Merasakan Damainya Nyepi di Pura Besakih, Bali, Saat Wabah Corona Menyerang

Konten Media Partner
26 Maret 2020 8:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suasana Pura Besakih pada Rabu (25/3) - KR14
zoom-in-whitePerbesar
Suasana Pura Besakih pada Rabu (25/3) - KR14

Catatan reporter kanalbali Wibhi Laksana

ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Nyepi menjadi momentum berkumpul umat Hindu bersama keluarga. Tahun ini, saya seorang perantau dari Pekalongan, Jawa Tengah yang belajar agama Hindu di Denpasar tak bisa mudik karena situasi wabah Corona. Saya memilih merasakan suasana di Pura Besakih yang belum pernah saya alami meski sudah tinggal lebih dari 4 tahun di Bali.
ADVERTISEMENT
Pada Selasa (24/3), saya menempuh perjalanan selama 1,5 jam dari kota Denpasar dan tiba di Pura terbesar itu sekitar pukul 21:00 WITA. Dinginnya udara Gunung Agung langsung menusuk menembus tulang. Gonggongan kerumunan anjing liar menyambut seolah curiga dengan kedatangan kami.
Pura Besakih malam itu terlihat sangat sepi. Kami bermalam di bangunan Balai Pewaregan (kantin-red). Tidur di atas Padung (kursi panjang-red) berselimutkan sarung, kami berusaha sekuat tenaga melewati suasana malam.
Suasana di Pura Besakih pada Rabu (25/3) - KR14
Di Besakih, kami bertemu dengan beberapa orang yang juga melaksanakan penyepian. Made Sudarma adalah salah satunya. Pria paruh baya asal Batubulan, Gianyar itu mengaku setiap tahun melaksanakan Nyepi disini.
"Biasanya saya bersama keluarga. Namun, karena pembatasan dan imbauan tegas dari pemerintah, untuk tetap di rumah selama dua hari, hanya saya dan seorang teman yang tetap teguh dan niat berangkat ke Besakih. Saya pulang ke rumah esok setelah Ngembak Geni, tanggal 27," ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Pada pagi (25/3), kesunyian begitu terasa. Gunung api yang masih aktif itu tampak perkasa menaungi pura yang setiap harinya menjadi destinasi wisatawan itu. Pura megah bak kahyangan terasa begitu damai. Pemandangan perkotaan membentang di kejauhan dari bukit hijau dengan udara sejuk yang begitu membuai. Selama seharian kami beberapa kali mengelilingi kompleks pura seluas lebih dari 2 km itu.
Suasana di Pura Besakih, Rabu (25/3) - KR14
Sembahyang dilakukan di dua kompleks pura, yakni Penataran Agung dan Pura Gelap. Di Pura Penataran Agung, kami menjumpai seorang pemangku, Mangku Suweca namanya. Dia menjelaskan, sebagian besar kompleks pura di Besakih terbagi menjadi banyak pura Pedarman (Klan/garis keturunan-red).
"Pura Besakih terdiri dari 19 Pura. 1 Pura Pusat Pura Penataran Agung Besakih) dan 18 Pura Pendamping (1 Pura Basukian dan 17 Pura Lainnya)," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Lebih jauh, kami berbincang mengenai hakikat Nyepi. Kegiatan yang dilakukan dengan tujuan introspeksi diri itu, dilakukan selama 24 jam. Biasanya, dimulai pukul 06.00 pagi hingga 06.00 pagi keesokan harinya. Pengalaman saya, di beberapa tempat seperti di Jawa, Nyepi dilaksanakan mulai pukul 00:00.
Seekor anjing liar dalam suasana Nyepi (25/3) - KR14
Rambut putih terurai, dengan perawakan tubuh membungkuk, Mangku Suweca tampak seperti orang tua pada umumnya. Mungkin berumur sekitar 70 tahunan. Matanya telihat sayu. Goresan waktu begitu tergambar pada wajahnya. Kendati demikian, ia tampak sehat dan energik. Bahkan saat memberi kami tirta (air suci-red).
Sama di tempat lain, Nyepi di Besakih pun meliputi pengendalian diri yang disebut Catur Brata Penyepian. "Catur itu empat, Brata itu pengendalian, dan Penyepian adalah pelaksanaan Nyepi. Pada saat Nyepi kita diharapkan untuk sejenak menyadari hakikat diri dalam kehidupan, meninggalkan segala aktivitas," ujarnya.
ADVERTISEMENT
"Nyepi memiliki filosofi di mana umat Hindu memohon kepada Tuhan, Ida Sang Hyang Widhi Wasa, untuk melakukan penyucian Buana Alit (manusia) dan Buana Agung (alam dan seluruh isinya)," jelasnya lagi.
Bersama Bapak Mangku Suweca, Pemangku di Pura Besakih-KR 14
"Pada prinsipnya, saat Nyepi, Panca Indra (lima indra-red) kita diredakan dengan kekuatan Manah (pikiran-red) dan budhi (perilaku-red). Meredakan nafsu indra itu dapat menumbuhkan kebahagiaan yang dinamis sehingga kualitas hidup kita semakin meningkat," ungkapnya.
Setelah Nyepi terlewati, keesokan harinya diadakan gelaran Ngembak Geni. "Ngembak artinya menyalakan Geni itu api," jelas Mangku Suweca. Pada momentum ini umat Hindu melakukan persembahyangan wujud rasa terima kasih kepada Tuhan kemudian saling bersilaturahmi ke sanak saudara.
Sayang tahun ini, wabah Corona membuat Ngembak Geni tak bisa dilaksanakan sepenuhnya. Kunjungan kepada keluarga pun harus dibatasi. Di Besakih, saya merenungi, hakikat Nyepi pada akhirnya memang harus kembali pada kesunyian untuk bisa menemukan diri sendiri. ( KR14)
Ilustrasi Nyepi Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT