Pandemi Berkepanjangan, Pakar Sebut Pemerintah Belum Peduli Kesehatan Mental

Konten Media Partner
10 Oktober 2021 10:20 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
LK Suryani saat memimpin meditasi relaksasi massal untuk kesehatan mental (foto diambil sebelum masa pandemi-red) - Dok. Suryani Mental Health Institute
zoom-in-whitePerbesar
LK Suryani saat memimpin meditasi relaksasi massal untuk kesehatan mental (foto diambil sebelum masa pandemi-red) - Dok. Suryani Mental Health Institute
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
DENPASAR— Psikiater senior dari Bali, Luh Ketut Suryani menilai, pandemi berkepanjangan sangat mempengaruhi kesehatan mental masyarakat. Ironisnya, masalah ini belum mendapat perhatian pemerintah.
ADVERTISEMENT
"Fokusnya masih mengatasi kesehatan fisik dan masalah ekonomi. Padahal masalah kesehatan mental juga besar sekali dampaknya," tegasnya, Sabtu (9/10/2021) di Denpasar, Bali.
Hal itu bisa dilihat pada meningkatnya angka kekerasan dalam rumah tangga, perceraian, bunuh diri hingga Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). "Sepintas melihat di media saja, kita tahu ada peningkatan. Saya sendiri merasakan makin banyak yang berkonsultasi terkait hal itu," tegasnya.
Tanda-tanda adanya gangguan kesehatan mental biasanya diawali dengan rasa cemas, takut, sedih, dan mulai sulit untuk tidur. Hal ini diperburuk dengan konsumsi informasi yang berlebihan mengenai masalah PHK, kekuatiran pada penyakit dan berbagai dampak pandemi lainnya.
Psikiater senior LK Suryani dari Suryani Mental Health Institute (SIMH) - RFH
Ia menyebut, sempat berkomunikasi mengenai masalah ini dengan pihak yang dekat dengan pemerintah. Namun belum mendapatkan respons yang memadai. Karena itu, dia berharap peran dari keluarga dan komunitas lebih ditingkatkan.
ADVERTISEMENT
"Karena sekarang lebih banyak bertemu dengan keluarga, maka manfaatkan komunikasi lebih baik. Jangan malah membawa masalah baru ke dalam rumah," tegasnya.
Selain itu, dia menganjurkan juga supaya dalam keluarga dan komunitas bisa menerapkan meditasi relaksasi sekitar 15 menit per hari.
"Metodenya sederhana, hanya diam dan merasakan nafas sendiri yang keluar masuk melalui hidung. Kesempatan itu juga untuk merenungkan hal-hal yang sudah dilakukan dan mengevaluasi keberadaan diri dalam lingkungan," jelasnya.
Dia akhir meditasi, dapat dilakukan pelepasan beban dengan berteriak sekeras-kerasnya. "Kalau takut mengganggu tetangga, meditasi bisa dilakukan di pantai atau tempat terbuka lainnya," ujarnya mengenai metode yang dikembangkannya itu.

Masalah ODGJ Saat Pandemi

Sementara mengenai masalah ODGJ, lewat Suryani Institute for Mental Health (SIMH), pihaknya selain melakukan pencegahan masih terus melanjutkan program untuk memberikan pertolongan bagi mereka. Terutama, mereka yang masih mengalami pemasungan.
ADVERTISEMENT
Ia menyebut, pandemi bisa memicu peningkatkan ODGJ, terutama pada mereka yang sudah mengalami trauma pada masa kecil. "Dari penelitian kami, ODGJ bukan masalah keturunan, tapi karena trauma mental di masa kecil yang tak tersembuhkan," jelasnya.
Trauma masa kecil itu bahkan bisa terjadi saat anak masih dalam kandungan. "Jadi misalnya ibu yang hamil merasakan ada kekerasan atau peristiwa yang menyedihkan, itu si anak sudah merasakan juga," katanya. Ketika anak telah lahir hingga usia 10 tahun, bisa jadi dia mengalami tauma karena kekerasan, pelecehan seksual dan lain-lain.
Karena itu, dalam penyembuhan pasien ODGJ, pihaknya tak hanya menekankan pengobatan, tetapi juga mencoba memperbaiki memori masa silam si pasien. Dalam hal ini, peran keluarga sangat penting untuk membantu melakukan pemulihan. (Kanalbali/LSU/RFH)
ADVERTISEMENT