Mengenal Hari Raya Kuningan, Upacara Pemujaan Leluhur oleh Umat Hindu di Bali

Konten Media Partner
29 Februari 2020 9:26 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tamiang, salah-satu simbol Hari Raya Kuningan - IST
zoom-in-whitePerbesar
Tamiang, salah-satu simbol Hari Raya Kuningan - IST
ADVERTISEMENT
Umat Hindu melaksanakan hari Raya Kuningan 10 hari setelah Galungan. Momentum ini, dirayakan setiap 6 bulan sekali (210 hari) sesuai penanggalan Saka (penanggalan Hindu-red), yaitu pada hari Saniscara (Sabtu) Kliwon, Wuku Kuningan.
ADVERTISEMENT
"Kuningan menjadi salah satu momentum umat Hindu melakukan pemujaan terhadap leluhur untuk memohon keselamatan dan kemakmuran," ujar I Ketut Donder, salah seorang Teolog Hindu sekaligus Guru Besar di Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar.
Saat Hari Raya Kuningan, manusia diharapkan uning dan eling (tahu dan sadar) dan selalu mengendalikan diri atau indranya. Selain itu, Dewa Indra sebagai manifestasi Ida Sang Hyang Widhi (Tuhan) umummya dipuja pada momentum ini.
"Dalam literatur Hindu, hari raya Kuningan dimuat dalam beberapa sastra di antaranya lontar Gongwesi dan Sundarigama,"ujarnya.
Umumnya, pelaksanaan upacara pada saat Kuningan atau pun persembahyangan hanya dilakukan hanya setengah hari saja, sebelum jam 12 siang pelaksanaan sudah harus berakhir, karena sebelum siang hari energi alam semesta seperti kekuatan pertiwi (bumi), akasa (ether), apah (air), teja (cahaya) dan bayu (udara) mencapai puncaknya.
ADVERTISEMENT
Setelah siang hari memasuki masa pralina (peleburan) yang mana kelima energi tersebut sudah kembali ke asalnya, dan juga para Pitara (leluhur), Bhatara dan Dewa sudah kembali ke nirwana.
Dijelaskan dalam Lontar Sundarigama, Ida Hyang Siwa Mahadewa diikuti oleh para Dewa dan Pitara (leluhur) turun dari kayangan menuju mercapada (Bumi-red). Oleh karena itu, manusia kehadiran-Nya dengan mempersembakan pesucian, canang wangi, disertai selangi, tebog, haturan sesaji, dan segehan, sebagai simbol tapa dan ketulusan memuja Hyang Maha Suci untuk memohon kemakmuran, serta keselamatan.
Biasanya, pagi hari umat Hindu bersembahyang di halaman rumah. Masing-masing anggota keluarga menghadap ke arah mata angin yang berbeda untuk memuja dewa penguasa arah dan menghaturkan persembahan.
Rangkaian pelaksanaan Hari Raya Kuningan sebenarnya lanjutan dari rangkaian hari Raya Galungan, 5 hari kemudian ada hari Pemacekan Agung, kemudian Penyekeban, Penyajaan, Penampahan kemudian puncak perayaannya Hari Raya Kuningan, esok harinya adalah Manis Kuningan dan rentetan perayaan paling akhir adalah saat hari Pegat Tuwakan, yaitu 32 hari setelah Kuningan bertepatan pada hari Buda (Rabu) Kliwon, wuku Pahang.
ADVERTISEMENT
Nasi kuning menjadi salah satu sarana upacara yang wajib pada saat Kuningan. Simbol nasi kuning menjadi lambang kemakmuran dan juga sebagai ucapan terima kasih dan syukur atas segala anugerah dari Tuhan.
"Selain itu ada pula Tamiang, bentuknya bulat seperti periasi, dirajut berbahan daun kelapa muda atau janur, menyimbolkan sebuah tameng yang menjadi perisai dalam perang,"ujar Donder.
Tamiang sendiri sering dimaknai dengan simbol perlindungan diri karena bentuknya seperti perisai, bentuknya yang bulat dipahami juga sebagai lambang Dewata Nawa Sanga yang merupakan penguasa sembilan arah mata angin.
Ilustrasi - banten/ sesaji saat kuningan
Selain Tamiang ada juga Endongan bentuknya seperti sebuah tas, yang berisi perbekalan ini sebagai simbol dari bekal bisa berarti bekal bagi para leluhur dan juga bekal bagi mamusia dalam mengarungi kehidupan."Bekal untuk mengarungi kehidupan adalah Jnana (pengetahuan-red),"ujarnya.
ADVERTISEMENT
Kemudian ada sarana 'Ter' (Janur yang di rajut membentuk anak panah) yang merupakan simbol dari senjata untuk kelengkapan perang."Dalam kehidupan ini, senjata paling ampuh adalah ketenangan pikiran, ada pula Sampian gantung adalah sebagai simbol penolak bala, "jelasnya.
Jika diamati dari sarana dan makna yang terkandung dalam sarana upacara saat Hari Raya Kuningan lebih identik dengan alat-alat atau senjata dalam perang. "Ini mengingatkan manusia akan hakikatnya dalam kehidupan memang seperti sebuah peperangan, melawan keadaan untuk menemukan jalan dan kehidupan yang lebih baik di dunia dan di akhirat nantinya,"pungkasnya. ( KR14)
Ilustrasi bersembahyang. Foto: Shutterstock