu sebagai bentuk tolak bala terhadap wabah COVID-19. Salah-satunya dengan pejati (sesaji) itu bernama Segehan Wong-wongan. Dipercaya, ini merupakan upaya niskala (spiritual) disamping skala (nyata) supaya terhindar dari wabah corona.
ADVERTISEMENT
Toko Muriayu yang terletak di Jl Hayam Wuruk, merupakan salah satu tempat yang menjual banten ini. Sang pemilik, Luh Waryati, mengatakan belakangan ini memang banyak orang yang membeli banten ini.
"Sudah tiga hari banyak orang yang beli banten ini," ungkapnya saat diwawancarai melalui telepon, Kamis (2/4). Untuk satu banten wong-wongan ia jual seharga 15 ribu rupiah. "Sebenarnya juga bisa dibuat sendiri, pembuatannya juga mudah,"jelasnya.
Banten wong-wongan terdiri dari nasi yang berwarna-warni yang diletakan di atas daun pisang dan diberikan jahe, bawang merah, dan cabai.
Lebih lanjut, salah satu akademisi dari Universitas Hindu Negri I Gusti Bagus Sugriwa, Romo Poniman, menjelaskan bahwa Segehan itu memiliki makna untuk tolak bala terhadap wabah. "Ini merupakan bentuk tolak bala. Wabah corona sebagai manifestasi bhutakala agar menyantap manusia yang dibuat dari nasi," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Ia mengungkapkan, ritual khusus ini merupakan salah satu kearifan lokal yang telah menjadi tradisi dalam menghadapi situasi seperti wabah penyakit. "Banten ini ditaruh di depan pintu pekarangan rumah, pelaksanaanya dilakukan saat Sandika (pergantian siang dan malam/pukul 18:00-red) ketika Kajeng Kliwon,"tambahnya.
"Biasanya, nasi wong-wongan sering diikutsertakan pada upacara yang sifatnya genting di lingkungan tertentu. Namun kali ini karena ancaman Bhutakala meluas, maka secara serentak hari ini di seluruh Sanggah Merajan di Bali membuat segehan nasi wong-wongan sebagai bentuk lain dari upacara caru yang lebih spesifik,"paparnya.
"Karena hanya manusia adalah mahluk tuhan yang bisa menciptakan dengan kemampuan akal dan pikirannya sehingga manusia terhindar dari bhutakala (musibah-red),"jelas salah satu dosen di Universitas Hindu Negri I Gusti Bagus Sugriwa (dulu IHDN Denpasar) itu.
Dalam konteks teologi Hindu, unsur-unsur yang terkandung dalam segehan memiliki makna tersendiri. Bahkan menurut penuturannya, dalam sastra kuno telah banyak disebutkan.
ADVERTISEMENT
"Alas dari daun melambangkan bumi, nasi putih melambangkan dualisme, jahe, secara ilmiah memiliki sifat panas. Semangat dibutuhkan oleh manusia tapi tidak boleh emosional,"ungkapnya
Selain itu bawang, memiliki sifat dingin. "Manusia harus menggunakan kepala yang dingin dalam berbuat tapi tidak boleh bersifat dingin terhadap masalah-masalah sosial (cuek),"tambahnya.
Garam, memiliki PH-0 artinya bersifat netral, garam adalah sarana yang mujarab untuk menetralisir berbagai energi yang merugikan manusia. "Lima warna (manca warna) adalah manifestasi dewa. warna Hitam perlambang dewa Wisnu, Putih dewa Iswara, merah dewa brahma, kuning Mahadewa, dan brumbun (campuran-red) adalah Siwa,"jelasnya.
"Kelima warna ini juga perlambang penjuru mata angin, segala musibah yang datang dari segala penjuru bisa dinetralisir," imbuhnya. Terkait bentuk yang beragam, ia menegaskan, hal itu merupakan wujud kreasi manusia. "Yang penting unsurnya sesuai dengan yang diarahkan yaitu nasi mancawarna," pungkasnya.
ADVERTISEMENT
(KR14)
---
kumparanDerma membuka campaign crowdfunding untuk bantu pencegahan penyebaran coronavirus. Yuk, bantu donasi sekarang!