Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Menyimak Karya Peraih Emmy Award dalam 'Cerita Orang Biasa' di Bentara Bali
19 November 2018 19:45 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:05 WIB
ADVERTISEMENT
DENPASAR, kanalbali.com - Program Sinema Bentara yang berlangsung pada 16-17 November 2018 di Bentara Budaya Bali (BBB) terbilang istimewa. Bukan saja menayangkan film-film terpilih Indonesia dan mancanegara dalam bingkai tajuk “Cerita Orang Biasa”, namun mengetengahkan pula diskusi bersama sutradara peraih Emmy Award, Lisa Russell.
ADVERTISEMENT
Pada program tersebut ditayangkan sejumlah film karya Lisa Russell, antara lain Mother’s Cry (2015), Heroines of Health (2017) dan #Create2030 (2018). Tecermin melalui film-film itu upaya sang sutradara menghadirkan sebentuk kepedulian sosial dan gerakan kemanusiaan, seraya menyerukan bagi siapapun untuk terus memperjuangkan nilai-nilai positif diyakini serta memulai perubahan dari hal-hal kecil di sekitar kita.
Mother’s Cry adalah video pendek pemenang penghargaan berbagai festival film internasional yang menampilkan penyair muda terkenal, Savon Bartley. Ia menyuarakan isu perubahan iklim dengan menggunakan kata-kata terpilih sebagai media bercerita.
Sementara Heroines of Health adalah sebuah film baru yang diproduksi oleh GE Healthcare, memberikan pandangan yang mendalam tentang kehidupan tiga wanita yang luar biasa – Dr. Sharmila (India), Mercy (Kenya) dan Ibu Rohani (Indonesia) – yang telah mengatasi tantangan luar biasa untuk menjadi kekuatan penyelamat hidup tentang kesehatan global di komunitas mereka.
ADVERTISEMENT
Selain sebagai pembuat film, Lisa Russell juga seorang kurator. Ia juga turut serta dalam berbagai proyek pembangunan internasional yang melibatkan relawan kemanusiaan. Hal tersebut menjadi inspirasi untuk karya filmnya mengenai kesehatan dan kesejahteraan masyarakat global.
Ia sering mengintegrasikan film-filmnya ke dalam kampanye advokasi dengan PBB dan lembaga internasional yang memiliki fokus pada pembangunan kesadaran, penggalangan dana dan advokasi legislatif.
Selain film-film Lisa Russell, ditayangkan pula 3 film dari belahan negeri Timur yang terangkum dalam program East Cinema - Watertreefilm, antara lain From The Edge Of Sanity (Bosnia & Syiria, 2017, sutradara Milana Majar); Arrival (Irak, 2018, sutradara Mustafa al-Janabi) dan It’s Back Then (Irak, sutradara Wathab Siga).
Juga Tampan Tailor (Indonesia, 2013, Sutradara: Guntur Soeharjanto); La Douleur (Prancis, 2017, Sutradara: Emmanuel Finkiel); Bornholmer Straße (Jerman, 2014, Sutradara Christian Schwochow);
ADVERTISEMENT
Mengemuka pula dalam sejumlah film tersebut, kisah-kisah dan nilai kepahlawan tidak selalu dihadirkan lewat film berlatar perang yang heroik, dramatik atau kolosal. Tetapi justru bisa tecermin dalam bentuk kejadian sehari-hari, terjadi pada siapa saja, juga dengan tokoh orang-orang biasa.
Film-film terpilih itu adalah buah kejelian para sutradara yang dengan piawai mengangkat sosok-sosok manusia biasa sebagai pelaku utama, mengundang daya haru sekaligus mencerminkan absurditas kehidupan.
Tengok misalnya tokoh Topan (diperankan Vino G. Bastian) dalam film Tampan Tailor (Guntur Soeharjanto, 2013). Selepas kematian sang istri karena kanker, Topan kehilangan usaha jahitan yang dirintis bersama sang istri, pun satu-satunya mesin jahit kesayangan mereka. Meski demikian, sebagai seorang ayah ia tak henti berjuang, melakoni berbagai pekerjaan demi menyekolahkan anak semata wayangnya, Bintang.
ADVERTISEMENT
Atau, film-film pendek dari program East Cinema – WaterTreeFilm yang mengetengahkan sisi absurditas yang terjadi dalam kehidupan manusia, nasib dan takdir selalu menyimpan misterinya sendiri.
Tentang penderitaan penduduk Irak akibat perang antara ISIS dan militer Irak. Seorang ayah salah menguburkan anaknya, alih-alih menguburkan anaknya yang telah mati, ia malah menguburkan anaknya yang masih hidup.
Atau sebuah keluarga yang terpaksa meninggalkan tanah kelahiran mereka yang tercabik perang. Mereka harus menjual semua yang dimiliki untuk pergi ke Eropa. (kanalbali/RLS)