Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten Media Partner
Menengok Budidaya Ulat dengan Sampah Organik di Tabanan
6 Mei 2018 22:45 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:09 WIB
ADVERTISEMENT
PETERNAK memanen ulat BSF dari tempat pemeliharaan. Foto ulat. Selain memiliki nilai ekonomis sebagai pakan ternak alternatif, ulat BSF bisa menjadi solusi penanggulangan sampah organik. (kanalbali/KR7)
ADVERTISEMENT
TABANAN, kanalbali.com -- Kini ulat yang mungkin bagi sebagian orang adalah binatang yang tidak berguna dan mengganggu bisa memberikan keuntungan ekonomis. Bahkan, ulat dari jenis BSF atau Black Soldier Flay bisa menjadi solusi dari sampah organik yang belum termanfaatkan karena larva hingga menjadi ulat sepenuhnya mengkonsumsi sampah organik.
Peternakan jenis larva bsf menjadi ulat dilakukan di Banjar Periyukti, Desa Wanasari, Kecamatan Tabanan. Nilai ekonomis dari ulat bsf atau yang biasa disebut maggot adalah menjadi pakan alternatif bagi peternak unggas dan ikan. Peternak ulat BSF, Hadi asal Bandung menyebutkan, dirinya bersama beberapa timnya telah delapan bulan mengembangkan ulat BSF di Tabanan.
“Kami memanfaatkan sampah dari pasar dan mengajak 50 rumah tangga untuk menyediakan sampah organik di Banjar Dauh Pala, Tabanan,” kata Hadi, (6/5).
ADVERTISEMENT
Karena kandungan protein tinggi, jenis ulat BSE bisa menggantikan pakan alternatif seperti tepung ikan untuk peternakan, dengan harga yang ekonomis banyak peternak memilih menggunakan ulat sebagai pakan pengganti.
Setiap harinya ulat BSF yang ditempatkan dalam wadah berukuran 1x2 meter memerlukan sampah organik hingga 40 kilogram. Hadi membutuhkan sekitar 600 kilogram sampah organik setiap harinya untuk memenuhi kebutuhan makan ulat-ulatnya.
Dalam masa hidup ulat BSF, mulai dari telur, larva, maggot (larva dewasa), prepuva (kepompong), puva dan menjadi lalat mebutuhkan waktu sekitar 30 hingga 45 hari. “Jika sudah dewasa lalat ini hanya bertahan hidup tujuh hari, setelah kawin mereka akan mati,” terangnya.
Hadi menilai, peternakan ulat BSF ini bisa menjadi solusi bagi sampah organik yang belum teratasi. Dalam pengembangbiakan ulat BSF ini ini tidak menimbulkan bau karena hanya mengkonsumsi limbah organik. “Setiap 100 gram ulat BSF kami jual dengan harga Rp 10 ribu kepada peternak burung, ayam atau peternak ikan,” ujarnya (kanalbali/KR7)
ADVERTISEMENT