Ngaben Massal, Tradisi untuk Bergotong Royong dan Berhemat dalam Upacara di Bali

Konten Media Partner
20 Oktober 2023 13:50 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Warga mengurusung bade yang menjadi alat untuk membawa mayat ke kuburan - IST
zoom-in-whitePerbesar
Warga mengurusung bade yang menjadi alat untuk membawa mayat ke kuburan - IST
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
TABANAN, kanalbali.com - Pelaksanaan upacara Ngaben atau pembakaran mayat di Bali seringkali dilaksanakan secara perseorangan dan membutuhkan biaya yang besar. Namun ada alternatif lain, yakni dengan mengikuti ngaben massal atau ngaben yang dilakukan secara bersama-sama.
ADVERTISEMENT
Seperti yang dilakukan di Desa Adat Munduk Andong, Desa Bangli, Kecamatan, Baturiti, Tabanan yang menggelar ngaben massal pada Kamis (19/10).
Sebanyak 25 sawa atau jenazah diikutkan dalam prosesi ngaben ini yang dilaksanakan setiap 5 tahun sekali. Selain untuk kebersamaan memperat hubungan antar krama, ngaben massal ini juga bertujuan untuk meringankan biaya.
Prosesi ngaben massal - IST
Setiap keluarga peserta ngaben massal ini dikenakan biaya sebesar Rp. 7.000.000. Secara nilai, nominal ini terbilang relatif murah jika dibandingkan ngaben yang dilaksanakan sendiri.
"selain 25 sawa ada 8 ngelungah (bayi atau anak yang belum tanggal gigi) yang ikut dalam ngaben massal ini. Astungkara acara berjalan lancar," ujar I Nyoman Sumawan, Ketua panitia ngaben massal usai acara.
Berbeda dengan ngaben di beberapa tempat yang jenazahnya diambil langsung dengan menggali serta, pada ngaben ngirit di Munduk Andong ini sawa atau jasadnya disimbolkan dengan kayu cendana yang berisi sesuratan aksara Bali.
ADVERTISEMENT
Menurut Ida Pedanda dari Griya Kemenuh Kalibalang, sombolisasi dengan menggunakan kayu cendana atau majegahu dilakukan ketika proses ngaben yang tidak ada jasadnya.
Pembkaran mayat yang dilakukan secara bersamaan - IST
"kenapa menggunakan kayu cendana atau majegahu?. Itu karena kedua kayu ini diyakini sebagai pohon suci yang tumbuhnya di surga," terang Ida Pedanda usai muput karya.
"Itu berdasarkan kitab suci yama tatwa, yama purwa tatwa, yama purana tatwa. Sesuai tata cara atau pidabdab upacara pengabenan yg ada di Bali," lanjutnya.
Meski menggunakan simbol dari kayu, namun prosesinya tetap dilakukan secara lengkap layaknya ada jenazah. Simbol ini diupacarai dengan sarana sama saat mengupapira sawa.
Bendesa Adat Munduk Andong I Putu Suartika menyebut ngaben ngerit atau ngaben massal ini telah dilakukan sejak puluhan tahun lalu. Bahkan dari cerita para pelingsir ngaben massal ini sudah dilakukan di masa penjajahan.
ADVERTISEMENT
"Secara pasti saya juga tidak tahu kapan pertama kali dimulainya ngaben massal di desa kami. Tapi menurut orang tua kami pada tahun 40-an, 50-an itu sudah ada ngaben massal. Artinya kebersamaan dan kekeluargaan di desa sudah terbentuk sejak lama," ungkapnya.
Ini dibuktikan, lanjutnya, dengan dukungan dari krama adat lain yang turut membayar patus (iuran wajib) untuk meringankan beban masyarakat yg melaksanakan ngaben massal. (kanalbali/NAN)