Konten Media Partner

Omed-omedan, Tradisi Peluk dan Cium Setelah Nyepi di Denpasar

8 Maret 2019 18:13 WIB
clock
Diperbarui 20 Maret 2019 20:08 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Para remaja saling memeluk dan mencium tapi langsung dipisahkan oleh rekan-rekannya (kanalbali/ZUL)
zoom-in-whitePerbesar
Para remaja saling memeluk dan mencium tapi langsung dipisahkan oleh rekan-rekannya (kanalbali/ZUL)
ADVERTISEMENT
Ada banyak tradisi unik usai Hari Raya Nyepi. Salah-satunya, turun temurun dilakukan di Banjar Kaja, Desa Sesetan Denpasar, yakni tradisi Omed-omedan. Dalam acara ini, remaja putra dan putri diberi kesempatan untuk saling memeluk dan mencium.
ADVERTISEMENT
Tapi jangan bayangkan ini sebagai adegan erotis ya. Sebab, mereka melakukannya dalam kumpulan banyak orang dan diguyur air laksana kehujanan. Begitu, si pemuda dan pemudi saling peluk maka saat itu pula masing-masing akan ditarik oleh kelompoknya.
Sembahyang bersama sebelum acara Omed-omedan (kanalbali/ZUL)
Seperti yang dilakukan, Jum'at (8/3). Puluhan Seka Teruna-Teruni (STT) Satya Dharma Kerti, Banjar Kaja, Sesetan mulai berkumpul menggunakan pakaian adat madya (menengah), dengan atasan kaos putih. Sebelum memulai acara omed-omedan, terlebih dahulu mereka sembahyang bersama untuk memohon keselamatan dan kelancaran acara ini.
Menurut cerita dari I Gusti Ngurah Oka Putra, penglingsir (sesepuh-red) Puri Oka Banjar Kaja Sesetan, Omed-omedan sudah ada sejak abad ke 18. Saat itu, leluhur Banjar Kaja yang bernama A.A Made Raka, terkena sakit keras yang tidak diketahui penyebabnya. Kemudian beliau bersabda kepada para abdinya, untuk tidak seorang pun menengoknya dan tak boleh mengadakan keramaian saat Nyepi.
Omed-omedan menjadi ajang kegembiraan dan keakraban muda-mudi di Banjar Kaja, Sesetan, Denpasar (kanalbali/ZUL)
Akhirnya para abdi beliau merasa kecewa dan penasaran. Mereka tetap mengadakan keramaian untuk mengetahui penyebab perintah beliau tersebut. Akibatnya, Made Raka merasa marah dan keluar dari puri, saat itu terjadi hal aneh yang luar biasa. Dimana awalnya beliau tertatih tatih keluar dari puri. Namun setelah melihat keramaian beliau tidak merasakan sakit apapun.
ADVERTISEMENT
Kemudian beliau memanggil para abdinya, disana beliau bersabda, mungkin keramaian ini menyebabkan beliau sehat atau ini merupakan kehendak Hyang Dewatara. Selanjutnya, dikemaslah keramaian ini dalam bentuk acara Omed-omedan.
Barong babi yang ikut ditampilkan dalam acara ini (kanalbali/Zul)
“Ini yang saya dengar, sebab peserta dari omed-omedan ini anak muda dan pelajar dari Banjar Kaja. Sehingga pada tahun 1984, saya meniadakan omed-omedan. Dengan memasang papan didepan rumah bertuliskan. Omed-omedan ditiadakan”, tandasnya.
Kemudian saat tiba hari Ngembak Geni, imbuh Gusti Oka, para penonton yang datang tetap dalam jumlah yang banyak, meski telah melihat tulisan yang ada didepan rumah. Mereka tetap disini hingga petang tiba.
Sampai akhirnya, ia mendengar suara orang bersorak sorak seperti menonton omed-omedan. " Lalu saya keluar dan bertanya , Siapa yang mengadakan omed-omedan disini”, katanya.
ADVERTISEMENT
Ternyata, ada dua ekor babi yang berkelahi dijalan sampai bedarah-darah dan menjadi objek tontonan masyarakat sekitar. “Saya tidak habis pikir, kenapa bisa mendadak ada babi di daerah ini, sementara saat itu daerah ini adalah daerah yang ketat dijaga oleh para tentara”, ungkapnya penuh heran.
“Setelah kejadian tersebut, saya putuskan Omed-omedan harus dilaksanakan dan tidak boleh ditiadakan”, tuturnya menegaskan
Omed-omedan bukan hanya sekedar tradisi cium-ciuman semata, lebih dari itu tradisi ini merupakan warisan turun temurun dari leluhur. “Omed-omedan sendiri artinya tarik menarik. Tidak mungkin antar tangan ditarik, karena bisa patah. Saya juga menghimbau, agar muda mudi disini tidak menodai tradisi yang sudah ada. Meski sentuhan antar pipi tidak bisa dihindari, namun itu bukanlah hal yang porno”, tandas Gusti Oka. (kanalbali/LSU)
ADVERTISEMENT